Membaca atau Menulis Ta’awwudz?

Tulisan ini masih terkait dengan sebuah blog yang dalam beberapa kesempatan pemiliknya berdiskusi dengan saya. Dan isi diskusi kami sebagian sudah saya postingkan dalam blog ini, diantaranya adalah Wahyu dan Ilham dalam Terjemahan dan Wahyu Turun Kepada Selain Nabi?

Dalam sela-sela diskusi kami, ia tampak sekali kehabisan argumen sehingga ia merasa perlu untuk mendiskreditkan saya dengan mengubah wajah dari foto saya. Ada juga gambar-gambar yang ia buat, yang menurut saya tidak pantas dilakukan oleh seorang muslim. Continue reading “Membaca atau Menulis Ta’awwudz?”

Membuat Tulisan Arab di WordPress

Membuat Tulisan Arab di WordPress ini saya posting aja disini daripada sekedar posting komentar. Terutama untuk postingnya mas ressay dan mas kuntop yang ada tulisan arab nya.

Setelah nyari semalaman akhirnya ketemu juga bagaimana cara menampilkan huruf arab di WordPress. Walaupun resiko nya di cemberutin istri :( .

Seperti biasa telusuri di Google dengan kata kunci “huruf arab di wordpress” ketemu banyak sekali.

Saya pilih yang berikut ini :

  • Posting dengan huruf Arab di WordPress
  • 3 Cara Menulis Huruf Arab dalam Blog WordPress
  • Mengatasi Problem Penulisan Fonts Arabic di WordPress
  • Selamat Idul Fitri 1430 H, Membuat Tulisan Arab di WordPress
  • How to Convert Character Set and Collation of WordPress Database » My Digital Life
  • Convert character set to utf8 in MySQL
  • Perl script to convert MySQL character set to utf8

Semua link dan cara diatas tidak membantu menyelesaikan masalah saya.

Ketemunya di artikel ini Convert latin1 to UTF-8 in MySQL

Alternative Method

Instead of using the above method of dumping and reloading your data, you can use the ALTER TABLE/DATABASE SQL statements to convert your data.

For each table you want to convert to utf8, use the following statement.

ALTER TABLE <table_name> CONVERT TO CHARACTER SET utf8;

This will automatically convert all text columns to utf8.

To set the default character set for a database, use the following statement.

ALTER DATABASE <database_name> CHARACTER SET utf8;

This does not affect any existing tables, but any future tables created in this database will use utf8 by default.

Emang bener deh daripada dumping-editing-reloding data, apalagi pake script dan tools lain,  mending pake SQL statement, satu kali perintah selesai dah :) .

Caranya:

  1. login ke phpmyadmin
  2. klik SQL (Run SQL query/queries)  dan copy paste ini

ALTER DATABASE <nama_database_anda> CHARACTER SET utf8;
ALTER TABLE wp_comments CONVERT TO CHARACTER SET utf8;
ALTER TABLE wp_links CONVERT TO CHARACTER SET utf8;
ALTER TABLE wp_newsletter CONVERT TO CHARACTER SET utf8;
ALTER TABLE wp_options CONVERT TO CHARACTER SET utf8;
ALTER TABLE wp_postmeta CONVERT TO CHARACTER SET utf8;
ALTER TABLE wp_posts CONVERT TO CHARACTER SET utf8;
ALTER TABLE wp_private_messages CONVERT TO CHARACTER SET utf8;
ALTER TABLE wp_terms CONVERT TO CHARACTER SET utf8;
ALTER TABLE wp_term_relationships CONVERT TO CHARACTER SET utf8;
ALTER TABLE wp_term_taxonomy CONVERT TO CHARACTER SET utf8;
ALTER TABLE wp_usermeta CONVERT TO CHARACTER SET utf8;
ALTER TABLE wp_users CONVERT TO CHARACTER SET utf8;
ALTER TABLE wp_wp125_ads CONVERT TO CHARACTER SET utf8;
ALTER TABLE wp_yarpp_keyword_cache CONVERT TO CHARACTER SET utf8;
ALTER TABLE wp_yarpp_related_cache CONVERT TO CHARACTER SET utf8;

Jangan lupa dibaris pertama di atas <nama_database_anda> ganti dengan nama data base anda, nama tabel-tabelnya juga disesuaikan dengan nama tabel database anda.

Semoga membantu :)

Ada Apa Dengan Mereka ??? Saling Periksa KPK VS Polri

Melihat isu yang berkembang sat ini, dimana dua institusi yakni KPK dan Polri saling periksa.  Dimana KPK ngusut kasus keterlibatan petinggi Polri soal kasus Bank Century dan pihak Polri ngusut masalah kode etik ketua KPK yang didalamnya ada dua pimpinan KPK yang diduga terlibat.

Mungkin sekilas kita melihat, kedua institusi ini saling serang, ya walaupun ini memang bukan perang antar institusi hukum di Indonesia, tapi opini masyarakat itu selalu beranggapan bahwa dua institusi ini kaya sedang berperang, media pun selalu menulis Polri VS KPK. (kaya main bola, tinju aja ya pakai versus…hehehe)

Kedua institusi hukum ini sebenarnya tengah memertaruhkan kepercayaan dihadapan masyarakat, karena keduanya mendapat tuntutan dari masyarakat, KPK ya pemberantasan korupsinya, Polri pun memberatas teroris. Nah ternyata keduanya punya tugas berat tuh..

Tapi sekarang mereka tengah terlibat “perang”, tapi dibalik ini semua kita bisa sedikit mengambil kesimpulan kalau pertaruhan bahwa hukum ini tetap harus ditegakan, baik itu yang korupsi maupun yang menyalahi peraturan kaya kode etik KPK.

Kalau toh ternyata dari desas desus kasus ini tidak ada yang di hukum atau tidak ada hasil yang status yang jelas diantara keduanya, berarti apa yang terjadi di bidang hukum kita, apakah ini permainan elit, ada deal kah antar keduanya, pengalihan isu kah ini atau ada orang yang kebal hukum di negara hukum ???

Ini masih menjadi pertanyaan besar bagi kita semua, (tapi gak usah dipikirin serius, ntar penghasilan jadi kurang lagi…hehehehe) yang pasti menurut saya harus ada yang dikorbankan, sebagai pembuktian bahwa Indonesia ini bukan hanya slogan saja negara Hukum, akan tetapi juga hukumnya tegak. Jangan hanya sama pencopet atau pemaling ayam da sandal aja, hukum tuh tegak, tapi untuk para elit juga ya sama dong tegakan hukumnya….

Sebenarnya kita juga patut mengawasi “perang” dua institusi ini, ya setidaknya siapa yang benar-benar salah, dan ingat kita juga harus pandai-pandai kalau-kalau, ada kasus yang lebih heboh dari ini bahkan mungkin bukan kasus korupsi, tapi bom, kebakaran, kelaparan dan peristawa apa saja yang bisa mengalihkan pandangan kita semua akan kasus yang “panas” ini. (Ya walaupun lagi-lagi gak usah dipikirin serius, ntar penghasilan jadi kurang lagi…hehehe).

Wahyu Turun Kepada Selain Nabi?

Tulisan ini masih menyambung tulisan yang terdahulu mengenai ilham dan wahyu yang nampaknya masih memberikan efek sampai saat ini kepada orang-orang yang sudah kadung taqlid dengan penerjemahan Al-Qur’an versi DEPAG RI. Sampai-sampai ada seorang blogger yang tidak kesampaian untuk membantah apa yang jadi pendapat saya, sehingga merasa perlu untuk mendiskreditkan saya dengan mengubah-ubah foto wajah saya menjadi wajah keledai. Mungkin pengubahan wajah tersebut sebetulnya adalah representasi dari sifat keledai yang ada di dalam diri blogger tersebut. Continue reading “Wahyu Turun Kepada Selain Nabi?”

ILHAM dan WAHYU Dalam Terjemahan

Berawal dari diskusi di blog tetangga tentang ilham dan wahyu, saya jadi kepikiran untuk menulis mengenai hal itu. Tetapi tulisan ini difokuskan pada permasalahan, apakah selain Nabi dapat memperoleh wahyu, atau hanya dapat memperoleh ilham saja? Continue reading “ILHAM dan WAHYU Dalam Terjemahan”

HMI ON THE MOVE

Posting ini di sadur dari proposal “HMI ON THE MOVE” HMI Cabang Jember Komisariat Sastra yang disusun tanggal 5 februari 2006 yang saya rasa masih relevan dengan kondisi perkaderan HMI komisariat-komisariat lain.

Bismillahirrahmanirrahiim

Dengan Nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maka Penyayang.

Dengan segenap rasa sukur ke hadirat Allah SWT,  kami menyusun proposal ini, untuk mewujudkan sebagain dari tugas sejarah yang dibebankan kepada kami, terutama sebagai pribadi yang pernah aktif dan menjalani perkaderan di HMI.

I. TRADISI DAN WARISAN PERKADERAN SEBAGAI IDE DASAR

Perkaderan merupakan inti utama kekuatan HMI yang hari ini menggenapkan usianya yang ke-62. Perkaderan bukanlah semata-mata proses pewarisan tradisi dan sejarah HMI, tetapi juga merupakan cara HMI merespon, mengadaptasi, dan mengambil peranan yang disediakan oleh sejarah. HMI hidup mati bersama sejarah bangsa Indonesia dan umat Islam Indonesia.

Perkaderan, pada skala ruang lingkup sosial yang lebih kecil, mengemuka dalam berbagai entitas. Salah satu entitas yang terpenting diantaranya adalah pembentukan komunitas (community building). Di era dimana peranan teknologi yang berkembang pesat dan semakin mempermudah cara hidup manusia, proses pengorganisasian sosial dalam kehidupan manusia seringkali justeru tertinggal.

Atomisme, individualisme, anti-sosial, kehilangan makna, dan menguapnya dimensi-dimensi spiritual dari kehidupan, untuk sebagian merupakan akibat yang sulit dihindari dari berkembangnya teknologi, yang telah merambah ke segala sudut kehidupan manusia, dan secara tidak sadar menjadi ancaman baru bagi kebebasan manusia.

Teknologi, betapapun, harus bertujuan melayani hidup yang semakin berkualitas, dan mempertinggi tanggungjawab sosial-kemanusiaan. Dalam scope perkaderan, teknologi berarti mempertinggi kesanggupan kader, untuk mengartikulasikan tujuan-tujuan HMI, memperluas wilayah perwujudannya, yang secara kreatif dibuat untuk mengembangkan tradisi-tradisi baru yang positif, terutama dalam menghadapi berbagai persoalan-persoalan aktual yang dimunculkan oleh kemajuan.

Akhirnya, Islam baik sebagai agama, way of life, maupun guiding principles, merupakan sumber yang tiada habis-habisnya memberi petunjuk, inspirasi, dan koreksi, bagi HMI, dalam menempuh perjalanan yang panjang untuk menunaikan tugas sejarahnya.

HMI Komisariat adalah wahana perkaderan yang memiliki arti strategis, untuk selalu berada sejalan dengan perkembangan kemajuan, baik pada tingkatan sosial maupun kebudayaan. Justeru karena posisi Komisariat yang langsung berada di garda terdepan kehidupan mahasiswa, maka Komisariat pada hakekatnya berada di tengah arus sejarah kemajuan masyarakat.

II. PERKADERAN DAN TANTANGAN EKSTERNAL YANG BERSIFAT KONTEMPORER

Perkaderan, karena sifatnya sebagai aktivitas yang hidup, berkelanjutan, dan berkembang sejalan dengan kondisi aktual dalam masyarakat, dengan sendirinya juga akan menghadapi tantangan-tantangan aktual. Tantangan perkaderan paling aktual dewasa ini antara lain terdiri dari: globalisasi, determinsime teknologi, rasionalitas ekonomi dan pengorganisasian masyarakat, kontestasi kebudayaan di berbagai arena.

A. Globalisasi

Pada hakekatnya globalisasi merupakan tahapan lebih jauh dari perkembangan kapitalisme, yang tidak lagi bisa terbendung atau terbatasi oleh kekuatan apapun, termasuk negara. Globalisasi telah merubah konsep ruang dan waktu, sebagaimana dewasa ini tercermin dalam arus perpindahan segala bentuk kapital—seperti uang, benda-benda, kebudayaan, teknologi, dan informasi—yang berlangsung dalam skala kecepatan yang begitu tinggi, dan menembus semua batas ruang sosial maupun pribadi. Globalisasi merupakan daya utama penggerak perubahan masyarakat, bersifat tidak terelakkan dan tak mungkin dihindari. Karena itu, sisi positif dari globalisasi merupakan bagian yang bisa dimanfaatkan dalam rangka mendorong berlangsungnya perubahan-perubahan positif dalam berbagai satuan sosial, mulai dari individu, keluarga, komunitas, masyarakat, maupun negara.

B. Determinisme Teknologi

Detreminisme teknologi merupakan resultan dari perkembangan masyarakat industri (industrial society) yang secara bertahap telah berhasil menggantikan peranan masyarakat tradisonal (traditional society) sebagai lokus utama bagi perkembangan peradaban manusia. Determinisme teknologi—terutama dalam dunia yang tengah terintegrasi sepenuhnya melalui teknologi informasi—pada akhirnya menghadirkan rasionalitas teknologi dalam kehidupan masyarakat. Teknologi telah berkembang bukan saja sebagai instrumen dalam kehidupan sehari-hari, tetapi juga membentuk suatu jenis kesadaran baru, dimana perkembangan dunia sosial dan dunia personal tidak mungkin lagi menutup diri dari pengaruh teknologi. Teknologi pada bentuknya yang asli adalah sesuatu yang netral, tetapi dalam dunia sosial, teknologi bisa berarti membebaskan manusia dengan memberi daya kemampuan yang tinggi dalam menghadapai dan mengelola berbagai persoalan. Di sisi lain, teknologi dengan sifat rasional, impersonal, dan dehumanistik yang dikandungnya, juga merupakan ancaman potensial bagi kebebasan manusia, terutama jika sikap terhadap teknologi bersifat eksploitatif.

Daya jangkau teknologi yang demikian luas, dibarengi kemampuan teknologi dalam mendorong terjadinya perubahan sosial, menciptakan fenomena “atomisme” atau individualisme dalam kehidupan masyarakat. Hal terpenting dari menguatnya individualisme—baik sebagai sebab maupun akibat dalam kaitannya dengan teknologi—telah mendorong lahirnya berbagai bentuk “solidaritas baru” untuk mempertahankan tegaknya suatu masyarakat. Ini terkait dengan fakta bahwa atomisme dalam dunia sosial menghasilkan ruang kebebasan pada tingkat individual, namun melemahkan sumber-sumber utama pembentuk solidaritas dan integrasi dalam masyarakat, seperti tradisi, ikatan-ikatan primordial, maupun ikatan-ikatan emosional. Salah satu bentuk solidaritas baru yang muncul akibat menguatnya peranan teknologi itu adalah berkembangnya pembagian kerja atau division of labor. Betapapun, pembagian kerja merupakan tuntutan yang tak terelakkan, dan merupakan salah satu sumber pembentukan solidaritas, yang berguna untuk mendukung terbinanya keutuhan masyarakat.

C. Rasionalitas Ekonomi dan Pengorganisasian Masyarakat

Rasionalitas ekonomi dan pengorganisasian masyarakat merupakan dua sisi dari satu keping mata uang yang sama dalam masyarakat modern. Motif, dorongan, dan kepentingan ekonomi merupakan mesin utama yang menggerakkan masyarakat. Rasionalitas ekonomi membentuk kesadaran kalkulatif, memperkuat pola hubungan kontraktual, mempertinggi kemampuan mengelola resiko, memperkuat orientasi mengejar keuntungan, memperbesar akumulasi aset, memperluas kegiatan investasi, dan mempertinggi kecakapan mengelola produksi. Rasionalitas ekonomi akhirnya berujung kepada penguatan peranan pasar. Rasionalitas ekonomi menjadikan pasar bukan saja sebagai institusi ekonomi, tetapi juga institusi sosial, politik, dan kebudayaan.

Institusi pasar, pada akhirnya, sangat berpengaruh dalam pembentukan corporate society, yaitu suatu masyarakat yang sumber-sumber ikatannya terbentuk atau berasal dari norma-norma institusi pasar, yang berbasis dari rasionalitas ekonomi. Corporate society—yang kehadirannya bisa dibedakan dari institusi state dan civil society—menghasilkan suatu solidaritas organik, yaitu solidaritas yang digerakkan oleh dorongan-dorongan organisasional yang bersifat ekonomis, teknologis, dan meninggalkan ikatan-ikatan tradisional yang berbasis ikatan kekeluargaan yang mengutamakan kegotong-royongan.

D. Kontestasi Kebudayaan

Kontestasi kebudayaan—terutama sebagai konsekuensi dari globalisasi, determinisme teknologi, dan rasionalitas ekonomi—pada hakekatnya terlahir sebagai sesuatu yang tak terhindarkan, dan berlangsung dalam arena yang luas. Kontestasi kebudayaan timbul bukan saja karena norma-norma persaingan bebas dalam rasionalitas ekonomi turut berpengaruh dalam pengorganisasian masyarakat, tetapi juga didorong oleh keinginan untuk memenangkan suatu bentuk kebudayaan tertentu yang mampu menjamin “pelembagaan kemenangan” masyarakat modern atas berbagai jenis masyarakat lainnya yang tersisa.

Kontestasi kebudayaan, karena itu, seringkali ditingkatkan menjadi benturan kebudayaan, terutama karena terpicu oleh kenyataan bahwa dunia modern a la Barat dengan segenap kebudayaan yang dimilikinya, tidak bisa menerima kenyataan adanya berbagai jenis dunia kultural non-Barat, yang mampu bertahan hidup tanpa harus tergantung kepada Barat.

III. HMI DAN EVOLUSI CITA-CITA KEMASYARAKATAN

Salah satu aspek menarik dalam sejarah perjalanan HMI adalah terkandungnya sejumlah cita-cita sosial kemasyarakatan, yang merekam perjumpaan HMI dengan berbagai peristiwa penting, di berbagai era yang dilaluinya. Artikulasi cita-cita kemasyarakatan itu terekam dari sejarah perkaderan HMI yang mengusung cita ideal (das sollen) baik pada tataran individu, maupun pada tataran community dan society. Dimensi perkaderan dalam wilayah pembentukan karakter dan pembentukan komunitas merupakan proses yang terjadi pada wilayah anggota HMI. Sedangkan dimensi perkaderan dalam wilayah kealumnian lebih menyentuh ke berbagai wilayah societal, yaitu wilayah-wilayah masyarakat yang terkait dengan fungsi-fungsi kelembagaan yang luas dan menyebar dalam masyarakat, baik di lapangan politik, ekonomi, maupun sosial-kebudayaan. Tujuan HMI merekam dengan baik seluruh rangkaian proses simultan ini, dengan mengartikulasikannya ke dalam kalimat sederhana, namun bersifat operasional dan kaya makna: “Terbinanya insan akademis, pencipta, pengabdi, yang bernafaskan Islam dan bertanggungjawab atas terbentuknya masyarakat adil makmur yang diridhoi Allah SWT.”

Cita-cita kemasyarakatan ini juga mencerminkan pengaruh kuat dari dua bentuk masyarakat yang bersifat inheren dan saling mempengaruhi dalam sejarah perkembangan HMI. Keduanya adalah Masyarakat Islam (Islamic society) dan masyarakat modern (modern society). Masyarakat Islam adalah masyarakat yang berlandaskan moral, proaktif terhadap toleransi, perdamaian, dan kemakmuran, mendukung prinsip-prinsip inklusifitas (dengan merangkul semua manusia tanpa membedakan latar belakang suku dan golongan ke dalam Islam), mendukung ide-ide kemajuan, dan terbangun di bawah kedaulatan Tuhan (Islamic society is a society which is moral-based, proactive for tolerance, peace and prosperity, supporting the principles of inclusion, ideas of progress, and guided by the God sovereignty).

Pada sisi yang bersebelahan, HMI juga berkaitan dengan cita-cita yang berbasis dari dinamika masyarakat modern, yang terdefinisikan sebagai sebuah masyarakat rasional yang berbasis teknologi dan ekonomi, mendukung tegaknya kesederajatan, kemakmuran, dan stabilitas, proaktif terhadap ide-ide sekular dan ide-ide kemajuan, dan menyatukan berbagai keragaman dalam ikatan keadaban (modern society is a society which is based on technology and economy, promoting equality-prosperity-stability, and proactive upon secular ideas and ideas of progress, and uniting diversity within the bond of civility).

Dalam konteks kenegaraan, cita-cita sosial kemasyarakatan HMI juga sejalan dengan cita-cita nasional kemerdekaan Indonesia, yaitu terwujudnya masyarakat adil-makmur berdasarkan Pancasila.

Berbagai cita-cita sosial kemasyarakatan yang hidup dan menghidupi, serta menggerakkan sejarah perjalanan HMI itu, pada sejumlah momentum terlihat menampilkan ekspresi terkuatnya, namun pada momentum yang lain, tersaput oleh perilaku-perilaku penyimpangan, yang digerakkan oleh kepentingan-kepentingan jangka pendek dan tidak prinsipil. Meski demikian, sebagai sesuatu yang genuine, cita-cita sosial kemasyarakatan HMI itu sesungguhnya tidak pernah mati.

Kader HMI Kok Tidak Bisa Membaca Bagaimana Mau Menulis?

Terasa geli memang. Namun kenyataan tidak perlu ditutupi. Saya geli membaca pertanyaan Admin PBHMI di Facebook:

PBHMI.Org : statement yang mana bung? bisa tunjukkan di paragraf dan kalimat yang mana? (Bisa dibaca disini)
Ini menandakan bahwa masih sangat banyak kader HMI yang tidak bisa membaca. Yang muncul di facebook PBHMI.Org itu adalah potongan artikel Bung! Bukan artikel keseluruhan!

Membaca saja sulit, Apalagi Menulis!
Membaca dengan teliti itu perlu. Jika tidak dilakukan maka bagaimana kita bisa menulis?

Pernyataan tersebut berlaku secara umum maupun secara khusus. Secara umum jelas artinya sangat luas. Namun secara khusus, sebagai contoh kecil saja, saya tidak mungkin bisa menulis di situs ini jika tidak membaca petunjuk menulis di PBHMI.Org. Entah apa banyak kader tidak punya mata? atau mungkin yang matanya sudah terganggu dengan harum ketupat lebaran?

Jika tidak bisa membaca panduan menulis di situs ini entah berapa banyak uang yang harus dikeluarkan untuk biaya ke warnet. Beruntung mata ini masih saya pakai (bukan hanya disimpan baik-baik).

Membaca itu penting

Di komisariat kita belajar membaca pergerakan dari organisasi lain, baik yang menjadi teman ataupun yang menjadi kompetitor. Lebih luas lagi kita harus dapat membaca keputusan para pejabat kampus. Lebih luas lagi membaca berbagai konspirasi busuk para penguasa dan konglomerat penghisap.

Menulis adalah senjata HMI

Membaca lalu menulis

Menulis kemudian menjadi senjata yang kita angkat setelah membaca. Menulis dan membaca seperti berlatih perang. Membaca mirip dengan melatih keterampilan menembak, menulis itu berarti mengangkat senjata. Kita harus belajar menjadikan tulisan sebagai senjata.

Dan itu tidak mungkin kita lakukan jika kita tidak mampu membaca!

NB: Cari-cari kategori artikel ternyata tidak ada kategori tulisan singkat. Maka kategori mencela kader juga bisa dipastikan tidak ada (Piss!)

HMI dan Budaya Menulis: Menjadikan Menulis Sebagai Bagian Dari Perjuangan

Rekomendasi film: the baader meinhof complex dan sophie scholl

Menulis adalah alat salah satu alat perjuangan. Menulis adalah alat untuk mendidik masyarakat. Menulis harus menjadi bagian keseharian dari kehidupan kader. Menulis adalah bentuk rasa syukur atas ilmu yang telah kita terima. Menulis adalah bagian yang tidak dapat dipisahkan dari perjuangan organisasi mahasiswa seperti HMI.

Sedikit sebagai masukan untuk kajian diskusi di Komisariat kita bisa membedah film : the baader meinhof complex dan sophie scholl.

SophieScholl.DVD

Keduanya dapat membantu kita memahami bagaimana menulis menjadi bagian yang sangat dekat dengan perjuangan. Bagaimana menulis dapat menjadi media, dan pada film the baader meinhof complex kita bisa melihat bagaimana kehilangan menulis sangat berpengaruh pada gerakan yang sedang dijalankan.

Membangun budaya menulis dapat dilakukan dengan banyak cara. Salah satu caranya adalah melakukan bedah film.

Selamat menonton. Untuk menulis.

DVD bisa didapatkan di toko-toko DVD (bajakan) kesayangan anda.

Kebesaran HMI: Bangun Bung! Jangan HMI Bermimpi!

Himpunan Mahasiswa Islam itu adalah organisasi besar. Apa karena suatu organisasi memiliki umur yang cukup tua lalu bisa dikatakan besar? Lalu mengapa kita tidak mengatakannya uzur sekalian?

…untuk membesarkan HMI kita harus meninggalkan mereka yang sudah bebal akal budinya dimakan penyakit pragmatisme

Kebesaran HMI jika hanya menjadi mitos maka itu harus dilawan. Tidak pernah lagi kita dengar HMI dapat melakukan gerakan secara massif. Apa karena sudah pintar melakukan negosiasi? lalu melupakan sikap kritis dalam menyikapi setiap kondisi yang ada. Jika iya, maka HMI adalah bagian dari masalah.

Kita tidak pernah lagi mendengar adanya aksi besar-besaran dari HMI. PB HMI sudah pasti tidak bisa memberikan instruksi, karena mereka sudah tidak lagi memiliki daya kritis. Namun kita selaku kader HMI yang masih aktif dengan pergulatan pemikiran layak untuk tetap melakukan aksi dan mengupayakan bersatunya kembali kekuatan gerakan mahasiswa khususnya Gerakan HMI untuk menyampaikan kepada penguasa negeri ini bahwa HMI tidak akan membiarkan terjadinya tindakan ketidakadilan di Indonesia.

Power itu ada pada akar rumput!

Gerakan Mahasiswa HMI Islam

Kita terbiasa dengan Marx yang membagi masyarakat kedalam Supra struktur dan base struktur. Dalam masyarakat pada umumnya supra struktur adalah mereka para pemilik modal yang berjumlah jauh lebih sedikit daripada masyarakat biasa (base). Namun hal yang sama sekali terbalik terjadi di HMI.

Dikarenakan HMI adalah organisasi perkaderan, capital dari HMI bukanlah modal material. Kapital dari HMI adalah social capital, kekayaan HMI adalah intelektualitas. Maka dari itu kekayaan HMI justru ada pada base, atau kita sebut dengan basis komisariat yaitu ujung tombak perkaderan (HMI Komisariat)

Karena yang masih belajar dan akan terus belajar senantiasa memperkaya pengetahuan dan mengeksplorasi pemikiran adalah basis. Pada HMI power terbesar ada ditangan Basis Komisariat. Ini berbeda sangat terbalik dengan apa yang diungkapkan Marx.

Jika kekuasaan secara struktural di HMI dipegang oleh orang yang tidak memiliki concern terhadap perkaderan, kajian keilmuan, dan intelektualitasnya dangkal, maka niscaya mereka tidak memiliki kekuasaan (power) di HMI. Power HMI sebenarnya ada ditangan komisariat.

Realitas atau Mitos?

Karenanya, kita kader di komisariat harus secara teliti menilai, apakah kebesaran HMI adalah realitas atau mitos belaka? Jika kebesaran HMI disebut-sebut karena banyaknya alumni HMI maka kita patut mempertanyakan. Karena itu berarti kebesaran KAHMI, bukan kebesaran HMI.

HMI besar karena independensi, HMI besar karena keberanian untuk membela yang benar, karena kemampuan untuk merekrut kader pejuang intelektual Islam sebanyak-banyaknya dari-tahun ke tahun dan itu adalah kerja komisariat. Bukan sesuatu yang hebat untuk berpangku tangan duduk menempati kantor pengurus besar HMI. Bukan Besar namanya jika pada momen-momen krusial HMI di-Seluruh Indonesia tidak mampu memiliki suara yang bulat untuk menyatakan responnya.

Karenanya, untuk membesarkan HMI kita harus meninggalkan mereka yang sudah bebal akal budinya dimakan penyakit pragmatisme. Kita harus meninggalkan mereka yang menjadi pengurus besar, yang seharusnya menjadi pemimpin yang dapat memberikan arahan. Pengurus Besar harus diganti saja menjadi Perut Besar.

Untuk setiap momen penting dan penentuan keputusan, HMI harus ikut serta mengawal dan menjaga setiap hal tersebut dari penyelewengan. HMI harus bergerak cepat. Mari jalin hubungan silaturahmi yang kuat. Biarlah PB HMI sibut menjalin hubungan dengan alumni HMI. Kita tinggalkan mereka dan bergerak dengan pasti kepada gerakan mahasiswa. Dinamika gerakan sedang lemah lesu, dan kini saatnya HMI menjadi pionir dalam menentukan arah gerakan mengambil kembali kepemimpinan intelektual dan moral gerakan mahasiswa.

Ini saatnya bangun, dan membangunkan yang lain. Jangan terlalu lama bermimpi atau nurani akal budi kita akan ikut termakan virus pragmatisme.

Karena pengurus besar SELALU terbukti tidak mampu melakukannya.

Menjadi Guru

Jikalau saya ditanya profesi apa yang sedang menjulang akhir akhir ini, maka akan saya jawab: GURU. Jikalau saya ditanya lagi mengapa calon mahasiswa yang mendaftar ke LPTK menunjukkan perkembangan signifikan, maka akan saya jawab mungkin sebagian besar ingin menjadi guru. Profesi guru (negeri) telah menarik sebagian perhatian dari kita, entah itu mahasiswa calon guru alias yang berkuliah di LPTK, guru swasta, guru sukwan, dan terlebih lebih guru PNS. Saat ini menjadi guru negeri yang diangkat oleh pemerintah dianggap cukup menjanjikan bagi penopang kehidupan di masa datang, maka tak heran jika setiap pendaftaran calon guru negeri selalu membludak melebihi formasi yang ditawarkan.

Tak dapat dipungkiri, pasca reformasi profesi guru lambat laun mendapat tempat terhormat di masyarakat setelah sekian lama profesi ini selalu kalah dengan profesi profesi klasik yang masih populer semisal dokter, insinyur, dan pilot. Berprofesi guru (negeri) menjadi perbincangan seksi, tidak kampungan, berwibawa, tidak memalukan, dan menjanjikan bagi pegangan masa depan kelak. Ada benarnya apa yang pernah dinyatakan Eko Prasetyo dalam bukunya Guru: Mendidik Itu Melawan (2006:159) bahwa “UU Guru No. 14 Tahun 2005 telah menjadi tonggak dasar penempatan dan reposisi guru di mata negara. Ikhtiar untuk munculnya guru yang profesional, cakap dan mampu memenuhi tujuan dasar pendidikan dirintis melalui pemberlakuan sejumlah pasal pasal pokok dan perlu”.

Ya, dengan adanya Undang Undang Guru menjadikan profesi ini mendapat perlakukan dan jaminan yang dilindungi oleh negara dengan segala resiko dan konsekwensi yang akan diterimanya. Tentu tak sembarangan untuk mendapatkan jaminan dari negara yang berkorelasi langsung dengan kesejahteraan, ia memerlukan syarat syarat kecakapan dan kompetensi yang dperlukan untuk hal itu, kita mengenalnya sebagai SERTIFIKASI. Sertifikasi adalah buah bibir bagi para guru, ia semacam mimpi yang akan terlihat nyata di keesokan hari, terlepas dari segala kontroversi yang dituduhkan sebagian pengamat pendidikan. Ia semacam remunerasi bagi para guru berkompeten.

Sertifikasi-bagi guru negeri-dan impassing-bagi guru swasta-menjadi mantra ampuh bagi sebagian besar guru agar bersungguh sungguh dalam menjalankan tugas pokok dan fungsinya. Para guru dilecut kemampuan dan kompetensinya agar ia benar benar berfungsi layaknya seorang “guru”, digugu dan ditiru. Walaupun seperti kata J Drost, seorang pengamat dan praktisi pendidikan, mengatakan bahwa sekarang ini di Indonesia tidak ada guru yang memenuhi syarat sebagai guru. Tentu, bukan tanpa alasan ia mengatakan hal ini, mininal ia mengamati fenomena perkembangan pendidikan belakangan ini yang mungkin menurutnya-meminjam judul buku Darmaningtyas-pendidikan rusak rusakan. Yang jelas, konsepsi sertifikasi adalah sebentuk kemajuan dari pemerintah yang telah memperhatikan nasib para guru yang pada masa orde baru selalu menjadi alat negara dan distigmatisasi sebagai profesi yang tidak populer dan buram di masa depan.

Menjadi guru saat ini berarti menjadi priyayi modern masa kontemporer, walaupun memang tak sehebat dan tak sehormat pada masa kolonial Belanda. Menjadi guru masa kolonial adalah pertanda baik mencapai kesejahteraan dan menjadi orang terpandang di lingkungan masyarakatnya. Penjajahan mungkin buruk dari segi ketakmerdekaan, tetapi mungkin baik untuk segi yang ini.

Almarhum sastrawan Umar Kayam dengan sangat bagus dalam novelnya yang terkenal, Para Priyayi (2001:29) melukiskan perjalanan seorang pribumi anak petani yang melakukan mobilitas vertikal menjadi seorang guru. “Hari itu saya, Soedarsono, anak tunggal Mas Atmokasan, petani Desa Kedungsimo, pulang dari Madiun dengan berhasil mengantongi beslit guru bantu di Ploso. Guru bantu. Itu berarti sayalah orang pertama dalam keluarga besar kami yang berhasil menjadi priyayi, meskipun priyayi yang paling rendah tingkatnya. Itu tidak mengapa. Yang penting kaki saya sudah melangkah masuk jenjang priyayi. Beberapa tahun lagi, kalau saya rajin dan setia pada gupermen, saya akan menjadi guru penuh sekolah desa. Itu akan lebih memantapkan kedudukan saya sebagai priyayi, sebagai abdi gupermen. Dan kalau saya sudah menjadi mantri guru, wah, itu sudah boleh dikatakan menjadi priyayi yang terpandang”. Begitu terhormatnya sosok guru di masa kolonial.

Tak mengherankan jika guru pada masa kolonial masuk menjadi golongan priyayi mobilitas vertikal. Sejak masuk di Kweekschool-di Indonesia pertama kali berdiri pada 1852-gedungnya cukup mewah, tersedia internat dan perpustakaan cukup baik untuk kala itu. Dan secara ekonomis, seperti yang ditulis oleh Mochtar Buchori dalam bukunya Evolusi Pendidikan di Indonesia, menjadi guru kala itu cukup memadai pada jamannya. “Guru yang diangkat Pemerintah Hindia Belanda mendapat gaji permulaan sebesar f 70 (tujuh puluh florins atau guldens). Sedangkan mereka yang bekerja di sekolah sekolah swasta pada umumnya mendapat gaji sekitar f 45 guldens (Mochtar Buchori, 2007:22).

Masa masa kepopuleran profesi guru berangsur pudar setelah Indonesia merdeka. Negara yang baru saja lepas dari penjajahan sibuk dengan-Muchtar Buchori menyebut periode 1945 sampai 1949-rehabilitasi sistem, 1950-1965 ekspansi sistem, dan 1966-1998 sebagai periode modernisasi, rasionalisasi, dan ambivalensi, tanpa memperhatikan secara serius betul terhadap nasib para pendidik yang menjadi corong terdepan dalam transfer ilmu pengetahuan dan pemahaman moralitas terhadap anak didik. Pada masa masa itu perannya diperlemah-di ninabobokan dalam tagline pahlawan tanpa tanda jasa dan peran politiknya dikebiri-dan tak banyak yang mau menjadi guru dalam arti yang sesungguhnya, Bu Muslimah dan Pak Harfan dalam Laskar Pelangi mungkin sebuah pengecualian.

Pada awalnya, ihwal menjadi guru adalah berani menderita dan sepenuh penuhnya berkhidmat untuk moralitas dan ilmu pengetahuan, tetapi secara manusiawi ia butuh penghargaan dan penghidupan yang layak agar ia bisa berdiri tegak di hadapan anak anak didiknya. Tentu sebuah ironi jika seorang guru tak cakap dan kompeten dalam meng up grade kemampuannya hanya karena terkendala biaya sementara anak didiknya sudah melangkah jauh didepannya hanya karena ia orang yang berada dan mendapat fasilitas wah dari orang tuanya. Untuk menjadi guru yang baik, tulis Muchtar Buchori, disamping profesionalisme  juga diperlukan kedamaian dengan dirinya sendiri. Barangkali ini salah satu esensi dari kultur keguruan.

Sebagai penutup ada baiknya dicamkan parafrase dari seorang sastrawan Indonesia nomor wahid, Pramoedya Ananta Toer, dalam novel tipisnya Bukan Pasar Malam tentang seorang guru. “Seorang guru adalah kurban, kurban untuk selama lamanya. Dan kewajibannya terlampau berat, membuka sumber kebajikan yang tersembunyi dalam tubuh anak anak bangsa”.

Asep Dudinovar, HMI ers Korkom UPI 2001-2005