Pendelegasian Wewenang dalam Organisasi

“Pendelegasian Wewenang dalam Organisasi”.
Pendelegasian wewenang adalah sesuatu yang sangat vital dalam aktivitas proses berorganisasi. Seseorang pengurus dalam organisasi sangatlah perlu melakukan penugasan kepada second linenya supaya pengurus lain dalam structural ataupun anggota bisa menjalankan operasional organisasi dengan baik hal ini akan banyak manfaat yang diambil sebagai pembelajaran dalam berorganisasi sekaligus merupakan pengkaderan dalam pengambilan keputusan walaupun sebatas mandate internal organisasi setingkat komisariat.

Continue reading “Pendelegasian Wewenang dalam Organisasi”

REVITALISASI HMI SEBAGAI KADER UMAT DAN BANGSA

Oleh Muhammad Julijanto
(Ketua Umum Komisariat Walisongo IAIN Walisongo Semarang di Surakarta 1996-1997, Ketua HMI Cabang Surakarta 1997-1998, Ketua Umum LPLK HMI Cabang Surakarta 1998-1999, KAHMI Surakarta).

5 Februari adalah diperingati sebagai hari kelahiran Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), kini sudah 64 tahun dari tahun 1947 silam. Setiap ulang tahun harus ada refleksi, harus ada evaluasi, sehingga akan diketahui semangat zaman yang selalu membaru seiring dengan dinamika masyarakat.

Continue reading “REVITALISASI HMI SEBAGAI KADER UMAT DAN BANGSA”

Membincangkan Sejarah HMI

Berbincang mengenai sejarah, tidak terlepas dari pertanyaan 5W 1H terhadap suatu kejadian, yaitu apa, dimana, kapan, mengapa, siapa, dan bagaimana. Namun kejadian itu tidak sepenuhnya bisa ditulis atau diceritakan sesuai dengan kenyataan secara utuh. Cerita terhadap suatu kejadian di masa lampau harus dipahami sebagai penafsiran ulang terhadap kejadian, bukannya kejadian itu sendiri. Continue reading “Membincangkan Sejarah HMI”

Memaknai Independensi HMI

Berbicara mengenai pandangan di masa yang akan datang, maka kita akan dihadapkan pada pembahasan visi. Visi merupakan dasar berpikir dari planing, organizing, actuating, dan controlling yang selama ini kita kenal sebagai teori manajemen organisasi dalam metode pencapaian tujuan. Visi dibagun di atas pondasi hipotesis dari sebuah observasi real terhadap spekulasi rasional berdasarkan pengalaman dan pengetahuan.

Jika kita pernah melihat ‘kebesaran senior’ yang pernah berproses di dalam organisasi, maka kita akan menarik kesimpulan sementara (hipotesis) bahwa mereka besar karena menjalani aktivitas yang meliputi pelatihan dan sinergi di dalam organisasi tersebut. Pengetahuan terhadap bentuk dan jenis pelatihan tersebut kemudian menderivasikan sebuah anggapan.

Ada dua anggapan yang muncul menjawab kemampuan HMI dalam melahirkan ‘orang-orang besar’. Pertama, karena HMI pada periode terdahulu melakukan internal procces yang mengacu pada tata cara pembentukan kader secara internal. Kedua, lebih disebabkan oleh improvisasi individual para kader dengan melakukan inner construction secara mandiri.(Sarmuji, Muhammad, Menuju Organisasi Pembelajar, Cara Cerdas HMI Menghadapi Perubahan, Jakarta: 2003, Aura Reformasi Press).

Jika kita mengacu kepada kedua anggapan di atas, maka dalam proses ber-HMI kita hanya akan melakukan aktivitas kaderisasi dalam bingkai pelatihan formal dan selebihnya kader akan dibebaskan untuk melatih dirinya sendiri. HMI yang menyatakan diri sebagai organisasi kader di dalam pasal 8 AD HMI, yang berarti HMI memiliki fungsi perkaderan yang dijalankan oleh setiap kader yang lebih dahulu berada di HMI terhadap setiap kader yang baru menghimpun diri ke dalam HMI tidak hanya berdimensi formal, namun juga memiliki dimensi non formal yang ketika kita tafsirkan ke dalam bentuk implementasi berupa pelatihan (Bastra, Intra, dan Adtra) up grading dan follow up juga pembentukan kader dalam kondisi santai seperti berbincang-bincang, tanya-jawab persuasif dan sosialisasi kultural yang sifatnya menstimulasi pengembangan kualitas diri kader.

Terlepas dari semua hal di atas, saya masih mempertanyakan eksistensi HMI di masa yang akan datang ketika menjamurnnya organisasi serupa di kalangan Mahasiswa. Sebuah konstruksi realitas yang jika dikaitkan dengan asumsi ekonomi, maka Mahasiswa yang hendak berorganisasi ke dalam organisasi ekstra kampus akan terdistribusi dengan skala fluktuatif. Ketika zaman telah dihinggapi penyakit hedonisme maka paradigma yang terbangun adalah organisasi yang akan digeluti tersebut rame atau asyik untuk di tongkrongi. Suatu tantangan yang harus dijawab oleh aparatur organisasi, yaitu tetap menawarkan organisasi dengan bungkus yang menarik dan dalam prosesnya budaya hedon yang melekat pada mindset kader sedikit demi sedikit dikikis oleh semangat pencerahan. Dengan tujuan kader yang tercerahkan (rausyan fikr) termotivasi oleh kesadarannya sendiri untuk melihat masa depan sebagai stimulant daripada terlena dengan arus zaman ataupun romantisme sejarah kebesaran organisasi.

Ada suatu perbedaan yang selama ini saya tangkap dari HMI dengan organisasi sejenisnya. Yaitu social learning. Konsep social learning ini memiliki sedikit kesamaan dengan social capital. Bedanya social learning berorientasi pada proses menghasilkan knowledge dan attitude sedangkan social capital lebih berorientasi pada aspek-aspek struktural sosial untuk memproduksi. Social learning adalah konsep pembelajaran yang melibatkan elemen yang jauh lebih luas dari sekedar pembelajaran individual. Ia menuntut kualitas interaksi individual, antar kelompok dalam organisasi dan kualitas interaksi HMI dengan elemen di luar dirinya. Learning adalah perubahan dalam pola pikir, dan juga perubahan dalam memikirkan kembali tindakannya.(ibid. halaman 2). Kader yang menyadari pentingnya social learning akan beranggapan bahwa semua tempat adalah sekolah, semua orang adalah guru dan segala peristiwa adalah pelajaran (pemulung hikmah). Konsep inilah yang menciptakan unique knowledge yang menjadi sumber kreasi yang jarang ditiru oleh organisasi sejenisnya.

Kreatifitas HMI tidak terhambat oleh kekangan kultur dan tradisi sebuah golongan dalam artian HMI tidak menjadi underbow golongan maupun partai manapun, kecuali Islam dan Indonesia dengan kesadaran dalam menjaga independensitas secara keorganisasian dan keindividuan.

Kesadaran akan Agama Islam sebagai fitrah yang diwahyukan (Ibnu Taimiyah) akan mengambil peran sebagai kekuatan mengakar yang kokoh dalam proses belajar dalam dimensi ruang dan waktu yang dinamis. Karena, Islam mengajarkan Tauhid yang bernilai universal, maka konsekuensinya adalah tidak ada batasan ruang dan waktu bagi kita untuk memetik pengetahuan. Kesadaran tidak akan lahir jika tidak dalam keadaan yang bebas (Independen). Karena, keterpaksaan menerima suatu ajaran adalah bentuk pengurungan terhadap kemungkinan-kemingkinan kebenaran lain yang lebih tinggi dan universal, dengan kata lain pengurungan terhadap kecendrungan pencarian pengetahuan adalah klaim yang berujung pada pertempuran kebenaran yang stag dan sempit.

HMI sangat berpotensi untuk terus bertahan dalam kurun waktu yang relatif panjang jika tetap menjaga independensinya dan independensi individu kadernya. Dengan tetap melihat asas skill, idealisme dan pengetahuan yang relevan pada setiap zaman. Karena, skill tanpa idealisme akan menghasilkan pragmatisme yang dangkal. Skill dan idealisme tanpa pengetahuan terhadap kebutuhan zaman adalah kemubaziran, sedangkan dalam Islam sifat yang mubazir sangat dihindari.

Muhammad Nor Abdi (HMI Komisariat Fakultas Syari’ah IAIN Antasari Banjarmasin)