[Persona] Jalaluddin Rakhmat: Menuju Agama Madani

— Ilham Khoiri dan Myrna Ratna

HINGGA kini Indonesia masih saja tak lepas dari konflik antarumat beragama. Agama, yang semestinya bersemangat pembebasan dan menebarkan kedamaian bagi sesama manusia, ternyata justru kerap memicu pertentangan, bahkan mengusik keutuhan bangsa yang majemuk ini. Bagaimana jalan keluarnya?

JALALUDDIN RAKHMAT (KOMPAS/PRIYOMBODO)

Kita perlu mengembangkan pemahaman agama madani. Ini bukan agama baru, melainkan pemahaman yang mengambil nilai-nilai universal dalam setiap agama dan berkonsentrasi memberikan sumbangan bagi kemanusiaan dan peradaban,” kata Jalaluddin Rakhmat (62), cendekiawan Muslim asal Bandung.

Kang Jalal—demikian sapaan akrabnya—fasih mengulas hal ini. Maklum saja, dia punya pengalaman bergumul dengan persoalan hubungan antaragama, mengkaji berbagai pemikiran keagamaan, berjumpa banyak tokoh dunia, serta menulis sejumlah buku. Dia juga aktif mengajar di kampus dan mengentalkan gagasan pluralisme lewat sejumlah lembaga keagamaan.

”Pemahaman agama madani paling cocok untuk dikembangkan dalam kehidupan modern dan demokratis, seperti di Indonesia sekarang ini,” katanya ketika ditemui setelah memberikan ceramah keagamaan di Paramadina, Pondok Indah, Jakarta Selatan, pertengahan Januari lalu.

Bagaimana persisnya pemahaman agama madani itu? Kang Jalal mengutip filsuf kelahiran Swiss, Jean Jacques Rousseau, yang hidup pada zaman Revolusi Perancis (abad ke-18 Masehi). Ketika menceritakan gagasan kontrak sosial, Rousseau menyebut la religion civile (agama civil), sebagai pemahaman yang paling cocok bagi kehidupan modern. Ini pengembangan dari dua tipe sebelumnya, yaitu agama yang menyatukan kebangsaan serta agama institusional—sebagaimana dianut banyak orang sekarang.

Berangkat dari tafsir atas pemikiran itu, Kang Jalal mengusung wacana agama madani dan memetakan fenomena pemahaman keislaman di Indonesia. Bagi dia, ada tiga jenis pemahaman Islam: Islam fiqhiy, Islam siyasiy, dan Islam madani. Islam madani merupakan pencapaian akhir dari dua tahapan pemikiran sebelumnya.

Islam fiqhiy memusatkan perhatian pada ajaran fikh yang dipraktikkan sehari-hari. Islam menjadi sangat ritual. Kesalehan diukur dari ritual. Pemahaman ini umumnya hanya memandang kelompoknya yang benar dan orang lain salah. ”Islamnya itu rahmatan limutamadzhibin atau rahmat bagi mazhabnya saja,” katanya.

Setelah itu berkembang Islam siyasiy atau Islam politik. Menjadikan Islam sebagai kegiatan politik, pemahaman ini memusat pada perjuangan untuk merebut kekuasaan lewat konsep negara Islam, menegakkan syariat Islam, atau mendirikan khilafah. Keselamatan bukan untuk sekelompok Islam, tetapi untuk seluruh umat Islam, rahmatan lilmuslimin.

Bagi Islam fikhiy, kaum Muslimin mundur karena dianggap meninggalkan Al Quran dan Sunah. Untuk maju, kita mesti kembali berpedoman kepada dua sumber itu. Mereka meyakini bahwa zaman para Nabi dan sahabatnya adalah zaman paling ideal.

Islam politik melihat kemunduran umat Islam akibat dominasi dan konspirasi Barat yang menghancurkan Islam. Mereka mengajak kita kembali merujuk zaman Islam menguasai seluruh dunia, yaitu masa khilafah Ustmaniyah. Itu dianggap zaman ideal yang harus diperjuangkan lagi.

Kedua pemikiran itu mengantarkan kita pada Islam madani. Semua agama bisa bertemu, dengan mengkaji apa yang bisa kita sumbangkan bagi kemanusiaan dan peradaban. Ada usaha untuk mengambil nilai-nilai universal dalam setiap agama.

Wacana Islam madani berpusat pada kasih sayang kepada sesama manusia sehingga Islam menjadi rahmat bagi semua orang, rahmatan lil’alamin. Kesalehan diukur dari kadar cinta seseorang kepada sesama. Setiap pemeluk agama bisa memberikan makna dalam kehidupannya dengan berkhidmat pada kemanusiaan.

Jika Islam fiqhiy itu berkutat pada urusan fikh dan Islam siyasiy pada politik, Islam madani berpusat pada karakter, akhlak. Tujuannya untuk membangun akhlak yang baik pada sesama manusia dalam kehidupan yang majemuk.

Perjalanan pribadi

Ketiga pemahaman itu dialami Kang Jalal dalam perjalanan hidupnya. Dia besar dalam keluarga Nahdlatul Ulama (NU) di Cicalengka, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Saat kecil dia ditinggalkan ayahnya pergi ke Sumatera untuk perjuangan Islam. Ayahnya aktif dalam Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) yang bercorak Islam politik.

Jalal melanjutkan sekolah di Kota Bandung. Dia berkenalan dengan paham PERSIS (Persatuan Islam) yang menurutnya sangat fikhiyah, dan kemudian menjadi kader Muhammadiyah. ”Saya pernah berusaha mengubah masjid NU di kampung menjadi masjid Muhammadiyah. Caranya, dengan menyingkirkan beduk. Ketika mau shalat Jumat, jemaah masjid itu kehilangan beduknya,” katanya mengenang.

Jalal muda lantas bersentuhan dengan kelompok-kelompok yang dulu bergabung dengan Masyumi yang kental warna politiknya. Dari berbagai pelatihan, tumbuh keinginan untuk melanjutkan perjuangan ayah mendirikan sistem politik Islam. Ketika melanjutkan studi S-2 ke Iowa State University, Amerika Serikat, tahun 1980, dia juga terpengaruh gagasan Ikhwanul Muslimin.

Pulang ke Tanah Air, Jalal menerbitkan buku-buku dari Ikhwanul Muslimin, seperti karya Hasan Al-Banna, tokoh garis keras dari Mesir. Hingga tahun 1990-an dia aktif memperjuangkan syariat Islam, terutama lewat pelatihan di kampus-kampus. ”Saya termasuk penentang asas tunggal Pancasila karena merupakan produk sekuler,” katanya.

Dia pernah berdebat dengan Nurcholish Madjid (almarhum) di ITB. Cak Nur mewakili cendekiawan sekuler propemerintah, sementara Jalal dikelompokkan sebagai fundamentalis antipemerintah. ”Saya sempat dipanggil Bakorstanasda, bagian dari Pangkopkamtib, dan diberhentikan sebagai dosen oleh Dekan Universitas Padjadjaran,” katanya.

Pemahaman keagamaan Kang Jalal bergeser secara perlahan, terutama setelah diundang Cak Nur untuk ikut mengisi acara-acara kajian di Paramadina tahun 1990-an. Dia juga banyak berdiskusi dengan kelompok Islam modernis, seperti Alwi Shihab, Gus Dur, dan Dawam Rahardjo.

Di luar itu, saat mengikuti konferensi internasional di Kolombo, dia bertemu dengan sejumlah ulama Syiah yang membawa perspektif Islam lain yang masuk akal dan sangat pluralistik. Pulang ke Indonesia, dia bawa buku-buku Syiah dan menerbitkannya lewat Mizan.

Salah satunya, buku-buku Ali Syariati yang menempatkan ideologi Islam bukan untuk menegakkan syariat, melainkan untuk menentang kezaliman, penindasan. Pemikir Syiah lain, Murtadha Muthtahhari, punya pandangan pluralis. Bagi dia, Tuhan adil sehingga pasti memberi pahala bagi siapa pun yang berbuat baik, apa pun agamanya. Hukuman diberikan kepada yang berbuat jahat, apa pun agamanya.

”Apakah menolong orang menjadi amal saleh karena pelakunya Muslim, dan menjadi amal salah karena pelakunya orang bukan Islam? Amal itu baik pada dirinya. Semua itu menggugah saya,” katanya.

Kang Jalal akhirnya menjadi cendekiawan Muslim yang mengembangkan gagasan Islam madani yang pluralis. Bagi dia, semua kelompok agama itu selamat, dan kelebihannya ditentukan oleh amal saleh dan kontribusinya terhadap kemanusiaan.

Belakangan, dia juga suntuk menekuni tasawuf, jenis keislaman yang dasarnya cinta. Dengan cinta, setiap agama bisa bertemu dan berbicara pada bahasa yang sama, memasuki kebun yang sama, baik itu Islam, Buddha, Kristen, Katolik, maupun Hindu.

Indonesia

Ketiga pemahaman Islam tadi tumbuh di Indonesia. Islam siyasiy tampak bangkit lagi lewat partai-partai politik Islam serta dalam kelompok keagamaan di kampus-kampus umum. Islam fiqhiy juga masih ada meski mulai berkurang. Beberapa organisasi masih bertahan dengan Islam fikh.

Namun, Islam madani juga berkembang. Secara umum masyarakat sudah bertambah pluralis. Keterbukaan lewat internet membuat orang mudah memahami kelompok lain. Itu pengantar efektif untuk mendorong orang menjadi pluralis dalam kehidupan global.

”Ketiga jenis Islam itu bertarung dalam wacana, tapi kadang memercik dalam tindakan kerusuhan. Itu terjadi jika dibakar oleh kelompok kepentingan tertentu,” katanya.

Kang Jalal menilai agama madani sangat pas dikembangkan di Indonesia. Pemahaman ini bisa menyatukan bangsa yang sudah lama tercabik-cabik oleh paham keagamaan. ”Kita bisa tingkatkan toleransi itu dari saling menghakimi, menjadi memahami, dan kemudian saling mengalami. Pada tingkat paling tinggi, kita menikmati kehadiran orang lain dalam kehidupan,” katanya.

Bagaimana pemerintah berperan mengembangkan pluralisme? ”Buat kita, itu anjuran. Buat pemerintah, itu keharusan,” katanya.

Secara moral, pemerintah wajib melindungi kelompok minoritas dengan memberi hak dan peluang yang sama. Pemerintah mestinya bersikap tegas dalam melindungi kelompok-kelompok minoritas.

Pluralisme juga bisa dikembangkan lewat sistem pendidikan. Akhlak atau karakter yang baik, seperti penghargaan kepada orang lain atau sikap empati terhadap sesama, bisa ditanamkan lewat program-program pelatihan di sekolah. Pendidikan paling layak disebut pendidikan karena mengajarkan karakter.

Menurut Jalal, secara keseluruhan negara memang masih lemah. ”State sudah menetapkan sesuatu, katakanlah undang-undang yang melindungi kebebasan beragama, tapi tak jalan di lapangan. Menurut UUD 1945, tak boleh ada satu kelompok agama diserang hanya karena beda mazhab. Tapi, penyerangan itu terjadi,” ujarnya.

Negara lemah karena hukum kita lemah. Hukum lemah karena politik Indonesia itu ditentukan hubungan dan kepentingan kelompok. Pemerintah, kata Kang Jalal, lebih mempertimbangkan kepentingan politik, bukan lagi undang-undang yang membela hak asasi manusia.

Sumber: Kompas, Minggu, 6 Februari 2011

Benarkah Mayoritas itu Pasti Benar?

Baru-baru ini aku berdialog di facebook dengan salah seorang teman. Dialog itu berawal saat seorang teman bertanya tentang sunni syiah. “Bukankah sunni dan syiah itu berbeda aqidah?” tanyanya.

Diskusi pun berjalan tidak seperti yang saya inginkan. Karena aku berharap dalam diskusi itu, masing-masing pihak mengajukan argumen dengan Al-Qur’an dan hadits, tetapi faktanya, lawan diskusiku tidak satupun mengutip ayat Al-Qur’an dan hadits sebagai landasan argumennya. Ia hanya berbicara soal kesesatan syiah, bahwa saya harus belajar dari ulama sunni, yang semuanya saya pikir lebih mengarah pada argumen ngawur. Continue reading “Benarkah Mayoritas itu Pasti Benar?”

Siapakah Pembuat Ricuh Saat Nabi Sakit?

Oleh: Yasser Arafat

Tulisan ini berkaitan dengan isu tragedi kamis kelabu yang menimpa Rasulullah Sawaw. Dulu pada awal-awal semester kuliah, saya pernah menerbitkan sebuah buletin dakwah dan pernah memuat tulisan tentang tragedi kamis kelabu ini. Tanpa disangka buletin dengan penampilan seadanya, dapat memunculkan reaksi yang begitu hebat dari sebagian orang yang tidak sepakat dengan tulisan-tulisan di buletin yang saya buat tersebut.

Sebagai reaksi atas buletin saya, ada sebagian orang yang kemudian membuat buletin baru yang bernama Al-Hujjah yang pernah mengaku sebagai Ahlulsunnah dan tulisannya khusus untuk membantah setiap tulisan yang dimuat di buletin saya. Salah satunya ialah tulisan tentang Tragedi Kamis Kelabu. Continue reading “Siapakah Pembuat Ricuh Saat Nabi Sakit?”

Membaca atau Menulis Ta’awwudz?

Tulisan ini masih terkait dengan sebuah blog yang dalam beberapa kesempatan pemiliknya berdiskusi dengan saya. Dan isi diskusi kami sebagian sudah saya postingkan dalam blog ini, diantaranya adalah Wahyu dan Ilham dalam Terjemahan dan Wahyu Turun Kepada Selain Nabi?

Dalam sela-sela diskusi kami, ia tampak sekali kehabisan argumen sehingga ia merasa perlu untuk mendiskreditkan saya dengan mengubah wajah dari foto saya. Ada juga gambar-gambar yang ia buat, yang menurut saya tidak pantas dilakukan oleh seorang muslim. Continue reading “Membaca atau Menulis Ta’awwudz?”

Wahyu Turun Kepada Selain Nabi?

Tulisan ini masih menyambung tulisan yang terdahulu mengenai ilham dan wahyu yang nampaknya masih memberikan efek sampai saat ini kepada orang-orang yang sudah kadung taqlid dengan penerjemahan Al-Qur’an versi DEPAG RI. Sampai-sampai ada seorang blogger yang tidak kesampaian untuk membantah apa yang jadi pendapat saya, sehingga merasa perlu untuk mendiskreditkan saya dengan mengubah-ubah foto wajah saya menjadi wajah keledai. Mungkin pengubahan wajah tersebut sebetulnya adalah representasi dari sifat keledai yang ada di dalam diri blogger tersebut. Continue reading “Wahyu Turun Kepada Selain Nabi?”

ILHAM dan WAHYU Dalam Terjemahan

Berawal dari diskusi di blog tetangga tentang ilham dan wahyu, saya jadi kepikiran untuk menulis mengenai hal itu. Tetapi tulisan ini difokuskan pada permasalahan, apakah selain Nabi dapat memperoleh wahyu, atau hanya dapat memperoleh ilham saja? Continue reading “ILHAM dan WAHYU Dalam Terjemahan”

HMI Cabang Subang Melayani Ramadhan

HMI dalam menyambut Ramadhan Mari kita smbut dengan gembira kedatangan bulan yang mengharuskan kita semua untuk menaha lapar di siang hari…!!! Seruan Kader HMI Cab Subang. walaupun seperti itu tetap arus kita lewati, maka dalam hal ini HMI Cabang Subang telah membentuk panitia khusus untuk mengkordinir seluruh kegiatan yang akan di selenggarakan kader maupun diluar kader. panitia yang telah terbentuk diketuai oleh sodara Ade Hasanudin harus melakukan apa yang harus di lakukan untuk mensukseskan kegiatan – kegiatan yang telah di rencanakan. Yang akan di lakukan dalm Ramadhan Berharap seluruh kader HMI dapan berpartisifasi dalam gegiatan ini, perlu kalian ketahui bahwa kegiatan yang akan di lakukan pasti menyenangkan bagi orang yang meras senang. Gw kasih tau yah kegiatannya…! tapi setelah kamu – kamu tau kegiatan apa saja yang akan di lakukan kamu harus ikuta, rugi lho kalo gak ikut….

Ayo Raih Lailatul Qadar

lailatulqadarSejenak kita termengung dan menghindarkan diri dari percaturan perpolitikan tanah air. Apalagi setelah musibah gempa bumi melanda sebagian Jawa Barat di mana getar gempanya bisa dirasakan di Jakarta maupun sebagian wilayah di Jawa Tengah.

Tiap Ramadhan tentu setiap Muslim mengharapkan dirinya memperoleh ‘hadiah’besar dari Allah SWT pada malam Lailatul Qadar. Malam penuh kemuliaan yang didamba seluruh umat Islam ini senantiasa terus dicari oleh umat Islam.

Sejenak, kita menyimak pendapat dari Ustadz Sigit Pranowo, Lc. Dinamakan lailatul qodr karena pada malam itu malaikat diperintahkan oleh Allah SWT untuk menuliskan ketetapan tentang kebaikan, rezeki dan keberkahan di tahun ini, sebagaimana firman Allah SWT :

إِنَّا أَنزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ مُّبَارَكَةٍ إِنَّا كُنَّا مُنذِرِينَ ﴿٣﴾
فِيهَا يُفْرَقُ كُلُّ أَمْرٍ حَكِيمٍ ﴿٤﴾
أَمْرًا مِّنْ عِندِنَا إِنَّا كُنَّا مُرْسِلِينَ ﴿٥﴾

yang artinya : ”Sesungguhnya kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi[1369] dan Sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan. Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah, (yaitu) urusan yang besar dari sisi kami. Sesungguhnya kami adalah yang mengutus rasul-rasul.” (QS. Ad Dukhan : 3 – 5)

Al Qurthubi mengatakan bahwa pada malam itu pula para malaikat turun dari setiap langit dan dari sidrotul muntaha ke bumi dan mengaminkan doa-doa yang diucapkan manusia hingga terbit fajar. Para malaikat dan jibril as turun dengan membawa rahmat atas perintah Allah swt juga membawa setiap urusan yang telah ditentukan dan ditetapkan Allah di tahun itu hingga yang akan datang. Lailatul Qodr adalah malam kesejahteraan dan kebaikan seluruhnya tanpa ada keburukan hingga terbit fajar, sebagaimana firman-Nya

تَنَزَّلُ الْمَلَائِكَةُ وَالرُّوحُ فِيهَا بِإِذْنِ رَبِّهِم مِّن كُلِّ أَمْرٍ ﴿٤﴾
سَلَامٌ هِيَ حَتَّى مَطْلَعِ الْفَجْرِ ﴿٥﴾

yang artinya : ”Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar.” (QS. Al Qodr : 4 – 5)

Diantara hadits-hadits yang menceritakan tentang tanda-tanda lailatul qodr adalah :

1. Sabda Rasulullah saw,”Lailatul qodr adalah malam yang cerah, tidak panas dan tidak dingin, matahari pada hari itu bersinar kemerahan lemah.” Diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah yang dishahihkan oleh Al Bani.

2. Sabda Rasulullah saw,”Sesungguhnya aku diperlihatkan lailatul qodr lalu aku dilupakan, ia ada di sepuluh malam terakhir. Malam itu cerah, tidak panas dan tidak dingin bagaikan bulan menyingkap bintang-bintang. Tidaklah keluar setannya hingga terbit fajarnya.” (HR. Ibnu Hibban)

3. Rasulullah saw bersabda,”Sesungguhnya para malaikat pada malam itu lebih banyak turun ke bumi daripada jumlah pepasiran.” (HR. Ibnu Khuzaimah yang sanadnya dihasankan oleh Al Bani)

4. Rasulullah saw berabda,”Tandanya adalah matahari terbit pada pagi harinya cerah tanpa sinar.” (HR. Muslim)

Terkait dengan berbagai tanda-tanda Lailatul Qodr yang disebutkan beberapa hadits, Syeikh Yusuf al Qaradhawi mengatakan,”Semua tanda tersebut tidak dapat memberikan keyakinan tentangnya dan tidak dapat memberikan keyakinan yakni bila tanda-tanda itu tidak ada berarti Lailatul Qodr tidak terjadi malam itu, karena lailatul qodr terjadi di negeri-negeri yang iklim, musim, dan cuacanya berbeda-beda. Bisa jadi ada diantara negeri-negeri muslim dengan keadaan yang tak pernah putus-putusnya turun hujan, padahal penduduk di daerah lain justru melaksanakan shalat istisqo’. Negeri-negeri itu berbeda dalam hal panas dan dingin, muncul dan tenggelamnya matahari, juga kuat dan lemahnya sinarnya. Karena itu sangat tidak mungkin bila tanda-tanda itu sama di seluruh belahan bumi ini. (Fiqih Puasa hal 177 – 178)

Perbedaan Waktu Antar Negara

Lailatul qodr merupakan rahasia Allah swt. Untuk itu dianjurkan agar setiap muslim mencarinya di sepuluh malam terakhir, sebagaimana sabda Rasulullah saw,”Carilah dia (lailatul qodr) pada sepuluh malam terakhir di malam-malam ganjil.” (HR. Bukhori Muslim).

Dari Abu Said bahwa Nabi saw menemui mereka pada pagi kedua puluh, lalu beliau berkhotbah. Dalam khutbahnya beliau saw bersabda,”Sungguh aku diperlihatkan Lailatul qodr, kemudian aku dilupakan—atau lupa—maka carilah ia di sepuluh malam terakhir, pada malam-malam ganjil.” (Muttafaq Alaihi)

Pencarian lebih ditekankan pada tujuh malam terakhir bulan Ramadhan sebagaimana diriwayatkan oleh Bukhori Muslim dari Ibnu Umar bahwa beberapa orang dari sahabat Rasulullah saw bermimpi tentang Lailatul Qodr di tujuh malam terakhir. Menanggapi mimpi itu, Rasulullah saw bersabda,”Aku melihat mimpi kalian bertemu pada tujuh malam terakhir. Karena itu barangsiapa hendak mencarinya maka hendaklah ia mencari pada tujuh malam terakhir.”

Dari Ibnu Umar bahwa Rasulullah saw bersabda,”Carilah ia di sepuluh malam terakhir. Jika salah seorang kalian lemah atau tdak mampu maka janganlah ia dikalahkan di tujuh malam terakhir.” (HR. Muslim, Ahmad dan Ath Thayalisi)

Malam-malam ganjil yang dimaksud dalam hadits diatas adalah malam ke- 21, 23, 25, 27 dan 29. Bila masuknya Ramadhan berbeda-beda dari berbagai negara—sebagaimana sering kita saksikan—maka malam-malam ganjil di beberapa negara menjadi melam-malam genap di sebagian negara lainnya sehingga untuk lebih berhati-hati maka carilah Lailatul Qodr di setiap malam pada sepuluh malam terakhir. Begitu pula dengan daerah-daerah yang hanya berbeda jamnya saja maka ia pun tidak akan terlewatkan dari lailatul qodr karena lailatul qodr ini bersifat umum mengenai semua negeri dan terjadi sepanjang malam hingga terbit fajar di setiap negeri-negeri itu.

Karena tidak ada yang mengetahui kapan jatuhnya lailatul qodr itu kecuali Allah swt maka cara yang terbaik untuk menggapainya adalah beritikaf di sepuluh malam terakhir sebagaimana pernah dilakukan oleh Rasulullah saw dan para sahabatnya.

Ciri-ciri Orang Yang Mendapatkan Lailatul Qodr

Didalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhori dai Abu Hurairoh bahwa Rasulullah saw bersabda,”Barangsiapa melakukan qiyam lailatul qodr dengan penuh keimanan dan pengharapan (maka) dosa-dosanya yang telah lalu diampuni.”

Juga doa yang diajarkan Rasulullah saw saat menjumpai lailatul qodr adalah ”Wahai Allah sesungguhnya Engkau adalah Maha Pemberi Maaf, Engkau mencintai pemaafan karena itu berikanlah maaf kepadaku.” (HR. Ibnu Majah)

Dari kedua hadits tersebut menunjukkan bahwa dianjurkan bagi setiap yang menginginkan lailatul qodr agar menghidupkan malam itu dengan berbagai ibadah, seperti : shalat malam, tilawah Al Qur’an, dzikir, doa dan amal-amal shaleh lainnya. Dan orang yang menghidupkan malam itu dengan amal-amal ibadah akan merasakan ketenangan hati, kelapangan dada dan kelezatan dalam ibadahnya itu karena semua itu dilakukan dengan penuh keimanan dan mengharapkan ridho Allah swt.

sumber: www.pewartaonline.co.cc

Muslimah Palestina Ungkapkan Penyiksaan Yang Diterimanya Dalam Penjara Israel

Seorang muslimah Palestina yang ditahan oleh Zionis Israel menceritakan bagaimana dirinya harus menghadapi introgasi, intimidasi, dan penyiksaan selama 14 hari berturut-turut oleh tentara dan introgator Yahudi (la’natullah ‘alayh).

Najwa Awni Abdul-Ghani mengatakan pada pengacara Palestinian Prisoner Society (PPS) bahwa pada 21 Juli 2009, tentara Israel menggeledah rumahnya selama tiga jam. Mereka merusak semua barang miliknya, menteror keluarga, dan menculiknya beserta saudara laki-lakinya, Salah.

Selama operasi penggeledahan, tentara Zionis itu memaksa keluarga, termasuk anak dan kakek neneknya, keluar dari rumah mereka di kota Saida, dekat kota utara Tepi Barat, Tulkarem.

Kemudian, tentara Israel dengan bengis membawa ia dan adiknya dengan dua kendaraan yang berbeda. Berdasarkan keterangan Najwa Awni, ia tidak mengetahui lagi bagaimana nasib adiknya.

Najwa menceritakan bahwa ia dibawa ke penjara Sharon dan kemudian dipindahkan ke pusat introgasi al-Jalama, tempat ia diberi rentetan pertanyaan yang sentimen, diintimidasi, dan disiksa selama 14 hari.

Ia mengatakan pada pengacara PPS bahwa ia kurang istirahat dan tidak pernah diberi makanan yang baik.

“Kondisi kehidupan di dalam penjara itu sangat mengerikan, selnya kotor, bau, dan tidak ada ventilasi serta alas tidur,” ungkap Najwa.

Setelah 14 hari, ia diangkut dengan tangan dan tangan besi terikat dengan besi, dengan sebuah kendaraan militer dan dipindahkan ke penjara al-Damoun, tambahnya.

Najwa Awni Abdul-Ghani adalah salah satu dari sekian banyak muslimah Palestina yang harus menghadapi kekejian bangsa Yahudi, semoga Allah melaknat mereka. Masih banyak muslimah-muslimah lain yang terpenjara dan mengalami hal serupa, atau bahkan ada dalam kondisi yang lebih parah dari apa yang dialami oleh Najwa. (althaf/prtv/arrahmah.com)muslimah palestina

Kritik Atas Waktu Memulai Puasa dan Waktu Berbuka Puasa

Udah lama pingin banget nulis hal ini. Tetapi baru sekarang aku memberanikan diri. Karena apa yang hendak aku tuliskan, sebetulnya dapat saja dengan mudahnya diragukan kebenarannya oleh para penganut paham Argumentum ad Hominem.

Pasalnya, aku seorang mahasiswa fakultas hukum yang buta akan tafsir agama, memberanikan diri menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits.

Kepada para ahli agama, mohon maaf jika apa yang aku sampaikan ternyata berbeda dengan pendapat Anda.

Ini seputar waktu berbuka puasa dan waktu memulai puasa. Continue reading “Kritik Atas Waktu Memulai Puasa dan Waktu Berbuka Puasa”