pergerakan mahasiswa, mati surikah?

Mahasiswa adalah kaum terpelajar muda yang berada pada level tertinggi suatu proses pendidikan, dimana pada diri merekalah terdapat sebuah tumpuan harapan rakyat yang sangat besar. Peranan mahasiswa sesungguhnya sebagai individu-individu yang berusaha menyesuaikan diri dengan orang-orang atau golongan yang berusaha mengubah tradisi, dengan demikian akan terjadi perubahan tradisi yang lebih baik dalam dinamika kehidupan masyarakat. Sejatinya Mahasiswa bergerak melalui mekanisme pendidikan aktif dan independensinya tidak dicemari oleh berbagai kepentingan sosio cultural politice yang bertentangan dengan kebutuhan rakyat. Maka muncullah pelaku pergerakan pembelaan rakyat yang sering diistilahkan dengan aktivis kampus.
Aktivis kampus adalah mahasiswa yang mau berpikir, berjuang, dan bersedia menjadi pelaku perubahan yang mengarah pada perbaikan nasib bangsa dengan segenap kemauan dan kemampuan. Mereka bergerak di jalur politik dan aktivis imajiner atau apapun itu adalah bagian dari dunia kampus. Sebagai miniatur negara, kampus memang memiliki keragaman, baik dari aktivitas, pola pikir sampai dengan identitas. Dan dari perbedaan atau pluralitas itu kampus menjadi tempat lahirnya banyak pelaku perubahan yang kemudian berbaur dengan masyarakat.
Gerakan mahasiswa tampaknya memang sudah menjadi tuntutan zaman. Ia timbul tenggelam dalam pergolakan bangsa-bangsa yang ingin menata kehidupan demokrasinya secara lebih beradab antara lain dengan mengikut sertakan suara-suara kaum mudanya. Fenomena-fenomena gejolak mahasiswa di tanah air yang eskalasinya sangat luas ini, mengingatkan kita kembali pada sinyalemen seorang pengamat gerakan mahasiswa, Philip G. Albach, bahwa aktivitas kemahasiswaan di dunia ketiga tetap merupakan suatu faktor penting.
Pentingnya peran mahasiswa ini layak kita garis-bawahi, tidak hanya terletak pada posisinya yang cenderung “elitis” sehingga membuat mereka merasa memiliki kedudukan istimewa dalam masyarakatnya. Tapi, juga berkaitan dengan struktur dan lembaga politik di negara-negara berkembang yang dinilai belum mapan, sehingga meniscayakan dampak langsung aktivitas mahasiswa atas politik. Dan juga yang paling utama adalah keterlibatan moral dalam proses politik bangsanya, untuk menemukan sebuah kebenaran yang diidam-idamkan rakyat, yang telah berusaha memulihkan kualitas kehidupan bangsanya. Bukan hanya kualitas hidup yang dicerminkan dalam hal-hal yang bersifat material, tapi yang terpenting juga kualitas demokrasi atau martabat manusia itu sendiri.
Akan tetapi, banyak mahasiswa tidak menyadari bahwa mereka adalah kaum intelektual murni yang diharapkan masyarakat awam, karena dipandang bebas dari kepentingan politis elit tertentu, mereka tidak mengerti akan substansi dari Tri Darma Perguruan Tinngi itu sendiri. Sehingga sebagian diantaranya salah kaprah akan ke-eksistensian mereka sendiri sebagai agent of change, beranggapan bahwa kuliah hanya sebagai salah satu syarat utama untuk mencari kerja, juga mungkin hanya sebatas ikut trend global bahwa kuliah adalah suatu lifestyle anak muda masa kini dengan berbagai corak tingkah laku yang sebenarnya dapat menghancurkan identitas kemahasiswaan di mata masyarakat.
Mahasiswa saat ini terjebak dengan pemikiran bahwa tugas intelektualitas mereka telah usai pasca reformasi 1998, dan hanya dapat membanggakan reformasi yang telah diperjuangkan oleh para pendahulunya. Mereka tidak bisa merawat dan minimal tidak mampu untuk mengontrol dinamika kehidupan ideal yang diharapkan dari reformasi. Ditambah dengan pola pendidikan praktis dan statis dimana mahasiswa hanya kuliah dengan cara mendengar dan mengikuti aturan baku yang diterapkan kampus, sehingga menghambat pola pikir dan kreatifitas mahasiswa, sejatinya mereka harus dinamis dan tidak dapat dikurung oleh aturan-aturan yang dapat membungkam suara murni dari pergerakan mahasiswa.
Mahasiswa, kampus dan politik merupakan tiga entitas yang dapat saling berikatan. Di kampus, mahasiswa tidak hanya mengisi aktivitas dengan belajar. Mahasiswa dengan berbagai peran sosialnya dapat melakukan aktivitas-aktivitas sosial-politik. Aktivitas ini sekurang-kurangnya dapat dilihat pada fenomena pemerintahan mahasiswa sebagai wujud dari politik kampus. Sebagian kecil mahasiswa memilih menjadi aktivis kampus untuk bisa mewujudkan peran tersebut.
Peran tersebut menjadi tantangan sulit bagi mereka yang belum berpengalaman sama sekali, sehingga seringkali terlihat rapuh dan berkembanglah stigma skeptis dari pemikiran mereka. Sedangkan yang sudah berpengalaman tidak mampu untuk merangkul semua elemen kampus karena beranggapan bahwa hanya dialah yang mampu untuk memimpin suatu pergerakan mahasiswa yang sesungguhnya, sehingga tidak mendapatkan kepercayaaan dari yang lain, hanya bergaul dengan orang-orang tertentu yang dianggap sepadan dengannya (elitis). Tidak pernah mau mendengarkan statement dari mahasiswa yang berada di luar komunitas mereka. Ditambah lagi dengan jumlah mereka yang tidak sampai 11% dari total mahasiswa per kampusnya, dukungan yang tidak didapatkan dari mahasiswa lainnya, skeptisisme tenaga pendidik kepada mereka, juga menjadi hal yang dapat membuat mereka kehilangan directly confidental. Realita bahwa ada hal yang dilupakan oleh aktivis kampus hari ini yakni kondisi teman-temannya yang lain, yang katakanlah non aktivis, dan anggapan bahwa non aktivis adalah apatis. Juga kurangnya peran dari kawan-kawan yang menamakan dirinya sebagai aktivis dengan embel-embel fungsinya untuk melakukan proses penyadaran terhadap mahasiswa lain untuk berjuang membela rakyat secara bersama-sama. Hal tersebutlah yang menjadikan mahasiswa terpecah belah, kemudian terjadi evolusi penyekatan dan pengotakan yang berakibat pada tidak terjadinya harmonisasi di kampus. Pengkotakan komunitas ini akhirnya menjadi semakin kuat. Masing-masing komunitas saling mengklaim bahwa ideologi merekalah yang tepat untuk diperjuangkan dan diterapkan dalam perkembangan masyarakat banyak. Sehingga mereka terjebak dalam sebuah kerangka pemikiran yang menempatkan manusia sebagai objek, bukan lagi sebagai subjek.
Statement inilah yang tanpa disadari mengikis kemurnian perjuangan intelektual mereka. Seringkali pada realitanya pergerakan mereka hanya untuk menunjukan eksistensi komunitas mereka saja di muka khalayak ramai dengan mengatasnamakan rakyat. Pergerakan ini seringkali tidak tahu apa yang seharusnya diperjuangkan, mereka tidak mampu menganalisis problema kehidupan sosial kultural politik yang terjadi dalam masyarakat, tanpa tedeng aling-aling langsung mengadakan aksi atas nama pembelaan terhadap rakyat, padahal dengan aksi merekalah masyarakat kehilangan something of trusting kepada mereka. Masyarakat dibuat bingung dengan aksi pembelaan mereka, pembelaan yang seharusnya ditujukan kepada masyarakat, malah tidak sesuai pada tempatnya. Jauh melenceng dari kesesuaian kebijakan dengan kebutuhan rakyat.
Yang lebih ironis, ada pergerakan atas permintaan elit tertentu untuk memprotes suatu kebijakan yang merugikan kaum elit tersebut, menggunakan mahasiswa sebagai alat bantu penentang kebijakan yang seolah-olah nantinya dipandang masyarakat sebagai kebutuhan rakyat karena diperjuangkan oleh mahasiswa. Mahasiswa tersebut nantinya mendapatkan imbalan tertentu atas aksi yang telah dilakukan. Pergerakan mahasiswa seperti ini tidak seharusnya diacungkan jempol, mereka berteriak-teriak lantang atas nama pembelaan rakyat, akan tetapi dibalik itu terdapat kepentingan elit tertentu, sebenarnya hal ini tidaklah membentuk mental pejuang intelektual pembela rakyat yang sejati, tapi membentuk mental-mental penjilat yang merusak moral masyarakat sendiri.
Perpecahan mahasiswa juga sangat terasa ketika saat pemilihan ketua sebuah lembaga kemahasiswaan, apakah pada level universitas, fakultas dan bahkan pada level jurusan/program study sekalipun. Dapat dilihat dimana kandidat A menjadi pesaing ketat kandidat B dan seterusnya, berbagai ideologi dan strategi komunikasi aktif dikembangkan dan diterapkan dengan berbagai cara, termasuk permainan curang sekalipun. Pasca pemilihan, kandidat terpilih hanya menempatkan orang-orang yang telah membantunya pada saat kampanye, dan hanya yang se-ideologi dengannya yang dimasukkan dalam struktur kepengurusan kabinetnya. Yang berada di luar garis komunitas ideologinya tidak boleh mendekati kepengurusan yang dipaksakan ini, sehingga menempatkan orang-orang non qualified untuk mengatur sirkulasi perjuangan mahasiswa yang seutuhnya. Hal inilah kemudian yang membuat lembaga kemahasiswaan tidak mampu mengakomodasi aspirasi mahasiswa dan masyarakat, sehingga kehilangan jati diri dan kepercayaan dari mahasiswa lainnya.
Sudah saatnya aktivis merubah pola pikir, merubah paradigma statis bahwa aktivis tidak lagi mampu menjadi pembela rakyat. Aktivis sekarang harus menjadi pilar intelektual terhadap problema rakyat. Serta bersih dari kepentingan politis elit atas. Sebelum ke dunia luas, sejatinya harus menyelesaikan problem yang berada dalam lingkungan kampus terlebih dahulu, membebaskan mahasiswa dari jeratan aturan yang merugikan eksistensi mahasiswa. Ini memang sangat ironis, tapi tidak akan menjadi beban ketika yang diperjuangkan adalah kepentingan bersama, dalam artian kaum aktivis tersebut ikut memperjuangkan kepentingan mahasiwa yang terkesan apatis secara konkrit, yang notabene tidak berani bicara dan bertindak walaupun pada dasarnya mereka juga ikut merasakannya. Aksi untuk kepentingan bersama adalah langkah mulia, yang pasti akan ada yang mendukung, walaupun kebanyakan hanya dalam hati. Yang pasti posisi mahasiswa sebagai jangkar dan oposisi yang selalu mengambil garis tegas terhadap kekuasaan yang sewenang-wenang terhadap rakyat, baik kampus maupun masyarakat luas harus tetap dijaga.
Kita yakin kultur yang baik tak mungkin dibina dengan cara-cara manipulatif dan kotor seperti yang sering kita dengar kalau orang-orang tengah mengecam strategi politik. Mungkin yang harus kita jawab lebih dahulu, apakah perjuangan moral aktivis saat ini benar-benar bisa mempertahankan kemurniannya dari berbagai corak intervensi atau luput dari kepentingan pihak-pihak tertentu? Setelah perjuangannya berhasil, apakah mereka bisa menghindarkan diri dari sikap-sikap easy going, arogansi, sikap membusungkan dada, kekerasan, brutalisme, radikalisme, seperti yang sering kita dengar dari orang-orang yang tidak setuju dengan aksi perjuangan mahasiswa ataupun dari geliat kaum oportunis dan pragmatis yang senantiasa membonceng di balik rintihan anak zamannya?
Dalam gerakan mahasiswa, apalagi jika berpretensi sebagai gerakan moral, bukanlah ukuran kalah atau menang, atau kuat dan lemah, tapi kebenaran yang menjadi perhitungan. Yang menjadi fokus haruslah tetap isu yang mereka kumandangkan, yaitu isu monumental yang harus segera diperjuangkan secara bersama-sama tanpa perpecahan konsep yang berarti. Seandainya pun tidak berhasil, gerakan aktivis mahasiswa akan tetap dikenang sebagai hati nurani zamannya, asalkan mereka tetap pada jalur tanpa kekerasan. Bagi pergerakan mahasiswa tanpa kekerasan, pemisahan gerakan moral dan gerakan politik tidak lagi relevan, karena moral harus juga diperjuangkan secara politik, dan aksi pergerakan politik aktivis mahasiswa harus dijalankan dengan prinsip moral. Semoga gelar aktivis bukan dimaknai sebagai suatu status sosial yang perlu dibanggakan, tapi menjadi sebuah posisi yang harus bisa dipertanggung jawabkan. Perjuangan adalah kenyataan, dan kenyataan yang akan mengantarkan perjuangan kita.

oleh Zulfiadi Ahmedy (Ketua Umum HMI Komisariat Persiapan FISIP Unsyiah Banda Aceh)

opposite for freedom
opposite for freedom

Dualisme HMI; Antara Yasir, Sumayyah, dan Ammar bin Yasir

Salah satu diantara banyak pertanyaan yang pasti saya dengar saat berdiskusi tentang HMI dengan mahasiswa baru ialah pertanyaan soal perpecahan HMI menjadi HMI (DIPO) dan HMI (MPO). Selalu saja pertanyaan ini mengisi ruang-ruang dialog antara mahasiswa baru dengan pengurus HMI. Dan biasanya pertanyaan tersebut disusul dengan pertanyaan lanjutan seputar siapa yang benar dan siapa yang salah (tersesat). Continue reading “Dualisme HMI; Antara Yasir, Sumayyah, dan Ammar bin Yasir”

HMI ON THE MOVE

Posting ini di sadur dari proposal “HMI ON THE MOVE” HMI Cabang Jember Komisariat Sastra yang disusun tanggal 5 februari 2006 yang saya rasa masih relevan dengan kondisi perkaderan HMI komisariat-komisariat lain.

Bismillahirrahmanirrahiim

Dengan Nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maka Penyayang.

Dengan segenap rasa sukur ke hadirat Allah SWT,  kami menyusun proposal ini, untuk mewujudkan sebagain dari tugas sejarah yang dibebankan kepada kami, terutama sebagai pribadi yang pernah aktif dan menjalani perkaderan di HMI.

I. TRADISI DAN WARISAN PERKADERAN SEBAGAI IDE DASAR

Perkaderan merupakan inti utama kekuatan HMI yang hari ini menggenapkan usianya yang ke-62. Perkaderan bukanlah semata-mata proses pewarisan tradisi dan sejarah HMI, tetapi juga merupakan cara HMI merespon, mengadaptasi, dan mengambil peranan yang disediakan oleh sejarah. HMI hidup mati bersama sejarah bangsa Indonesia dan umat Islam Indonesia.

Perkaderan, pada skala ruang lingkup sosial yang lebih kecil, mengemuka dalam berbagai entitas. Salah satu entitas yang terpenting diantaranya adalah pembentukan komunitas (community building). Di era dimana peranan teknologi yang berkembang pesat dan semakin mempermudah cara hidup manusia, proses pengorganisasian sosial dalam kehidupan manusia seringkali justeru tertinggal.

Atomisme, individualisme, anti-sosial, kehilangan makna, dan menguapnya dimensi-dimensi spiritual dari kehidupan, untuk sebagian merupakan akibat yang sulit dihindari dari berkembangnya teknologi, yang telah merambah ke segala sudut kehidupan manusia, dan secara tidak sadar menjadi ancaman baru bagi kebebasan manusia.

Teknologi, betapapun, harus bertujuan melayani hidup yang semakin berkualitas, dan mempertinggi tanggungjawab sosial-kemanusiaan. Dalam scope perkaderan, teknologi berarti mempertinggi kesanggupan kader, untuk mengartikulasikan tujuan-tujuan HMI, memperluas wilayah perwujudannya, yang secara kreatif dibuat untuk mengembangkan tradisi-tradisi baru yang positif, terutama dalam menghadapi berbagai persoalan-persoalan aktual yang dimunculkan oleh kemajuan.

Akhirnya, Islam baik sebagai agama, way of life, maupun guiding principles, merupakan sumber yang tiada habis-habisnya memberi petunjuk, inspirasi, dan koreksi, bagi HMI, dalam menempuh perjalanan yang panjang untuk menunaikan tugas sejarahnya.

HMI Komisariat adalah wahana perkaderan yang memiliki arti strategis, untuk selalu berada sejalan dengan perkembangan kemajuan, baik pada tingkatan sosial maupun kebudayaan. Justeru karena posisi Komisariat yang langsung berada di garda terdepan kehidupan mahasiswa, maka Komisariat pada hakekatnya berada di tengah arus sejarah kemajuan masyarakat.

II. PERKADERAN DAN TANTANGAN EKSTERNAL YANG BERSIFAT KONTEMPORER

Perkaderan, karena sifatnya sebagai aktivitas yang hidup, berkelanjutan, dan berkembang sejalan dengan kondisi aktual dalam masyarakat, dengan sendirinya juga akan menghadapi tantangan-tantangan aktual. Tantangan perkaderan paling aktual dewasa ini antara lain terdiri dari: globalisasi, determinsime teknologi, rasionalitas ekonomi dan pengorganisasian masyarakat, kontestasi kebudayaan di berbagai arena.

A. Globalisasi

Pada hakekatnya globalisasi merupakan tahapan lebih jauh dari perkembangan kapitalisme, yang tidak lagi bisa terbendung atau terbatasi oleh kekuatan apapun, termasuk negara. Globalisasi telah merubah konsep ruang dan waktu, sebagaimana dewasa ini tercermin dalam arus perpindahan segala bentuk kapital—seperti uang, benda-benda, kebudayaan, teknologi, dan informasi—yang berlangsung dalam skala kecepatan yang begitu tinggi, dan menembus semua batas ruang sosial maupun pribadi. Globalisasi merupakan daya utama penggerak perubahan masyarakat, bersifat tidak terelakkan dan tak mungkin dihindari. Karena itu, sisi positif dari globalisasi merupakan bagian yang bisa dimanfaatkan dalam rangka mendorong berlangsungnya perubahan-perubahan positif dalam berbagai satuan sosial, mulai dari individu, keluarga, komunitas, masyarakat, maupun negara.

B. Determinisme Teknologi

Detreminisme teknologi merupakan resultan dari perkembangan masyarakat industri (industrial society) yang secara bertahap telah berhasil menggantikan peranan masyarakat tradisonal (traditional society) sebagai lokus utama bagi perkembangan peradaban manusia. Determinisme teknologi—terutama dalam dunia yang tengah terintegrasi sepenuhnya melalui teknologi informasi—pada akhirnya menghadirkan rasionalitas teknologi dalam kehidupan masyarakat. Teknologi telah berkembang bukan saja sebagai instrumen dalam kehidupan sehari-hari, tetapi juga membentuk suatu jenis kesadaran baru, dimana perkembangan dunia sosial dan dunia personal tidak mungkin lagi menutup diri dari pengaruh teknologi. Teknologi pada bentuknya yang asli adalah sesuatu yang netral, tetapi dalam dunia sosial, teknologi bisa berarti membebaskan manusia dengan memberi daya kemampuan yang tinggi dalam menghadapai dan mengelola berbagai persoalan. Di sisi lain, teknologi dengan sifat rasional, impersonal, dan dehumanistik yang dikandungnya, juga merupakan ancaman potensial bagi kebebasan manusia, terutama jika sikap terhadap teknologi bersifat eksploitatif.

Daya jangkau teknologi yang demikian luas, dibarengi kemampuan teknologi dalam mendorong terjadinya perubahan sosial, menciptakan fenomena “atomisme” atau individualisme dalam kehidupan masyarakat. Hal terpenting dari menguatnya individualisme—baik sebagai sebab maupun akibat dalam kaitannya dengan teknologi—telah mendorong lahirnya berbagai bentuk “solidaritas baru” untuk mempertahankan tegaknya suatu masyarakat. Ini terkait dengan fakta bahwa atomisme dalam dunia sosial menghasilkan ruang kebebasan pada tingkat individual, namun melemahkan sumber-sumber utama pembentuk solidaritas dan integrasi dalam masyarakat, seperti tradisi, ikatan-ikatan primordial, maupun ikatan-ikatan emosional. Salah satu bentuk solidaritas baru yang muncul akibat menguatnya peranan teknologi itu adalah berkembangnya pembagian kerja atau division of labor. Betapapun, pembagian kerja merupakan tuntutan yang tak terelakkan, dan merupakan salah satu sumber pembentukan solidaritas, yang berguna untuk mendukung terbinanya keutuhan masyarakat.

C. Rasionalitas Ekonomi dan Pengorganisasian Masyarakat

Rasionalitas ekonomi dan pengorganisasian masyarakat merupakan dua sisi dari satu keping mata uang yang sama dalam masyarakat modern. Motif, dorongan, dan kepentingan ekonomi merupakan mesin utama yang menggerakkan masyarakat. Rasionalitas ekonomi membentuk kesadaran kalkulatif, memperkuat pola hubungan kontraktual, mempertinggi kemampuan mengelola resiko, memperkuat orientasi mengejar keuntungan, memperbesar akumulasi aset, memperluas kegiatan investasi, dan mempertinggi kecakapan mengelola produksi. Rasionalitas ekonomi akhirnya berujung kepada penguatan peranan pasar. Rasionalitas ekonomi menjadikan pasar bukan saja sebagai institusi ekonomi, tetapi juga institusi sosial, politik, dan kebudayaan.

Institusi pasar, pada akhirnya, sangat berpengaruh dalam pembentukan corporate society, yaitu suatu masyarakat yang sumber-sumber ikatannya terbentuk atau berasal dari norma-norma institusi pasar, yang berbasis dari rasionalitas ekonomi. Corporate society—yang kehadirannya bisa dibedakan dari institusi state dan civil society—menghasilkan suatu solidaritas organik, yaitu solidaritas yang digerakkan oleh dorongan-dorongan organisasional yang bersifat ekonomis, teknologis, dan meninggalkan ikatan-ikatan tradisional yang berbasis ikatan kekeluargaan yang mengutamakan kegotong-royongan.

D. Kontestasi Kebudayaan

Kontestasi kebudayaan—terutama sebagai konsekuensi dari globalisasi, determinisme teknologi, dan rasionalitas ekonomi—pada hakekatnya terlahir sebagai sesuatu yang tak terhindarkan, dan berlangsung dalam arena yang luas. Kontestasi kebudayaan timbul bukan saja karena norma-norma persaingan bebas dalam rasionalitas ekonomi turut berpengaruh dalam pengorganisasian masyarakat, tetapi juga didorong oleh keinginan untuk memenangkan suatu bentuk kebudayaan tertentu yang mampu menjamin “pelembagaan kemenangan” masyarakat modern atas berbagai jenis masyarakat lainnya yang tersisa.

Kontestasi kebudayaan, karena itu, seringkali ditingkatkan menjadi benturan kebudayaan, terutama karena terpicu oleh kenyataan bahwa dunia modern a la Barat dengan segenap kebudayaan yang dimilikinya, tidak bisa menerima kenyataan adanya berbagai jenis dunia kultural non-Barat, yang mampu bertahan hidup tanpa harus tergantung kepada Barat.

III. HMI DAN EVOLUSI CITA-CITA KEMASYARAKATAN

Salah satu aspek menarik dalam sejarah perjalanan HMI adalah terkandungnya sejumlah cita-cita sosial kemasyarakatan, yang merekam perjumpaan HMI dengan berbagai peristiwa penting, di berbagai era yang dilaluinya. Artikulasi cita-cita kemasyarakatan itu terekam dari sejarah perkaderan HMI yang mengusung cita ideal (das sollen) baik pada tataran individu, maupun pada tataran community dan society. Dimensi perkaderan dalam wilayah pembentukan karakter dan pembentukan komunitas merupakan proses yang terjadi pada wilayah anggota HMI. Sedangkan dimensi perkaderan dalam wilayah kealumnian lebih menyentuh ke berbagai wilayah societal, yaitu wilayah-wilayah masyarakat yang terkait dengan fungsi-fungsi kelembagaan yang luas dan menyebar dalam masyarakat, baik di lapangan politik, ekonomi, maupun sosial-kebudayaan. Tujuan HMI merekam dengan baik seluruh rangkaian proses simultan ini, dengan mengartikulasikannya ke dalam kalimat sederhana, namun bersifat operasional dan kaya makna: “Terbinanya insan akademis, pencipta, pengabdi, yang bernafaskan Islam dan bertanggungjawab atas terbentuknya masyarakat adil makmur yang diridhoi Allah SWT.”

Cita-cita kemasyarakatan ini juga mencerminkan pengaruh kuat dari dua bentuk masyarakat yang bersifat inheren dan saling mempengaruhi dalam sejarah perkembangan HMI. Keduanya adalah Masyarakat Islam (Islamic society) dan masyarakat modern (modern society). Masyarakat Islam adalah masyarakat yang berlandaskan moral, proaktif terhadap toleransi, perdamaian, dan kemakmuran, mendukung prinsip-prinsip inklusifitas (dengan merangkul semua manusia tanpa membedakan latar belakang suku dan golongan ke dalam Islam), mendukung ide-ide kemajuan, dan terbangun di bawah kedaulatan Tuhan (Islamic society is a society which is moral-based, proactive for tolerance, peace and prosperity, supporting the principles of inclusion, ideas of progress, and guided by the God sovereignty).

Pada sisi yang bersebelahan, HMI juga berkaitan dengan cita-cita yang berbasis dari dinamika masyarakat modern, yang terdefinisikan sebagai sebuah masyarakat rasional yang berbasis teknologi dan ekonomi, mendukung tegaknya kesederajatan, kemakmuran, dan stabilitas, proaktif terhadap ide-ide sekular dan ide-ide kemajuan, dan menyatukan berbagai keragaman dalam ikatan keadaban (modern society is a society which is based on technology and economy, promoting equality-prosperity-stability, and proactive upon secular ideas and ideas of progress, and uniting diversity within the bond of civility).

Dalam konteks kenegaraan, cita-cita sosial kemasyarakatan HMI juga sejalan dengan cita-cita nasional kemerdekaan Indonesia, yaitu terwujudnya masyarakat adil-makmur berdasarkan Pancasila.

Berbagai cita-cita sosial kemasyarakatan yang hidup dan menghidupi, serta menggerakkan sejarah perjalanan HMI itu, pada sejumlah momentum terlihat menampilkan ekspresi terkuatnya, namun pada momentum yang lain, tersaput oleh perilaku-perilaku penyimpangan, yang digerakkan oleh kepentingan-kepentingan jangka pendek dan tidak prinsipil. Meski demikian, sebagai sesuatu yang genuine, cita-cita sosial kemasyarakatan HMI itu sesungguhnya tidak pernah mati.

HMI Komisariat: Ujung Tombak Gerakan, Sumber Inspirasi dan Gairah Perjuangan

Himpunan Mahasiswa Islam telah hidup di bumi Indonesia selama bertahun-tahun. HMI sebagai sebuah institusi memiliki tujuan yang sangat mulia. Secara sederhana HMI memiliki ruang lingkup perjuangan yang meliputi 3 hal: Pemikiran, Keislaman dan Pergerakan Sosial.

…terbinanya insan akademis, pencipta, pengabdi yang bernafaskan Islam yang bertanggungjawab atas terwujudnya masyrakat adil makmur yang diridhoi Allah SWT…

Namun setiap organisasi mahasiswa memiliki tujuan mulia yang tercantum dalam AD dan ART nya. Semua itu bukanlah ukuran. Karena terkadang usia bergerak bersamaan dengan menurunnya ghiroh perjuangan. Di negara ini, Indonesia tercinta, partai yang berusia tua adalah partai yang paling pragmatis, partai yang dari pemilu-ke pemilu dipenuhi oleh tokoh-tokoh yang kian waktu mulai kehilangan idealismenya.

Begitu pula organisasi mahasiswa. Sejarah membuktikan setiap organisasi mahasiswa yang belum memiliki alumni yang ikut berkecimpung dalam ranah kekuasaan adalah organisasi mahasiswa yang tidak pernah kehabisan bara perjuangan. namun kemana bara itu lenyap? Kemana panas didada melihat ketidakadilan itu pergi? Apakah karena mereka semua sudah mulai mencium wanginya duit?

Materi, kekuasaan, dan iming-iming lainnya adalah rintangan yang selalu saja ada disetiap jalan para pejuang. Tak juga ketinggalan HMI. Kemanakah Cak Nur-Cak Nur Muda? Ahmad Wahib-Ahmad Wahib baru? Kemanakah para pemikir, mahasiswa-mahasiswa yang dalam usia mudanya bergairah membara untuk berkecimpng di kawah candradimukanya perkaderan? Kemana para pejuang intelektual yang setiap kepergiannya ke ruang belajar (kampus) diniatkan untuk melakukan penyebaran idealisme?

Continue reading “HMI Komisariat: Ujung Tombak Gerakan, Sumber Inspirasi dan Gairah Perjuangan”

AKSI HIMPUNAN MAHASISWA ISLAM (HMI) CABANG SURAKARTA – PERANG KORUPSI…!!!

AKSI HIMPUNAN MAHASISWA ISLAM (HMI) CABANG SURAKARTA

PERANG KORUPSI…!!!

SAAT INI IKHTIAR KITA, BANGSA INDONESIA DALAM MEMERANGI KORUPSI SEDANG DIHADANG DENGAN PERSOALAN RAKSASA. Yaitu ambang kegagalan pasti, DPR untuk menghasilkan UU Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang seharusnya sudah diselesaikan 3 tahun yang lalu, berdasarkan putusan MK No. 012-014-019/PUU-IV/2006. Putusan tersebut menyatakan bahwa Pasal 53 UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi bertentangan dengan UUD 1945. Padahal, MK mengisyaratkan bahwa jika sampai dengan batas waktu yang ditentukan UU Pengadilan Tipikor tidak muncul maka seluruh kasus yang sudah dilakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan oleh KPK akan diserahkan kepada pengadilan umum. Padahal kita tahu bahwa pengadilan umum adalah sarang mafia peradilan yang gemar meloloskan para koruptor. Jika hal itu terjadi, “SORAK GEMBIRA KORUPTOR DI INDONESIA AKAN MEMBAHANA, AKHIRNYA KEMBALI LAGI RAKYAT YANG MENANGGUNG SENGSARA DAN DERITA.” Continue reading “AKSI HIMPUNAN MAHASISWA ISLAM (HMI) CABANG SURAKARTA – PERANG KORUPSI…!!!”

Keharusan merejuvenasi gerakan HMI

Oleh: Luhung Ahmad Perguna

ENAM puluh dua tahun yang lalu, atau tepatnya 5 Februari 1947 Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) lahir. HMI sebagai sebuah gerakan mahasiswa yang menjadikan Islam sebagai bendera perjuangan tentu menjadi salah satu bagian yang harus berada di garis terdepan untuk berjuang memperbaiki kondisi bangsa yang belum mengalami perubahan signifikan ini. Sebut saja korupsi yang masih merajalela, kemiskinan, kekerasan dan bentuk kejahatan lain begitu tumbuh subur di negeri yang mayoritas beragama Islam ini. Continue reading “Keharusan merejuvenasi gerakan HMI”

Rejuvenasi Gerakan Mahasiwa: Sebuah Kebutuhan Mendesak

Oleh: Eka Nada Shofa Alkhajar

“Lebih baik diasingkan daripada menyerah kepada kemunafikan” (Soe Hok Gie).

Letupan semangat dari seorang aktivis dan demonstran bernama Gie seakan menjadi sebuah nilai idealis yang senantiasa mengilhami Gerakan Mahasiswa (GM) untuk tetap bertahan ditengah benturan zaman yang terus bergulir. Siapa yang memungkiri peran dari GM dalam mewarnai sejarah perjalanan bangsa Indonesia? Tidak ada. Continue reading “Rejuvenasi Gerakan Mahasiwa: Sebuah Kebutuhan Mendesak”

Ulama, Intelektual Tukang dan Negara

Seorang teman secara vulgar sering menyalahkan Islam atas berbagai keadaan buruk yang menimpa Indonesia. Menurutnya, Islam adalah biang keladi dari segala macam yang terjadi di Indonesia.

Saya tidak heran setelah sekian banyak propaganda hitam atas Islam, banyak orang yang berpandangan demikian. Hal itu terjadi bukan tanpa sebab. Dan dia memiliki alasan untuk berfikir seperti itu.

Pun saya tidak perbah bermaksud untuk mengklarifikasi penilaiannya. Biarkan saja siempunya itu berfikir demikian.

Continue reading “Ulama, Intelektual Tukang dan Negara”

Happy ye ye ye happy ya

Happy ye ye ye happy ya…

saya pilih HMI saja

Siang jadi kenangan

Malam jadi impian

Cintaku, semakin mendalam

Happy ya ya ya happy ye…

Aku pilih HMI wae

Awan dadi kenangan

Bengi dadi impian

Tresnaku soyo luwih gedhe

zhafran-ummu zhafran-eyang zhafran
zhafran-ummu zhafran-eyang zhafran

Saya tidak yakin benar, apakah syair lagu di atas masih beredar di kalangan para kader  HMI atau tidak, karena sepengetahuan dan seingat saya, selama kuliah dan berkecimpung di HMI, lagu ini sekalipun tak pernah ‘mampir’ ke telinga saya.

Lagu ini saya kenal jauh sebelum saya menyandang predikat mahasiswa, jauh sebelum saya menginjakkan kaki di kota Jember untuk kuliah, bahkan jauh sebelum saya mengenal suami saya yang saat saya menjadi mahasiswa baru, ia tengah berada di puncak karir sebagai ketua umum komisariat (idiiihh…segitu amat….)

Lagu ini justru menjadi syair pengantar tidur ketika saya, dan saudara saya yang lain masih berada dalam masa kanak-kanak. Yang bersenandung? siapa lagi kalau bukan ibunda tercinta.

Tak perlu dulu paham arti dari tiap syair yang terucap, dari nadanya yang semestinya riang tapi karena ibu yang menyanyikannya mendayu-dayu, kami lebih mudah tertidur. Toh, seiring bergulirnya waktu, kami juga memiliki rasa ingin tau yang besar tentang segala sesuatu, tak terkecuali tentang syair lagu itu dan kesempatan ibu untuk mengawali sebuah cerita panjang yang bersambung hingga kami dewasa pun terbukalah…

“HMI itu organisasi yang menempa ibu menjadi pribadi yang lebih kuat,tangguh, paham aturan main, dan lebih  memahami Islam lebih dalam sewaktu ibu kuliah dulu…”, demikian cerita pembuka yang disampaikan ibu. Selanjutnya, hari demi hari, cerita itu senantiasa berkelanjutan. Saya tak pandai menguraikan setiap kata dan kalimat yang disampaikan oleh ibu saya, dengan gaya bahasanya yang gamblang dan lugas, sebagaimana saya tak pandai bercerita tentang Si Kancil yang Nakal Karena Mencuri Buah Timun atau Jaka Tarub yang mencuri selendang salah satu bidadari yang mandi di sungai.

Secara singkat, yang dapat saya tangkap dari cerita ibu, HMI dulu dengan HMI sekarang memang sudah banyak sekali perubahan. Satu contoh yang paling mendasar, kalau dulu nggak perlu ditanya tentang loyalitas, kesediaan diri masuk HMI secara sadar pun sudah menjadi jaminan kesetiaan, “lha dulu yang dihadapi kan PKI, kalau sudah berangkat ke kampus, nggak tau deh…bisa pulang selamat atau tidak ke rumah…”,begitu kira-kira suasana mencekam yang menggambarkan nuansa keorganisasian HMI di tahun 60-an. Sekarang, sudah melalui latihan kaderpun, tingkat loyalitas masih diragukan. Yah, memang segala sesuatunya kembali pada niat masing-masing pribadi dan akan mendapatkan sesuai dengan apa yang diniatkan.

Saya tak berniat menyampaikan apa saja yang telah diceritakan ibu kepada saya tentang HMI, yang ingin saya titik tekankan bahwa sedemikian berpengaruhnya HMI bagi ibu, disadari atau tidak segala sesuatu menjadi perilaku menyeluruh yang kemudian memberi nilai-nilai kehidupan dan pengajaran bagi proses tumbuh kembang kami.

Artinya, berproses di HMI, tidak sekadar mengisi waktu dengan mencari kegiatan yang bermanfaat di organisasi, hanya semasa di bangku kuliah saja. Toh, sebuah keluarga (jika para kader HMI telah menikah kelak) adalah unit organisasi terkecil di dalam masyarakat?! mengajarkan segala sesuatu yang berkaitan dengan keorganisasian HMI ketika sudah berumah tangga,mengapa tidak?!

Maka, menjadi sangat lucu ketika suatu ketika saya bertemu dengan salah seorang alumni yang sudah lama tak bersua dan sekarang menjadi saudagar bertanya kepada saya, “Apakabar, apa nih kegiatan sekarang?!”, ringan saja saya menjawab, “Ya…nggak jauh-jauh dari para aktivislah…”, eh dia balik berkomentar, “Waduh…dari dulu sampai sekarang masak masih seperti di HMI saja sih…”

Lantas, sesuatu yang bermanfaat bagi kemaslahatan umat, tidak dikembangkan dan diamalkan dalam kehidupan sehari-hari, hanya stag setelah menyandang gelar sarjana? apa artinya?!

Dilain kesempatan, ada lagi alumni yang berkomentar “aduh…sudah lama tidak berbicara didepan umum, agak susah nih kalau diminta ceramah…” haduuh…haduuhh…bagaimana ini, mengapa kesuksesan dan kejayaan hanya menjadi milik masa lalu ya…???? Padahal, sepengetahuan saya, kalau sudah ngaku aktivis, kalau sekadar diminta berbicara, kapanpun dan dimanapun mestinya selalu siap. Ya…mudah-mudahan sih hanya segelintir saja, jangan sampai pada umumnya dan sebagian besar kader. Bisa gawat!!!