Siapakah Pembuat Ricuh Saat Nabi Sakit?

Oleh: Yasser Arafat

Tulisan ini berkaitan dengan isu tragedi kamis kelabu yang menimpa Rasulullah Sawaw. Dulu pada awal-awal semester kuliah, saya pernah menerbitkan sebuah buletin dakwah dan pernah memuat tulisan tentang tragedi kamis kelabu ini. Tanpa disangka buletin dengan penampilan seadanya, dapat memunculkan reaksi yang begitu hebat dari sebagian orang yang tidak sepakat dengan tulisan-tulisan di buletin yang saya buat tersebut.

Sebagai reaksi atas buletin saya, ada sebagian orang yang kemudian membuat buletin baru yang bernama Al-Hujjah yang pernah mengaku sebagai Ahlulsunnah dan tulisannya khusus untuk membantah setiap tulisan yang dimuat di buletin saya. Salah satunya ialah tulisan tentang Tragedi Kamis Kelabu.

Di blog ini, sudah pernah saya bahas, antara lain:

Kamis Kelabu I dan Kamis Kelabu II

Dalam salah satu tulisannya, buletin Al-Hujjah pernah menulis bahwa saat Nabi sedang sakit keras, beliau meminta dibawakan kertas dan tinta agar Nabi dapat menuliskan wasiatnya agar umat sepeninggal beliau tidak tersesat, Umar berkata: Nabi sedang sakit keras dan Al Qur’an ada di tengah kalian, cukup bagi kami kitab Allah. Setelah Umar berkata seperti itu, terjadilah perdebatan diantara orang-orang yang ada, yang kemudian menyebabkan Nabi mengusir mereka semua.

Persoalannya ialah, siapakah yang berdebat dan membuat kericuhan itu? Menurut Buletin Al-Hujjah, mereka yang berbuat kericuhan dihadapan Nabi ialah Ahlulbayt. Mereka berangkat dari riwayat:

قال هلم أكتب لكم كتابا لن تضلوا بعده قال عمر إن النبي صلى الله عليه وسلم غلبه الوجع وعندكم القرآن فحسبنا كتاب الله واختلف أهل البيت اختصموا فمنهم من يقول قربوا يكتب لكم رسول الله صلى الله عليه وسلم كتابا لن تضلوا بعده ومنهم من يقول ما قال عمر فلما أكثروا اللغط والاختلاف عند النبي صلى الله عليه وسلم قال قوموا عني . قال عبيد الله فكان بن عباس يقول إن الرزية كل الرزية ما حال بين رسول الله صلى الله عليه وسلم وبين أن يكتب لهم ذلك الكتاب من اختلافهم ولغطهم ) . البخاري حديث رقم : 6932 كتاب الاعتصام بالكتاب والسنة / باب كراهية الاختلاف

Nabi bersabda: mari aku tuliskan bagi kalian tulisan yang kalian tidak akan sesat jika mengamalkannya, Umar berkata: Nabi sedang sakit keras dan Al Qur’an ada di tengah kalian, cukup bagi kami kitab Allah, lalu Ahlul Bait berselisih dan bertengkar, sebagian dari mereka mengatakan: dekatkan pena pada Nabi agar Nabi menulis wasiat yang kalian tidak akan sesat selamanya, sebagian lagi mengatakan seperti ucapan Umar. ketika mereka ribut dan berselisih di depan Nabi, Nabi bersabda: pergi kalian dari sini. Ubaidillah berkata: Ibnu Abbas mengatakan benar-benar musibah, yaitu perselisihan dan keributan mereka hingga menghalangi Nabi dari menulis wasiat. Shahih Bukhari Kitab I’tisham bil Kitab Was Sunnah, Bab Karahiyatil Ikhtilaf

Kalimat yang saya cetak tebal, baik yang bahasa arab maupun bahasa indonesia, mereka tafsirkan bahwa yang membuat kericuhan ialah Ahlulbayt Nabi dalam pengertian orang-orang syi’ah.

Seperti kita ketahui bersama bahwa orang-orang syi’ah berkeyakinan bahwa Ahlulbayt Nabi adalah orang-orang yang telah disucikan oleh Allah dalam surat 33 ayat 33 dan ketaatan kepada Ahlulbayt Nabi merupakan manifestasi dari ketaatan terhadap Allah dan Rasul-Nya.

Menurut Al-Hujjah, aneh betul Ahlulbayt yang katanya sudah disucikan dan diwajibkan taat kepada mereka, kok malah membuat Nabi marah dan mengusir mereka. Ahlulbayt berdebat di depan Nabi sedangkan tidak boleh berdebat dihadapan Nabi.

Pendapat Al-Hujjah ini ternyata diamini oleh pemilik website hakekat.com. yang juga pernah mengaku sebagai Ahlulsunnah. Dalam salah satu tulisannya, website hakekat.com menulis:

Akhirnya kita tahu siapa sebenarnya yang menghalangi Nabi menuliskan wasiat. Seperti selalu diklaim oleh kawan-kawan syiah, ahlulbait adalah maksum, artinya terpelihara dari dosa. Tetapi ahlulbait yang maksum di sini malah ribut sendiri, Nabi pun marah dan terhalang dari menuliskan wasiat.

Saya tertarik untuk menanggapi, benarkah Ahlulbayt (dalam pengertian syiah) yang membuat kericuhan pada saat Nabi sakit dan membuat Nabi marah kepada mereka?

Sebelumnya, saya harus menyampaikan bahwa riwayat-riwayat yang dijadikan argumen oleh al-hujjah maupun hakekat, memang benar-benar ada di shahih bukhari. Jadi tidak ada alasan lagi bagi kita untuk meragukan kejujuran al-hujjah dan hakekat dalam menyampaikan argumen mereka.

Tetapi ada satu hal yang menarik yang kita dituntut untuk kritis, yaitu persoalan siapa yang membuat kericuhan itu. Jelas bahwa al-hujjah dan hakekat menganggap bahwa Ahlulbayt (dalam pengertian syiah) lah yang membuat kericuhan itu. Tetapi apakah benar? Ada baiknya kita menyimak pemahaman kawan-kawan kita dari Ahlulsunnah mengenai riwayat tersebut.

Riwayat berikut, saya kutipkan dari The Translation of the Meanings Shahih Bukhari, Arabic-English Vol. I, oleh Dr. Muhammad Muhsin Khan, Islamic University, Al-Medina Al-Munawwara: (Tentunya Ahlulsunnah)

Narated ‘Ubaidullah bin ‘Abdullah: Ibnu ‘Abbas said, “When the ailment of the Prophet became worse, he said, ‘Bring for me (writing) paper and I will write for you a statement after which you will not go astray.’ But ‘Umar said, ‘The Prophet is seriously ill, and we have got Allah’s Book with us and that is sufficient for us.’ But the companions of the Prophet differed about this and there was a hue and cry. On that the Prophet said to them, ‘Go away (and leave me alone). It is not right that you should quarrel in front of me.’

Ibnu Abbas came out saying, ” It was most unfortunate (a great disaster) that Allah’s Apostle was prevented from writing that statement for them because of their disagreement and noise.

Kalimat yang saya cetak tebal, menunjukkan bahwa the companions of the Prophet atau sahabat Nabi lah yang berbeda pendapat dan berbuat kericuhan.

Saya juga pernah membaca tulisan seseorang yang memiliki blog ALFANARKU yang juga mengaku dirinya sebagai seorang yang bermazhab Ahlulsunnah. Dalam salah satu tulisannya yang juga membahas soal tragedi kamis kelabu, dia menulis:

Mari kita baca Shahih Muslim 3/1257 No. 1637:

22 – ( 1637 ) وحدثني محمد بن رافع وعبد بن حميد ( قال عبد أخبرنا وقال ابن رافع حدثنا عبدالرزاق ) أخبرنا معمر عن الزهري عن عبيدالله بن عبدالله بن عتبة عن ابن عباس قال
Y لما حضر رسول الله صلى الله عليه و سلم وفي البيت رجال فيهم عمر ابن الخطاب فقال النبي صلى الله عليه و سلم ( هلم أكتب لكم كتابا لا تضلون بعده ) فقال عمر إن رسول الله صلى الله عليه و سلم قد غلب عليه الوجع وعندكم القرآن حسبنا كتاب الله فاختلف أهل البيت فاختصموا فمنهم من يقول قربوا يكتب لكم رسول الله صلى الله عليه و سلم كتابا لن تضلوا بعده ومنهم من يقول ما قال عمر فلما أكثروا اللغو والاختلاف عند رسول الله صلى الله عليه و سلم قال رسول الله صلى الله عليه و سلم ( قوموا )
قال عبيدالله فكان ابن عباس يقول إن الرزية كل الرزية ما حال بين رسول الله صلى الله عليه و سلم وبين أن يكتب لهم ذلك الكتاب من اختلافهم ولغطهم
[ ش ( لما حضر ) أي حضره الموت ]

(3/1257)

Ibnu Abbas menceritakan : Ketika ajal Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam sudah hampir tiba dan di dalam rumah beliau ada beberapa orang dan salah satunya adalah Umar bin Khattab ra. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “kemari, aku akan menuliskan (mendiktekan) untuk kalian wasiat, agar kalian tidak sesat setelahnya”. Kemudian Umar berkata : “sesungguhnya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan sakit parah dan di sisi kalian ada Al-Qur’an, cukuplah Kitabullah untuk kita” kemudian orang-orang yang ada dalam rumah tersebut saling berselisih pendapat. Sebagian berkata, sediakan apa yang diinta oleh Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam Agar beliau menuliskan bagi kamu sesuatu yang menghindarkan kamu dari kesesatan. Tetapi sebagian lainnya mengatakan sama sebagaimana ucapan Umar. Dan ketika keributan dan pertengkaran makin bertambah di hadapan Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam, beliau memerintahkan: “Keluarlah kalian dari sini!” Ubaidullah berkata : Ibnu Abbas selalu berkata : “Itu adalah musibah yang besar, sungguh sebuah musibah yang besar, disebabkan pertengkaran dan kegaduhan, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam tidak menuliskan (mendiktekan) wasiat untuk mereka”.

Dia menerjemahkan kalimat ” فاختلف أهل البيت “ diterjemahkan menjadi “orang-orang yang ada dalam rumah tersebut saling berselisih pendapat”.

Jadi ada saudara-saudara kita dari Islam Ahlulsunnah yang tetap berpandangan bahwa yang berbuat kericuhan ialah orang-orang yang ada di dalam rumah Nabi saat itu, dalam hal ini adalah Sahabat Nabi.

Tetapi di sisi lain, ada orang yang mengaku sebagai Ahlulsunnah berpendapat bahwa Ahlulbayt-lah yang berbuat kericuhan dan membuat Nabi marah. Ada baiknya antara Ahlulsunnah berbincang dulu deh soal siapa yang berbuat kericuhan dan membuat Nabi marah. hehehe…

Menurut saya, pendapat pertamalah yang benar, yaitu orang-orang yang ada di dalam rumah Nabi-lah yang berseteru dan membuat kegaduhan di hadapan Nabi sehingga membuat Nabi marah, atau dalam hal ini ialah sahabat Nabi.

Setidaknya ada dua alasan bagi saya untuk melakukan verifikasi:

Pertama, Seperti kita ketahui bersama, banyak hadits shahih yang mengabarkan kepada kita bahwa Ahlulbayt Nabi telah disucikan oleh Allah SWT dalam surat Al-Ahzab ayat 33. Dan ini sudah pernah saya bahas pada tulisan yang berjudul “Siapakah Ahlulbayt dalam Surat Al-Ahzab ayat 33”.

وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى وَأَقِمْنَ الصَّلَاةَ وَآتِينَ الزَّكَاةَ وَأَطِعْنَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيراً

dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ta’atilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya. (QS. Al-Ahzab ayat 33)

Dalam Sunan Tirmidzi hadis no 3205 dalam Shahih Sunan Tirmidzi Syaikh Al Albani

عن عمر بن أبي سلمة ربيب النبي صلى الله عليه و سلم قال لما نزلت هذه الآية على النبي صلى الله عليه و سلم { إنما يريد الله ليذهب عنكم الرجس أهل البيت ويطهركم تطهيرا } في بيت أم سلمة فدعا فاطمة و حسنا و حسينا فجللهم بكساء و علي خلف ظهره فجللهم بكساء ثم قال اللهم هؤلاء أهل بيتي فأذهب عنهم الرجس وطهرهم تطهيرا قالت أم سلمة وأنا معهم يا نبي الله ؟ قال أنت على مكانك وأنت على خير

Dari Umar bin Abi Salamah, anak tiri Nabi SAW yang berkata “Ayat ini turun kepada Nabi SAW {Sesungguhnya Allah berkehendak menghilangkan dosa dari kamu wahai Ahlul Bait dan menyucikanmu sesuci-sucinya.} di rumah Ummu Salamah, kemudian Nabi SAW memanggil Fatimah, Hasan dan Husain dan menutup Mereka dengan kain dan Ali berada di belakang Nabi SAW, Beliau juga menutupinya dengan kain. Kemudian Beliau SAW berkata “ Ya Allah Merekalah Ahlul BaitKu maka hilangkanlah dosa dari mereka dan sucikanlah Mereka sesuci-sucinya. Ummu Salamah berkata “Apakah Aku bersama Mereka, Ya Nabi Allah?. Beliau berkata “Kamu tetap pada kedudukanmu sendiri dan kamu dalam kebaikan”.

Perihal ini, seorang blogger pernah menulis dengan sangat apik:

Innama

Setelah mengetahui bahwa ayat ini ditujukan untuk ahlul kisa’(Rasulullah SAW, Sayyidah Fathimah AS, Imam Ali AS, Imam Hasan AS dan Imam Husain AS) sekarang akan dibahas makna dari ayat tersebut. Ayat ini diawali dengan kata Innama, dalam bahasa arab kata ini memiliki makna al hashr atau pembatasan. Dengan demikian lafal ini menunjukkan bahwa kehendak Allah itu hanya untuk menghilangkan ar rijs dari Ahlul Bait as dan menyucikan Mereka sesuci-sucinya. Allah SWT tidak menghendaki hal itu dari selain Ahlul Bait as dan tidak juga menghendaki hal yang lain untuk Ahlul Bait as.

Yuridullah
Setelah kata Innama diikuti kata yuridullah yang berarti Allah berkehendak, perlu dijelaskan terlebih dahulu bahwa iradah Allah SWT terbagi dua yaitu iradah takwiniyyah dan iradah tasyri’iyyah. Iradah takwiniyyah adalah iradah Allah yang bersifat pasti atau niscaya terjadi, hal ini dapat dilihat dari ayat berikut

  • “Sesungguhnya perintahNya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadaNya ‘Jadilah ‘maka terjadilah ia”(QS Yasin :82)
  • “Sesungguhnya perkataan Kami terhadap sesuatu apanila Kami menghendakinya,Kami hanya berkata kepadanya ‘Jadilah’maka jadilah ia”(QS An Nahl :40)
  • “Sesungguhnya Tuhanmu Maha Pelaksana terhadap apa yang Dia kehendaki”(QS Hud:107)

Sedangkan yang dimaksud Iradah tasyri’iyah adalah Iradah Allah SWT yang terkait dengan penetapan hukum syariat bagi hamba-hambanya agar melaksanakannya dengan ikhtiar mereka sendiri. Dalam hal ini iradah Allah SWT adalah penetapan syariat adapun pelaksanaannya oleh hamba adalah salah satu tujuan penetapan syariat itu, oleh karenanya terkadang tujuan itu terealisasi dan terkadang tidak sesuai dengan pilihan hamba itu sendiri apakah mematuhi syariat yang telah ditetapkan Allah SWT atau melanggarnya. Contoh iradah ini dapat dilihat pada ayat berikut:

  • “(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah)bulan ramadhan,bulan yang didalamnya diturunkan Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda(antara yang haq dan yang bathil).Karena itu barangsiapa diantara kamu hadir di bulan itu maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka) maka(wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkannya itu,pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjukNya yang diberikan kepadamu supaya kamu bersyukur”.(QS Al Baqarah :185).
  • “Hai orang-orang beriman apabila kamu hendak mengerjakan sholat,maka basuhlah muka dan tanganmu sampai ke siku dan sapulah kepalamu dan kakimusampai dengan kedua mata kaki dan jika kamu junub maka mandilah dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air atau menyentuh perempuan lalu kamu tidak memperoleh air,maka bertanyamumlah dengan tanah yang baik(bersih) sapulah muka dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmatnya bagimu supaya kamu bersyukur”.(QS Al Maidah : 6)


Iradah dalam Al Baqarah 185 adalah berkaitan dengan syariat Allah tentang puasa dimana aturan-aturan yang ditetapkan Allah itu adalah untuk memudahkan manusia dalam melaksanakannya,sehingga iradah ini akan terwujud pada orang yang berpuasa. Sedangkan yang tidak mau berpuasa jelas tidak ada hubungannya dengan iradah ini. Begitu juga Iradah dalam Al Maidah ayat 6 dimana Allah hendak membersihkan manusia dan menyempurnakan nikmatnya bagi manusia supaya manusia bersyukur, iradah ini jelas terkait dengan syariat wudhu dan tanyamum yang Allah tetapkan oleh karenanya iradah ini akan terwujud bagi orang yang bersuci sebelum sholat dengan wudhu dan tanyamum dan ini tidak berlaku bagi orang yang tidak bersuci baik dengan wudhu atau tanyamum. Dan perlu ditekankan bahwa iradah tasyri’iyah ini ditujukan pada semua umat muslim yang melaksanakan syariat Allah SWT tersebut termasuk dalam hal ini Ahlul Bait as.

Iradah dalam Ayat tathhiir adalah iradah takwiniyah dan bukan iradah tasyri’iyah artinya tidak terkait dengan syariat tertentu yang Allah tetapkan, tetapi iradah ini bersifat niscya atau pasti terjadi. Hal ini berdasarkan alasan-alasan berikut

  1. Penggunaan lafal Innama yang bermakna hashr atau pembatasan menunjukkan arti bahwa Allah tidak berkehendak untuk menghilangkan rijs dengan bentuk seperti itu kecuali dari Ahlul Bait, atau dengan kata lain kehendak penyucian ini terbatas hanya pada pribadi yang disebut Ahlul Bait dalam ayat ini.
  2. Berdasarkan asbabun nuzulnya ayat ini seperti dalam hadis riwayat Turmudzi di atas tidak ada penjelasan bahwa iradah ini berkaitan dengan syariat tertentu yang Allah tetapkan.
  3. Allah memberi penekanan khusus setelah kata kerja liyudzhiba(menghilangkan) dengan firmannya wa yuthahhirakum tathiira. Dan kata kerja kedua ini wa yuthahhirakum(menyucikanmu) dikuatkan dengan mashdar tathiira(sesuci-sucinya)yang mengakhiri ayat tersebut. Penekanan khusus ini merupakan salah satu petunjuk bahwa iradah Allah ini adalah iradah takwiniyah.

Li yudzhiba ‘An kumurrijsa Ahlal bait
Kemudian kalimat selanjutnya adalah li yudzhiba ‘an kumurrijsa ahlal bait . Kalimat tersebut menggunakan kata ‘an bukan min. Dalam bahasa Arab, kata ’an digunakan untuk sesuatu yang belum mengenai, sementara kata min digunakan untuk sesuatu yang telah mengenai. Oleh karena itu, kalimat tersebut memiliki arti untuk menghilangkan rijs dari Ahlul Bait (sebelum rijs tersebut mengenai Ahlul Bait), atau dengan kata lain untuk menghindarkan Ahlul Bait dari rijs. Sehingga jelas sekali, dari kalimat ini terlihat makna kesucian Ahlul Bait dari rijs. Lagipula adalah tidak tepat menisbatkan bahwa sebelumnya mereka Ahlul bait memiliki rijs kemudian baru Allah menyucikannya karena Ahlul Bait yang disucikan dalam ayat ini meliputi Imam Hasan dan Imam Husain yang waktu itu masih kecil dan belum memiliki rijs.

Ar Rijs
Dalam Al Quran terdapat cukup banyak ayat yang menggunakan kata rijs, diantaranya adalah sebagai berikut.

  • “Sesungguhny,a (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji (rijs) termasuk perbuatan setan” (QS Al Maidah: 90).
  • “Maka jauhilah olehmu berhala-berhala yang najis (rijs) dan jauhilah perkataan-perkataan dusta” (QS Al Hajj: 30).
  • “Dan adapun orang orang yang di dalam hati mereka ada penyakit, maka dengan surat ini bertambah kekafiran (rijs) mereka, di samping kekafirannya (yang telah ada) dan mereka mati dalam keadaan kafir” (QS At Taubah: 125).
  • “Maka berpalinglah dari mereka, karena sesungguhnya mereka itu adalah najis (rijs)” (QS At Taubah: 95).
  • “Dan Allah menimpakan kemurkaan (rijs) kepada orang-orang yang tidak mempergunakan akalnya” (QS Yunus: 100).

Dari semua ayat-ayat ini dapat ditarik kesimpulan bahwa rijs adalah segala hal bisa dalam bentuk keyakinan atau perbuatan yang keji, najis yang tidak diridhai dan menyebabkan kemurkaan Allah SWT.

Asy Syaukani dalam tafsir Fathul Qadir jilid 4 hal 278 menulis,

“… yang dimaksud dengan rijs ialah dosa yang dapat menodai jiwa jiwa yang disebabkan oleh meninggalkan apa-apa yang diperintahkan oleh Allah dan melakukan apa-apa yang dilarang oleh-Nya. Maka maksud dari kata tersebut ialah seluruh hal yang di dalamnya tidak ada keridhaan Allah SWT”.

Kemudian ia melanjutkan,

“Firman `… dan menyucikan kalian… ‘ maksudnya adalah: `Dan menyucikan kalian dari dosa dan karat (akibat bekas dosa) dengan penyucian yang sempurna.’ Dan dalam peminjaman kata rijs untuk arti dosa, serta penyebutan kata thuhr setelahnya, terdapat isyarat adanya keharusan menjauhinya dan kecaman atas pelakunya”.

Lalu ia menyebutkan sebuah riwayat dari Ibnu Abbas sebagaimana yang diriwayatkan oleh Al Hakim, At Turmudzi, Ath Thabarani, Ibnu Mardawaih, dan Al Baihaqi dalam kitab Ad Dalail jilid 4 hal 280, bahwa Nabi saw. bersabda dengan sabda yang panjang, dan pada akhirnya beliau mengatakan “Aku dan Ahlul BaitKu tersucikan dari dosa-dosa”. (kami telah membahas secara khusus hadis ini di bagaian yang lain)

Ibnu Hajar Al Haitami Al Makki dalam kitab Ash Shawaiq hal 144-145 berkata,

“Ayat ini adalah sumber keutamaan Ahlul Bait, karena ia memuat mutiara keutamaan dan perhatian atas mereka. Allah mengawalinya dengan innama yang berfungsi sebagai pengkhususan kehendakNya untuk menghilangkan hanya dari mereka rijs yang berarti dosa dan keraguan terhadap apa yang seharusnya diimani dan menyucikan mereka dari seluruh akhlak dan keadaan tercela.”

Jalaluddin As Suyuthi dalam kitab Al lklil hal 178 menyebutkan bahwa

kesalahan adalah rijs, oleh karena itu kesalahan tidak mungkin ada pada Ahlul Bait.

Semua penjelasan diatas menyimpulkan bahwa Ayat tathiir ini memiliki makna bahwa Allah SWT hanya berkehendak untuk menyucikan Ahlul Bait dari semua bentuk keraguan dan perbuatan yang tercela termasuk kesalahan yang dapat menyebabkan dosa dan kehendak ini bersifat takwiniyah atau pasti terjadi. Selain itu penyucian ini tidak berarti bahwa sebelumnya terdapat rijs tetapi penyucian ini sebelum semua rijs itu mengenai Ahlul Bait atau dengan kata lain Ahlul Bait dalam ayat ini adalah pribadi-pribadi yang dijaga dan dihindarkan oleh Allah SWT dari semua bentuk rijs. Jadi tampak jelas sekali bahwa ayat ini telah menjelaskan tentang kedudukan yang mulia dari Ahlul Bait yaitu Rasulullah SAW, Imam Ali as, Sayyidah Fathimah Az Zahra as, Imam Hasan as dan Imam Husain as. Penyucian ini menetapkan bahwa Mereka Ahlul Bait senantiasa menjauhkan diri dari dosa-dosa dan senantiasa berada dalam kebenaran. Oleh karenanya tepat sekali kalau mereka adalah salah satu dari Tsaqalain selain Al Quran yang dijelaskan Rasulullah SAW sebagai tempat berpegang dan berpedoman umat islam agar tidak tersesat.

Selain itu, ada juga hadits-hadits Nabi yang berkaitan dengan Ahlulbayt:

Rasulullah SAW bersabda. “Kutinggalkan kepadamu dua peninggalan (Ats Tsaqalain), kitab Allah dan Ahlul BaitKu. Sesungguhnya keduanya tak akan berpisah, sampai keduanya kembali kepadaKu di Al Haudh“ (Mustadrak As Shahihain Al Hakim juz III hal 148 Al Hakim menyatakan dalam Al Mustadrak As Shahihain bahwa sanad hadis ini shahih berdasarkan syarat Bukhari dan Muslim).

Jadi, Ahlulbayt Nabi, dalam artian orang-orang yang sudah disucikan oleh Allah dari segala kenistaan dan dosa, tidak mungkin berdebat dihadapan Nabi sehingga membuat Nabi marah. Suatu hal yang mustahil Ahlulbayt Nabi berdebat di hadapan Nabi sehingga membuat Nabi marah kepada mereka. Karen Ahlulbayt Nabi telah dijauhkan oleh Allah dari segala perbuatan nista dan dosa serta diperintahkan oleh Nabi untuk diikuti setelah Al-Qur’an.

Kedua, mari kita lihat kalimat awal dari riwayat tragedi kamis kelabu diatas.

لما حضر رسول الله صلى الله عليه و سلم وفي البيت رجال فيهم عمر ابن الخطاب

Ketika ajal Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam sudah hampir tiba dan di dalam rumah beliau ada beberapa orang…

Jadi ada kata البيت pada kalimat awal dari riwayat tragedi kamis kelabu tersebut, yang mana itu mengisahkan bahwa saat Nabi sakit, ada beberapa orang di dalam rumah Nabi. Dan tentunya, orang-orang yang ada di dalam rumah Nabi disebut أهل البيت. Jadi, kata أهل البيت dalam kalimat فاختلف أهل البيت merujuk pada orang-orang yang ada di rumah Nabi tersebut, bukan kepada Ahlulbayt dalam pengertian orang-orang yang telah disucikan oleh Allah dalam surat Al-Ahzab ayat 33.

Jadi apa yang jadi pendapat Al-Hujjah dan Hakekat.com hanyalah mengada-ada saja. Jangan kita terkecoh dengan hal-hal yang terkesan ilmiah. Padahal jika kita ingin sedikit saja kritis, kita akan mendapati kejanggalan-kejanggalan di dalamnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *