Ulama, Intelektual Tukang dan Negara

Seorang teman secara vulgar sering menyalahkan Islam atas berbagai keadaan buruk yang menimpa Indonesia. Menurutnya, Islam adalah biang keladi dari segala macam yang terjadi di Indonesia.

Saya tidak heran setelah sekian banyak propaganda hitam atas Islam, banyak orang yang berpandangan demikian. Hal itu terjadi bukan tanpa sebab. Dan dia memiliki alasan untuk berfikir seperti itu.

Pun saya tidak perbah bermaksud untuk mengklarifikasi penilaiannya. Biarkan saja siempunya itu berfikir demikian.

Kenyataannya, kita memiliki ulama yang memandang bahwa aurat itu hanya ada pada wanita. Dan karenanyalah wanita selalu menjadi objek dakwah, terutama masalah aurat.

Karena perbankan, birokrasi dan pendidikan, serta berbagai macam bidang yang masih memerlukan perhatian di Negara kita ini tidak perlu ditutup auratnya.

Korupsi, pelarian asset, dan perekonomian itu tidak punya aurat. Setidaknya itulah yang saya tangkap jika melihat gelagat ulama yang tidak kunjung memberikan pengarahan pada permasalahan-permasalahan sosial.

Ulama di kangkangi Negara?

Saya tidak mau menyebutkannya begitu, namun si kawan berfikir seperti itu. Mencoba memahami bagaimana dia berfikir, saya bertanya: mengapa?

Jawabannya ketus. Karena mereka melihat berbagai permasalahan ini timbul dari masalah individual. Jika orang miskin maka itu karena dia adalah pemalas. Mereka gagal mempereteli jeroan jejaring kuasa negara dalam menghambat proses pergerakan vertikal masyarakat.

Saat pendidikan ini menjadi hak setiap anak bangsa, kemana ulama saat terjadi privatisasi dan wacana BHP ditiupkan? Saat orang menjadi pengemis, maka tindakannya itu haram. Ok, kemiskinan dekat dengan kekafiran, namun di negara kita ini, terlalu naïf untuk menilai sabab musabab dari kemiskinan adalah kemalasan, sambil mengabaikan sistem yang memiskinkan.

Pendidikan dan ekonomi tak punya aurat, maka tak perlu ditutupi. Padahal, saat pengemis dihukum atas kemiskinannya, sang teman menghina keras, ini blaming the victim. Wong korban kok dihukum. Miskin itu korban, siapa yang mau miskin?

Mau kaya harus berpendidikan, mau berpendidikan harus bayar mahal.

Apalah merdeka jika kampus dan sekolah adalah milik priyayi. Apa ini jaman londo? Katanya kesal. Hmm… bahasamu saja yang kurang di ayak, kataku dalam hati, akalmu agak kinclong juga.

Terpisah dengan sengaja

Maka tak salah jika ini disebut sebagai sekuler. Sekuler itu bukan orang yang ingin mewacanakan desakralisasi lembaga agama. Sekuler itu adalah perkerjaan para ulama untuk hanya mengurusi masalah aurat personal ketimbang aurat sosial. Fokus mengurusi masalah pribadi dan mengabaikan masalah masyarakat.

Membiarkan masyarakat berfikir bahwa masalah pribadi mereka adalah semata-mata kesalahannya sendiri, membuatnya frustasi dan gantung leher karena tidak bisa bayar SPP.

Lembaga agama tidak sakral dan tidak tabu. Baik itu lembaga tempat kongkow-kongkownya ulama, atau juga organisasi intelektual muslim seperti HMI. Jika HMI hanya menghasilkan intelektual tukang dengan hasrat merapat kepada kekuasaan lebih besar daripada upaya untuk melakukan transformasi intelektual kepada masyarakat, maka dia sama saja. Pada akhirnya hanya menjadi intelektual tukang…

Sedih? Ya sedikit. Hanya yakin kawan-kawan HMI di lingkungan komisariat punya keyakinan dan daya juang tinggi. Mereka belajar dan bergerak, berusaha mewujudkan cita ideal masyrakatnya. Diatas sana, tak apalah.

2 thoughts on “Ulama, Intelektual Tukang dan Negara”

  1. Wkwkwk… Nyang komen di FB banyak, yang baca dari sini sdikit 😀
    Aya2 wae.. Hayu ah, lawan kegaptekan LOL

  2. Asli ini produk budaya instan, kenal internet pertama kali juga facebook, baca sumber/link asli nya aja kayak nya enggak :(

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *