HMI Komisariat: Ujung Tombak Gerakan, Sumber Inspirasi dan Gairah Perjuangan

Himpunan Mahasiswa Islam telah hidup di bumi Indonesia selama bertahun-tahun. HMI sebagai sebuah institusi memiliki tujuan yang sangat mulia. Secara sederhana HMI memiliki ruang lingkup perjuangan yang meliputi 3 hal: Pemikiran, Keislaman dan Pergerakan Sosial.

…terbinanya insan akademis, pencipta, pengabdi yang bernafaskan Islam yang bertanggungjawab atas terwujudnya masyrakat adil makmur yang diridhoi Allah SWT…

Namun setiap organisasi mahasiswa memiliki tujuan mulia yang tercantum dalam AD dan ART nya. Semua itu bukanlah ukuran. Karena terkadang usia bergerak bersamaan dengan menurunnya ghiroh perjuangan. Di negara ini, Indonesia tercinta, partai yang berusia tua adalah partai yang paling pragmatis, partai yang dari pemilu-ke pemilu dipenuhi oleh tokoh-tokoh yang kian waktu mulai kehilangan idealismenya.

Begitu pula organisasi mahasiswa. Sejarah membuktikan setiap organisasi mahasiswa yang belum memiliki alumni yang ikut berkecimpung dalam ranah kekuasaan adalah organisasi mahasiswa yang tidak pernah kehabisan bara perjuangan. namun kemana bara itu lenyap? Kemana panas didada melihat ketidakadilan itu pergi? Apakah karena mereka semua sudah mulai mencium wanginya duit?

Materi, kekuasaan, dan iming-iming lainnya adalah rintangan yang selalu saja ada disetiap jalan para pejuang. Tak juga ketinggalan HMI. Kemanakah Cak Nur-Cak Nur Muda? Ahmad Wahib-Ahmad Wahib baru? Kemanakah para pemikir, mahasiswa-mahasiswa yang dalam usia mudanya bergairah membara untuk berkecimpng di kawah candradimukanya perkaderan? Kemana para pejuang intelektual yang setiap kepergiannya ke ruang belajar (kampus) diniatkan untuk melakukan penyebaran idealisme?

Continue reading “HMI Komisariat: Ujung Tombak Gerakan, Sumber Inspirasi dan Gairah Perjuangan”

Pramoedya Ist Ein Begriff

“Saya makin bingung dengan Indonesia ini. Takut dengan pengarang dan dipenjarakannya saya selama 14 tahun tanpa pengadilan.Padahal di belakang saya selain sepi sunyi tak ada deretan tentara, persenjataan canggih, atau pembunuh-pembunuh bayaran. Heran saya”. (Pramoedya Ananta Toer)

Pramoedya Ananta Toer (alm). Ia terkait dengan beberapa hal berikut: pentolan LEKRA, pencetus realisme sosialis, kandidat kuat Nobel Prize for Literature dari Indonesia, mantan editor budaya Lentera, dan pengarang tetralogi Buru. Para pengagumnya biasa memanggil Pram. Salah satu pengagum Pram adalah aktris cantik asal Sukabumi: Happy Salma. Ketika Happy menjadi bintang tamu di salah satu acara talk show di sebuah televisi swasta, Happy dihadiahi seorang penggemarnya sebiji buku Pram yang sangat memikat yang berkisah tentang seorang gadis di tengah pusaran feodalisme Jawa yang memenjara: Gadis Pantai. Di acara lain, Happy pernah menunjukkan koleksi lengkap karya-karya Pramoedya Ananta Toer. Tak hanya mengkoleksi, Happy juga aktif diskusi dengan komunitas penggemar fanatik Pram.

Di Bandung, di sebuah toko buku alternatif terkenal, pernah terdapat Klub Baca Buku Pram yang khusus mengulas karya-karya Prameodya Ananta Toer. Bahkan seorang teman, seorang penulis muda dan aktivis ASAS UPI menggunakan nama pena Asep Pram untuk novel perdananya sebagai bukti penghormatannya pada seorang penulis prolifik, Pramoedya Ananta Toer.

Itulah Pram, ia difanatiki seorang entertainer dan ribuan penggemar lainnya. Pram telah menyihir kaum muda melalui karya-karya sastranya. Ia menjadi idola bagi mereka yang gandrung bagaimana melawan dengan pena. Ia adalah idola sastra. Ia adalah hero sastra. Tak hanya di Indonesia, juga di luar Indonesia. Maka wajar jika seorang A. Teeuw secara ekspresif menyebut Pram sebagai “pengarang prosa Indonesia nomor wahid, tanpa saingan, dalam abad ini”.

Karir kepenulisan Pram telah dimulai sejak republik ini masih “bayi”. Dunia sastra dan tulis menulis dipilih Pram sebagai jalan hidup. Pilihan keras kepala ini memang penuh resiko, dan Pram pernah merasakan resiko memilih dunia ini. Rumah tangga pertamanya gagal dihantam ketidakpastian sumber penghidupan yang jelas. Menulis di sana sini tak serta merta membawa bahtera rumah tangganya ke tepian pantai yang tenang. Satu keputusan pahit diambil. Mereka bercerai. Dan Pram kemudian nekad menikah lagi walau tanpa membawa uang sepeser pun.

Ia tak punya pilihan lain. Menulis sebagai profesi dan tanggung jawab dirinya terhadap kekuasaan yang menindas dilakoninya hampir sepanjang hayat. Ia tak menyesal, karena ia tak punya beban dan kepentingan. “Saya ini seorang individualis, menuruti kata hati. Berjuang sendirian sampai sekarang.” Katanya pada salah satu majalah ibu kota. Pram tengah menegaskan, sejatinya totalitas perlawanan adalah ketika tak ada kawan untuk berjalan seiring, ia tetap melawan.

Rentang tahun 1950-1965 adalah masa-masa jaya Pram di panggung sastra. Tahun 1951 ia pernah menangguk penghargaan dari Balai Pustaka atas karya novelnya yang berjudul Perburuan. Tahun 1953 ia kembali meraih penghargaan dari Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional (BMKN) atas antologi cerpen Cerita dari Blora. Pada rentangan tahun-tahun itulah Pram menjadi salah seorang penulis produktif pasca revolusi. Karya-karyanya pun berbau revolusi yang masih hangat. Perburuan, Keluarga Gerilya, Pertjikan Revolusi, dan Di Tepi Kali Bekasi adalah beberapa diantaranya.

Wadah politik yang dipilihnya memungkinkan ia membawa sastra ke arah yang lebih progresif-revolusioner. Pidato Soekarno, “Siapa yang kontra revolusi akan dilanda revolusi” menambah hangat situasi politik kala itu. Lewat LEKRA dan lembaran budaya Lentera di koran Bintang Timur (1962-1965) ia memanggul aliran sastra yang beraliran realisme sosialis untuk menandingi humanisme universal-nya para pengusung manifesto kebudayaan yang kemudian dibekukan Presiden Soekarno pada 8 Mei 1964. Gagasan realisme sosialisnya mengikuti seorang stalinis bernama A.A Zhadanov.

Angin politik kekuasaan yang menghampiri kepadanya membuat Pram terlalu terpukau dengan realisme sosialis yang diusungnya. Ia kecam siapapun yang enggan mendukung dinamika revolusioner. HB Jassin adalah salah satu “korbannya”. Ia-seperti ditulis Ahmad Sahal di Layar, TEMPO 10 Mei 1999-menganut sikap militan dari salah satu watak realisme sosialis yang dikutipnya dari Maxim Gorky: if the enemy does not surrender, he must be destroyed.

Pram-bisa dikatakan-adalah novelis Indonesia legendaris yang namanya ‘hidup’ lagi dan dikenal di ujung senja. Padahal, telah lebih dari setengah abad hidupnya dihabiskan untuk dunia sastra dan tulis menulis. Aneh, tetapi jangan heran. Ada jeda waktu yang menghilang. Ia pernah mengalami depramisasi oleh orde yang mencapnya sebagai pengarang berbahaya. Bersamaan dengan limbungnya PKI, Pram tak luput dari implikasi pasca-meminjam istilah sejarawan Taufik Abdullah-malam jahanam itu. 13 Oktober 1965 adalah hari naas itu, yang selanjutnya, Pram ‘di-Buru-kan’.

Dunia menulis yang digeluti Pram telah mengantarkannya sebagai aktivitas subversif. Aktivitas terlarang. Orde Baru-Ben Anderson menyebutnya Orde Bau-kemudian menetapkan bahwa karya-karya Pram “haram” diterbitkan dan dibaca. Barang siapa yang berani membacanya, bersiap-siaplah untuk diamankan. Begitulah kira-kira peringatan penguasa.

Aneh, seorang penguasa yang memiliki segalanya: kuasa, senjata, dan tentara, malah takut dengan karya imajinasi seorang pengarang. Padahal, seorang pemgarang seperti dituturkan oleh Pram tak punya deretan senjata dan pembunuh-pembunuh bayaran untuk melindungi dirinya. Pengarang hanya “bersenjatakan” pena, kertas, mesin tik, dan komputer (sekarang). Seperti halnya penguasa Soviet yang takut akan Dr Zhivago-nya Boris Pasternak atau penguasa Ceko yang trauma atas karya-karya Milan Kundera. Begitulah Pram, ia “ditakuti” juga oleh penguasa Orde Baru.

Pram mungkin hanya bisa tabah dan tidak dapat berbuat apa-apa. Ia hanya seorang pengarang. Kesendirian dan kesenyapannya memacu semangat untuk berkarya. Raga boleh dipenjara, tetapi pikiran tetap merdeka. Depramisasi berlangsung lebih dari seperempat abad sebelum akhirnya orba jatuh oleh terjangan dollar dan hantaman reformasi mahasiswa. Itulah Pram. Agaknya tepat sekali apa yang pernah diucapkan oleh Prof. Irene Hilgershesse pada sosiolog Ignas Kleden ketika belajar filsafat di Jerman, “Pramoedya ist ein Begriff”. Pramoedya bukan hanya nama, ia adalah sebuah pengertian, bahkan sebuah konsepsi. Tabik

Penulis: Asep Dudinov AR, HMIers Korkom UPI 2001-2005

Neo Kolonialisme

Era kolonialisme fisik telah lama berlalu nun jauh puluhan tahun silam. Bendera kolonial tak lagi berkibar, garis garis peta penunjuk daerah penghasil rempah rempah tak lagi dihamparkan. Pasukan perang bersenjata tak lagi kelihatan batang hidungnya, semuanya telah berlalu. Dan itu adalah masa lalu yang tak pernah bisa diubah. Masa itu, romantisme darah dan kekecewaan silih berganti di panggung dunia timur dan barat. Barat dan timur pernah saling mengalahkan. Timur yang identik dengan Islam pernah digdaya di barat dengan imperium khilafah Islam, kali lain-dan kita harus sadar sampai saat ini-barat yang memimpin peradaban dunia. Inilah realitas hari ini, realitas yang mestinya menjadi tantangan umat Islam agar bangkit di masa depan dan merebut kembali kejayaan imperium Islam

Barat dan timur adalah penamaan geografi imajinatif hasil prakarsa barat dengan gerbongnya bernama orientalis. Mereka mengkaji timur tidak dengan perspektif netral layaknya seorang sarjana walau mereka sarjana, tetapi dengan prejudice dan prasangka negatif yang mendahului otak kepala sang orientalis, sehingga kajian yang dihasilkan dengan objek ketimuran menjadi bias. Seorang sarjana asal Palestina yang simpatik dengan Islam, Edward W Said, mendedahkan dan membongkar seluk beluk para orientalis dalam bukunya yang telah menjadi klasik yakni Orientalisme.

Inilah saat ketika era kolonialisme telah berganti baju menjadi neo kolonialisme. Ia tidak lagi direpresentasikan dengan popor senjata dan bau mesiu tapi ia dihadirkan dalam bentuk hegemoni ilmu pengetahuan. Neo kolonialisme tidak harus ada dalam wilayah geografi fisik yang nyata, ia bisa dikontrol dari jauh melewati sekat sekat negara bernama teknologi, food (makanan), fun (hiburan), fashion (mode) dan lain sebagainya. Tanpa sadar, negara negara dunia ketiga dan developed cuntries mengalami penjajahan jilid kedua.

Frantz Fanon, seorang ahli poskolonial, pernah mengatakan bahwa “Kolonialisme tidak puas sekedar menggenggam kepala penduduk yang dijajahnya dan menguras semua isinya. Dengan logika yang dibalik, kolonialisme justru tertuju pada masa lalu penduduk yang dijajah, lalu mendistorsi, mengutak atik, dan menghancurkannya, Hasil kerja pengguguran nilai sejarah pra kolonial mengambil makna dialektisnya sekarang ini (Ahmad Baso, 2005:51).

Dari Frantz Fanon kita bisa mengambil kesimpulan bahwa kolonialisme klasik (fisik) akan senantiasa diikuti oleh kolonialisme kontemporer (ideologi, budaya, dll). Faktanya tampak sangat nyata hingga hari ini. Negara negara Islam yang “diberi” kemerdekaan oleh pihak barat yang pernah menjajahnya terlihat masih tertatih tatih dalam mengisi kemerdekaannya, sehingga kita bisa mengatakan bahwa kemerdekaan yang diperolehnya hanya bersifat semu semata. Negara negara Islam tersebut belum sepenuhnya merdeka dalam arti yang sesungguhnya. Mereka masih berkutat dalam menyelesaikan persoalan persoalan intenal yang sering menghabiskan energi semisal konflik konflik sipil, pertikaian perebutan wilayah, korupsi dan lain sebagainya.

*penulis: Asep Dudinov AR, HMIers Korkom UPI 2001-2005

HMI dan Nurcholish Madjid

Dalam sebuah Diskusi dengan Seorang Budayawan ” D. Zawawi Imron (DZ) ” di Yabina Jember, ia pernah bertanya kepada peserta diskusi (seminar), “Sebenarnya HMI dengan Cak Nur itu lebih hebat yang mana?” kemudian Zawawi berpendapat “Menurut saya, Cak Nur jauh lebih besar, jauh lebih hebat dari HMI!”

Dulu, waktu Soekarno berkuasa, seolah-olah Indonesia identik dengan Soekarno, dan hal yang sama juga terjadi ketika Soeharto berkuasa. Pandangan di atas dibarengi sedikit pengertian salah kaprah, bahwa rejim Soekarno hanya akan berumur sepanjang usia Soekarno. Demikian pula dengan rejim Soeharto, yang kekuasaannya akan berumur sepanjang usia Soeharto.

Hal yang lebih salah kaprah lagi, negara (Indonesia) diidentikkan dengan pemerintah, padahal pemerintah hanyalah penyelenggara negara. Dus artinya, negara akan abadi, sedangkan pemerintahan bisa berganti-ganti.

Amien Rais dulu menyebut “fenomena kayak beginian” sebagai “syirik politik,” dan karena itu pandangan seperti itu harus diruntuhkan. Jika kita konsekuen dengan cara berpikir yang realistis seperti itu, maka akan SANGAT MENYESATKAN jika dikatakan HMI mati bersama wafatnya Cak Nur.

Memang cak Nur hebat, sanggup merumuskan NDP, dan meninggalkan warisan yang amat berharga dalam perjalanan sejarah HMI. Namun kebesaran figur Noercholish tak berarti harus berujung pada suatu cara pandang yang miopik, yang rada-rada rabun gitu, dalam memandang fenomena HMI. Mengidentikkan HMI dengan Cak Nur kurang tepat, meski tidak salah. Letak kurang tepatnya adalah… HMI memiliki tradisi sejarah yang panjang, sangat pluralis, dan dibesarkan dalam situasi-situasi yang crucial, diantaranya bahkan dalam suasana negara penuh konflik.

Toh, Noercholish tak selalu hadir dalam suasana seperti itu. Namun Cak Nur diuntungkan oleh sejarah karena dari sebagian “suasana crucial itu” Cak Nur hadir, dan mirip sebagai “seorang penempa baja sejarah hmi ketika baja itu tengah membara.” Ingat, Noercholish menjadi ketua umum PB HMI pada periode 1966-1971, sebuah periode yang sangat menentukan dalam sejarah Indonesia, sebuah periode transisi kekuasaan dari Soekarno ke Soeharto, yang bahkan menurut istilah Cak Nur sendiri sebanding dengan sejarah civil war atau perang sipil dalam sejarah Amerika Serikat.

Hasil dari peristiwa besar itu, di Indonesia komunisme terhapus dari panggung politik Indonesia, dan umat Islam bersama ABRI menjadi tulang punggung orde baru dan memegang amanat menjalankan kekuasaan negara. Di Amerika Serikat, civil war menghapus sistem perbudakan, mengibarkan kemenangan demokrasi, dan mengubur feodalisme.

Selanjutnya, HMI begitu dalam bermitra dengan kekuasaan Orde Baru, sebagian juga karena strategi yang dirancang Cak Nur sendiri, yang menghendaki agar umat Islam tidak terbiasa dengan mentalitas “di luar pagar”…artinya, tidak terbiasa berada di luar birokrasi negara dan terus menerus mengembangkan gagasan tentang negara Islam, yang ujung-ujungnya membawa umat Islam kepada pemberontakan bersenjata.

Mungkin Cak Nur tidak terlalu jauh membayangkan bahwa strateginya itu di belakang hari terbukti menjadi beban, khususnya, bagi anak-anak HMI. Memang, cak Nur bersama rekan-rekannya sesama intelektual muslim dan aktivis HMI telah merancang berdirinya ICMI, suatu bentuk “organisasi proto partai politik” yang dibungkus sebagai gerakan sosial umat Islam, karena waktu itu tidak mungkin umat Islam mendirikan partai politik di luar PPP, Golkar, dan PDI.

Cak Nur mewariskan ide-ide besar, juga strategi-strategi yang bersifat gradual, dalam mengintegrasikan secara penuh umat Islam Indonesia ke dalam Republik Indonesia. Semua anak HMI mahfum tentang hal itu, kecuali yang diragukan ke-HMI-annya.

Maka menjadi jelas, bahwa struktur mental orang Indonesia yang paternalistik, akan mudah membentuk kesadaran anti demokratis dalam memaknai sepak terjang Cak Nur. Dalam bahasa sederhana, Cak Nur wafat, HMI tamat.

This is really a very misleading judgement!

Tengoklah sendiri, ketika Mas Anas Urbaningrum terpilih dalam Kongres HMI di Yogya, dan suasana kongres diwarnai ricuh-ricuh, dengan enteng Cak Nur bilang….HMI itu udah kayak besi tua, karatan…

Beberapa tahun sebelumnya, Cak Nur masih memuji bahwa suasana kongres yang diwarnai ribut-ribut sesungguhnya mencerminkan dinamika di internal HMI, sebuah dinamika yang memiliki arti positif jika disalurkan dengan benar.

Ini semua membuktikan bahwa membandingkan HMI dengan Cak Nur pada era 80-an ke atas–suatu era yang jauh berbeda dengan era Cak Nur–sangat tidak proporsional.

Cak Nur lebih besar dari HMI?

Ngapain kita musti masuk ke wilayah pertanyaan yang nggak produktif seperti itu. Noercholish toh besar karena HMI juga. Memisahkan HMI dari Noercholish, mengutip ungkapan almarhum Jenderal AH Nasution, sama saja dengan memisahkan air dengan ikan.

Jujur saja, kita nggak usah hipokrit-lah bahwa karena kebijakan yang digariskan terhadap HMI oleh generasi Noercholish dulu…justeru menjadi salah satu sebab utama mengapa HMI menjadi seperti sekarang!

Jika ada kesalahan, maka kesalahan terbesar justeru pada perkaderan HMI sendiri, yang membuat HMI menjadi gagap terhadap berkembangnya era demokratisasi di Indonesia, terlebih-lebih karena para kadernya terlalu terbiasa meniru abang-abangnya yang pingin berkuasa melalui birokrasi negara. Memang… untuk ini Noercholish bisa disebut bersalah sekaligus berjasa…tapi itulah harga sebuah pilihan politik!

Rasa marah, minder, gemes, dan mungkin muak di kalangan orang-orang yang pernah aktif di HMI terhadap sepak terjang HMI dewasa ini, terutama setelah mengamati Kongres HMI di Makassar, sangat masuk akal dan bisa dimengerti.

Memang, HMI perlu perubahan revolusioner!

Sayangnya, momentum terjadinya perubahan seperti itu tidak tersedia lagi. Demokrasi menghendaki kesabaran, keuletan, dan ketelatenan…terutama dalam membangun konsensus bagi lahirnya tradisi organisasi yang baik. Memasang kepercayaan tinggi bahwa HMI akan mampu melakukan hal itu memang sangat beresiko. Investasi ke arah itu memerlukan syarat mutlak, antara lain: Masa depan anak-anak HMI harus ditentukan oleh anak-anak HMI sendiri, bukan oleh alumninya, oleh kelompok-kelompok tertentu di luar HMI, apalagi oleh kekuasaan negara sebagaimana di waktu lalu. HMI harus memilih jalan yang tegas, yakni sebagai anak umat Islam sekaligus anak bangsa Indonesia. Ini semua membuka peluang luar biasa besarnya bagi “rekayasa masa depan HMI,” karena hampir seluruhnya mengandalkan kreatifitas yang bersifat lokal.

Meniru Angkatan Belia Islam Malaysia (ABIM), sejak lama setelah berakhirnya kepemimpinan Datuk Anwar Ibrahim di ABIM yang sangat bersejarah, telah dimapankan model-model organisasi yang bersifat federatif, dan sepenuhnya menyatu ke dalam barisan umat Islam Malaysia, sekaligus menjadi penyuplai utama dalam sistem politik Malaysia yang didominasi para puak Melayu.

Di Indonesia, masalahnya sedikit rumit karena HMI harus menerima kenyataan bahwa umat Islam Indonesia tidaklah satu, terpecah-pecah ke dalam berbagai organisasi, dan masing-masing dalam hubungannya satu sama lain seringkali memiliki sejarah yang tak jarang diwarnai konflik.

Mungkin….suatu saat akan ada orang mengatakan… HMI nggak perlu ada, toh sudah ada IMM yang Muhammadiyah banget, atau PMII yang NU banget itu… atau ada lagi organisasi mahasiswa onderbouw Ormas Islam yang lain…

Pandangan seperti ini sama simplisistis-nya dengan pandangan Zawawi Imron!

HMI hari ini memang menghadapi krisis yang berat, dan begitu banyak kader HMI, atau alumni HMI yang kehilangan kepercayaan diri, diserang rasa minder yang hebat, dan mengutip cak Nur, mengidap semacam psikose yang symptom atau gejalanya berupa “adegan banting gelas” karena “minuman yang dijanjikan terasa manis dan segar ternyata pahit dan menyakitkan tenggorokan.”

Bagi sebagian besar keluarga HMI “sindroma banting gelas” ini masih akan berumur lama, karena sindroma ini baru akan bisa disembuhkan jika HMI mampu melakukan reformasi mendasar, baik dalam hal perkaderan, pedoman organisasi, attitude, keberpihakan, dan koreksi terus menerus terhadap perjalanan sejarahnya.

HMI adalah sebuah institusi…sama seperti TNI juga sebuah institusi.

Reformasi institusional dalam sejarah terbukti baru berjalan efektif jika terjadi pertemuan dua faktor utama, yaitu faktor obyektif dan faktor subyektif. Faktor obyektif adalah kondisi eksternal yang ada di luar HMI, dalam hal ini perubahan-perubahan mendasar yang terjadi dalam masyarakat, yang mempengaruhi pula terjadinya perubahan dalam sejarah perjalanan Republik Indonesia. Sedangkan faktor subyektifnya adalah kesadaran yang muncul di kalangan para kader HMI, yang merasa terpanggil oleh tugas sejarah, untuk memprakarsai langkah-langkah reformasi di internal HMI sendiri.

Tentu saja… Kita bersukur masih ada orang seperti Zawawi Imron yang “maksain” membanding-bandingkan kebesaran HMI sebagai institusi dengan figur Noercholish Madjid sebagai pribadi.

Kita bersukur karena lontaran itu diungkapkan oleh orang yang kayaknya berada di luar HMI–dus artinya pemahamannya terhadap sejarah HMI bisa kita maklumi jika sangat terbatas–tetapi masih berada dalam lingkaran keluarga besar umat Islam Indonesia.

Penilaian semacam itu semestinya bisa memberi arti positif kepada para kader HMI, terutama dalam memperkuat komitmennya dengan memperbaiki secara terus-menerus proses-proses perkaderan yang ada di HMI, dan tidak menyerah atau pasrah kepada situasi.

Insyaallah…. dalam beberapa tahun ke depan, kader-kader semacam itu akan mampu memacu geliat HMI sebagai sebuah organisasi perkaderan, yang kehadirannya masih tetap aktual dan kontekstual dengan tuntutan situasi dewasa ini.

Akhirnya … perlu di tegaskan bahwa SAMA SEKALI TIDAK ADA DORONGAN DAN SUASANA APOLOGETIK dari posting yang panjang ini….

Kita semua prihatin melihat keberadaan HMI saat ini, tapi jangan sekali-kali kita kehilangan kepercayaan kepada masa depan. Justeru karena kita ber-Islam, ber-Iman, dan ber-Ikhsan… kita harus tetap realistis sekaligus optimis memandang masa depan.

Laa Takhof Wa Laa Takhzan….

Contributed to Hadiwin dan Aziz Andrianata

Patriotisme Konstruktif bagi HMI

HmI's Flag 1

Oleh: Eka Nada Shofa Alkhajar

Persatuan adalah lambang kemenangan, dan perpecahan adalah lambang kehancuran. Bersatu kita teguh bercerai kita runtuh Sejak berpisah tujuh tahun lalu, Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI)–organisasi alumni HMI–akhirnya bersatu lagi. Deklarasi bergabungnya kembali Presidium Majelis Nasional yang dipelopori mantan Menkeu Fuad Bawazier dengan pimpinan Majelis Nasional yang didukung enam ketua presidium, seperti La Ode Kamaluddin, Noer Sutrisno, Abdullah Hehamahua, Tubagus Farich Nahril, Anwar Arifin, dan A Asri Harahap, disampaikan kepada Wakil Presiden Muhammad Jusuf Kalla yang juga penasehat KAHMI di Istana Wapres (Kompas, 22 Juli 2009). Continue reading “Patriotisme Konstruktif bagi HMI”

AKSI HIMPUNAN MAHASISWA ISLAM (HMI) CABANG SURAKARTA – PERANG KORUPSI…!!!

AKSI HIMPUNAN MAHASISWA ISLAM (HMI) CABANG SURAKARTA

PERANG KORUPSI…!!!

SAAT INI IKHTIAR KITA, BANGSA INDONESIA DALAM MEMERANGI KORUPSI SEDANG DIHADANG DENGAN PERSOALAN RAKSASA. Yaitu ambang kegagalan pasti, DPR untuk menghasilkan UU Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang seharusnya sudah diselesaikan 3 tahun yang lalu, berdasarkan putusan MK No. 012-014-019/PUU-IV/2006. Putusan tersebut menyatakan bahwa Pasal 53 UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi bertentangan dengan UUD 1945. Padahal, MK mengisyaratkan bahwa jika sampai dengan batas waktu yang ditentukan UU Pengadilan Tipikor tidak muncul maka seluruh kasus yang sudah dilakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan oleh KPK akan diserahkan kepada pengadilan umum. Padahal kita tahu bahwa pengadilan umum adalah sarang mafia peradilan yang gemar meloloskan para koruptor. Jika hal itu terjadi, “SORAK GEMBIRA KORUPTOR DI INDONESIA AKAN MEMBAHANA, AKHIRNYA KEMBALI LAGI RAKYAT YANG MENANGGUNG SENGSARA DAN DERITA.” Continue reading “AKSI HIMPUNAN MAHASISWA ISLAM (HMI) CABANG SURAKARTA – PERANG KORUPSI…!!!”

Usia Pemuda Dibatasi 16-30 Tahun

Oleh: Ahmad Baidowi, Seputar Indonesia

JAKARTA(SI) – Setelah terjadi tarik-ulur, pembahasan RUU Kepemudaan akhirnya disahkan dalam rapat paripurna DPR.

Salah satu substansi dari UU tersebut yakni batasan usia pemuda antara 16 sampai 30 tahun. Masa transisi pemberlakuan UU tersebut empat tahun. Menteri Pemuda dan Olahraga Adhyaksa Dault menyatakan, salah satu aspek terpenting adalah regenerasi. Karena itu, batasan usia dalam RUU tersebut dilandasi semangat mewujudkan kaderisasi kepemimpinan nasional. “Saya kira yang terpenting masalah umur pemuda, 16 sampai 30 tahun. Hal ini perlu untuk kaderisasi supaya tidak stuck.

Kita membutuhkan generasi segar membangun bangsa,” kata Adhyaksa seusai sidang paripurna pengesahan RUU Kepemudaan di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, kemarin. Mantan Ketua Umum DPP KNPI ini menambahkan, seluruh komponen kepengurusan kepemudaan Tanah Air akan segera ditertibkan selama empat bulan ke depan. Hal ini penting untuk memperjelas dan mengakomodasi semangat kerja pemuda.

“Setelah undang-undang disahkan, ini kepengurusan kepemudaan maksimal 30 tahun. Pemuda kita di luar negeri dipanggil unclekarena terlalu tua,” papar Menpora. Ketua Umum PB HMI Arip Mustopha menyayangkan masa transisi yang sampai empat tahun. Menurut dia, masa transisi sebaiknya cukup dibatasi tiga tahun saja. Pihaknya menyambut baik perubahan redaksi pembinaan pemuda menjadi pelayanan pemuda.

Hanya saja, Arip menyayangkan UU tersebut tidak mengatur tentang penertiban organisasi kepemudaan (OKP).

Yakub Chisir: 11 Tahun Hafidz Quran dari Negara Yang Terjajah Russia

Asia Tengah adalah benteng Islam selama berabad-abad. Tidak seorang pun membaca sejarah Islam dapat mengabaikan pengaruh kota-kota seperti Bukhara atau Samarkand, yang menghasilkan para ulama besar Islam.

Tetapi kondisi keimanan rakyat jatuh pada masa-masa sulit, terutama selama masa invasi Soviet dimana agama tak dianggap oleh Negara komunis itu dan ateisme disebarkan oleh Soviet. Namun api Islam itu, bagaimanapun, tetap menyala bahkan di masa yang paling sulit oleh beberapa penganut yang konsisten.

Di antara mereka adalah keluarga Yakub yang diwakili Chishir Kazakhstan di yang baru saja menyelesaikan Alquran Internasional Dubai Award (DIHQA). Chishir adalah peserta termuda dalam perhelatan yang ke- 13 ini. Bocah berusia 11 tahun ini mempunyai suara yang merdu suara, dan memukau pada setiap tilawah Al-Qur’annya. Ia adalah sedikit bukti sejarah keluarganya berjuang untuk tetap hidup Islam di Asia Tengah.

Chishir berasal dari sebuah desa kecil 40 km dari Astana, ibukota Kazakhstan. Ia belajar Al-Quran dari ayahnya, yang bekerja sebagai petani,selain menjadi guru Islam desa. “Ayah saya hanya mengingat beberapa bagian dari Al Quran karena ketika ia masih kecil, sangat berbahaya jika seseorang menghafal Al Quran. Akibatnya ia bersikeras bahwa saya menghafal seluruh Al Quran karena dia ingin salah satu dari anak-anaknya untuk menjadi seorang hafiz, “kata Chishir.

Chisir sendiri, fasih berbicara Rusia dan Persia, mulai menghafal kitab suci dari usia enam tahun. Ia butuh waktu dua tahun untuk menyelesaikan menghafal seluruh Al Qur’an, kata Omar Mousa, yang merupakan wali Chishir dan penerjemah di acara itu.

Mousa mengungkapkan bahwa keluarganya juga menderita penganiayaan karena keyakinan agama mereka selama era Soviet. Mousa yang bekerja untuk Al-Ihsan Association, sebuah badan amal yang menjalankan sekolah-sekolah Islam dan masjid-masjid di empat negara Asia Tengah, diasingkan secara paksa dari tanah kelahirannya Daghestan ke Kazakhstan karena dia berasal dari keluarga Muslim. Meskipun bahaya bagi kehidupan mereka, keluarga Mousa bersikeras menerapkan Islam, meskipun secara rahasia.

“Aku ingat ketika aku masih kecil ayahku akan bangun larut malam sekitar jam 2 pagi, pergi ke rumah seorang sarjana untuk belajar tentang Islam. Mereka akan belajar sampai Shubuh, dan setelah itu mereka kemudian pergi bekerja.

“Bahaya yang mereka hadapi itu sangat besar karena jika mereka telah ditangkap mereka akan dikirim ke penjara di Siberia, yang berarti kematian,” ia mengenang.

Namun, setelah jatuhnya Uni Soviet, situasi di Kazakhstan membaik secara dramatis. Larangan tentang praktik agama dicabut dan masjid berkembang.

“Dewasa ini kita melihat lebih banyak dan lebih banyak orang akan kembali ke Islam. Masjid pada hari Jumat dipenuhi dengan orang-orang untuk shalat. Meskipun beberapa dari mereka tidak tahu bagaimana harus shalat, karena mereka masih belajar, “katanya.

Mousa menunjukkan bahwa ketika mereka membuka sekolah Islam pertama mereka pada tahun 1998 mereka harus pergi keluar untuk merekrut siswa dan nyaris kelas tidak pernah diisi. Tapi sekarang jumlah siswa sekolah luar biasa dan seirng kali tidak dapat mengatasi meningkatnya jumlah siswa.

Mousa mendesak negara-negara Arab untuk membantu organisasi-organisasi Islam di Asia Tengah. “Kita perlu membangun lebih banyak seminari Islam, mesjid dan panti-panti asuhan. Bangsa kita perlu dididik mengenai warisan Islam mereka yang kaya, “katanya.

JK: Saya Tak Tahu Apa yang Dimaksud Presiden

Dear all,

Ada yang menarik dari berita ini, terutama jika dikaitkan dengan keinginan SBY agar JK masih mau membantunya. Ungkapan “minta bantuan” atau “tetap diperlukan pemerintah” juga pernah diungkapkan Pak Harto, waktu Pak Adam Malik mengakhiri masa baktinya sebagai Wapres (1978-1983). Hanya saja konteksnya beda. Pak Adam saat itu masih berpikiran akan dipercaya Pak Harto untuk menjadi wapres lagi. Pak Harto sendiri tak pernah merinci apa yang dimaksud agar “Pak Adam tetap membantu pemerintah.” Makna ungkapan itu makin kabur ketika Pak Umar Wirahadikusumah kemudian terpilih menjadi wapres menggantikan Pak Adam. Kabarnya, Pak Adam sampai sakit gara-gara itu. Gosipnya, para jenderal di sekeliling Pak Harto kurang sreg dengan Pak Adam, yang karena sikap kritisnya seringkali pendapat-pendapatnya terlihat independen. Mungkin kita masih cerita Pak Adam ketika mengatakan kepada almarhum Jenderal Panggabean: “Kasihlah ide lebih banyak kepadaku, jangan hanya alternatif militer belaka.” Kata-kata itu sempat muncul di sela-sela ngomongin persoalan keamanan dalam negeri.

Yang jelas, sampai Pak Ada meninggal, kata-kata Pak Harto agar Pak Adam turut membantu pemerintah tidak pernah terwujud hingga ke tahap impelmentasi tertentu. Tetapi membantu dalam pengertian turut mendukung program pembangunan sudah barang tentu dilakukan Pak Adam, tetapi hanya dalam posisi sebagai warganegara biasa, tanpa kedudukan politik yang strategis sebagaimana dibayangkan akan seperti itu.

Pembanding kedua dalam sejarah Indonesia — meski sama tapi tak sebangun dalam perbandingan ini — adalah tatkala perpecahan antara Bung Karno dan Bung Hatta benar-benar tidak terelakkan, dan berakhir dengan pengunduran diri Bung Hatta pada akhir tahun 1956.

Yang menarik adalah Bung Karno dan Bung Hatta secara personal mengatakan bahwa hubungan pribadi mereka berua tidak terganggu, meski pandangan-pandangan politik keduanya telah berbeda begitu jauh. Karena itu, para pendukung Bung Karno dan Bung Hatta, merancang sebuah acara yang kemudian dikenal dengan Musyawarah Nasional Pembangunan (MUNAP) pada tahun 1957. Acara ini demikian “spektakuler” dan dihadiri oleh semua pejabat tinggi pemerintah baik dari kalangan sipil maupun militer. Pangdam Diponegoro Kolonel Soeharto hadir bersama Gubernur Jawa Tengah Moenadi. Para panglima militer dari daerah yang hadir di MUNAP ada Letkol Ahmad Husein, Letkol Ventje Sumual, Letkol Hidayat, dan beberapa lagi.

Sebuah panitia kecil beranggotakan 10 orang dibentuk untuk melakukan dua hal. Pertma, menyusun langkah-langkah nyata dalam menyatukan dwitunggal Soekarno-Hatta. menyusun semacam draft pernyataan yang akan menjadi piagam penyatuan dwitunggal.

Tetapi Soekarno dan Hatta bukan Yudhoyono dengan Kalla. Setidaknya begitulah perkembangan peristiwa yang terjadi menyusul Munap 1957. Soekarno dan Hatta yang diberi kesempatan untuk berpidato dalam MUNAP 1957 menyatakan bahwa jiwa Proklamasi 17 Agsutus 1945 tidak boleh padam, dan RI akan tetap tegak berdiri betapapun besarnya rintangan yang dihadapi.

Tetapi apakah dwitunggal akan bersatu kembali? Ternyata tidak. Panitia 10 akhirnya menyatakan bahwa dua bapak bangsa itu tidak mungkin bersatu kembali memimpin pemerintahan. Tetapi kegagalan menyatukan dwitunggal ini setidaknya masih terobati, karena Bung Karno dan Bung Hatta akhirnya bersedia secara bersama menandatangani PIAGAM PROKLAMASI, yang draft-nya disusun oleh Panitia 10 dan disepakati oleh seluruh peserta MUNAP. Piagam itu menegaskan bahwa dwitunggal tetap berpegang teguh dalam jiwa dan semangat Prokalamsi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, dan akan tetap menjaga dan mempertahankan keutuhan negara Republik Indonesia.

Barangkali, yang lebih menarik adalah melihat bagaimana Bung Karno mengangkat Soetan Sjahrir menjadi penasehat presiden setelah Sjahrir tidak lagi menjadi perdana menteri. Sjahrir menerima pengangkatan itu pada tahun 1947, suatu keputusan yang sebenarnya sulit dimengerti tetapi akhirnya bisa terjadi.

Sebagaimana diketahui, hubungan Sjahrir dengan Soekarno secara pribadi tidak mesra. beberapa kali keduanya terlibat dalam situasi penuh ketegangan, bahkan sejak awal tahun 1930-an selepas Bung Karno dibebaskan dari penjara dan Sjahrir baru sebagai seorang siswa di sebuah sekolah tingkat atas di Bandung. Pada suatu rapat resmi yang digelar oleh orang-orang Pendidikan Nasional Indonesia (PNI), Sjahrir tiba-tiba menginterupsi pidato Bung Karno, dan mengatakan bahwa tidak pantas seorang pemimpin gerakan kemerdekaan “menghardik” siswa puteri yang bertanya dalam vergadering (rapat) saat itu. Soekarno terkesima dengan keberanian remaja bertubuh kecil, berwajah pucat, tetapi tatapan matanya begitu bercahaya.

Ketegangan terjadi kembali ketika Soekarno bersama Sjahrir dan Haji Agussalim diinternir Belanda, di wisma peristirahatan milik perusahaan timah di Pulau Bangka, selepas Agresi Militer Belanda kedua pada 19 Desember 1948. Sjahrir yang menyukai suasana damai, tenang, dan suka melakukan “percikan permenungan” berada satu rumah dengan Soekarno yang flamboyan, penggembira, suka dipuji, dan pada dasarnya megalomania alias ingin terlibat dalam segala hal.

Suasana ini menjadi tidak tertahankan, dan akhirnya pecahlah insiden kamar mandi yang terkenal itu. Kebiasaan Soekarno menyanyi keras-keras jika lagi mandi membuat Sjahrir marah. Begitulah, tatkala menyanyikkan lagu kesayangannya, terjadilah apa yang kemudian terjadi.

One day when we were young
One day in beautiful may
We kiss ….

Soekano demikian semangat menyanyikan lagu itu, sampai kemudian dia berhenti mendadak ketika mendengar Sjahrir berteriak: “Houd Je mound” ( artinya, shut your mouth atawa tutup mulutmu).

Haji Agussalim yang ikut mendengar kata-kata Sjahrir itu ikut terkejut. Betapapun, Soekarno 9 tahun lebih tua dari Sjahrir, dan dalam etika timur jelas sulit dimengerti ucapan Sjahrir. Bertahun-tahun kemudian, setelah Haji Agussalim membuka rahasia peristiwa itu secara terbatas, tetap masih tidak bisa memahami mengapa sampai terjadi begitu. Haji Agussalim sendiri pernah berpolemik dengan Bung Karno dalam surat kabar Pemandangan tentang asas nasionalisme dan Islam . Malahan, Soekarno yang lebih muda 15 tahun dari Salim, memanggil seniornya di dunia gerakan itu dengan panggilan “Saudara Salim” dalam sebuah artikel yang argumentatif, tetapi penuh insinuasi.

Setelah peristiwa itu, hubungan Soekarno dengan Sjahrir menjadi tegang. Apalagi, ketika pemerintah Belanda bermaksud mendatangkan Sjahrir ke Jakarta untuk membuka kemungkinan berunding, Sjahrir menerimanya tanpa meminta persetujuan Soekarno. Sjahrir akhirnya kembali ke Jakarta dan menghirup udara bebas, dan Soekarno mengomentari kejadian itu dengan mengatakan,”Bagaimanapun aku masih seorang presiden. Bagiku ia tidak setia.”

Di tahun 1946, wartawan AS Arnold Brackman sempat dibuat terkejut, ketika dia diajak Sjahrir ke Gedung Agung Jogjakarta untuk bertemu Soekarno karena Arnold ingin mewawancarai Soekarno. Sebelum wawancara dimulai, Sjahrir masuk ke sebuah kamar, dan kemudian keluar bersama orang yang tubuhnya jauh lebih gagah dibanding dirinya, memiliki suara bariton yang khas, dan rambut pada bagian depan kepalanya mulai menipis. Arnold belum tahu kalau itu Soekarno. Dalam situasi yang sangat personal seperti itu, Sjahrir konon memanggil Bung karno sama dengan cara Bung Hatta memanggilnya, yaitu Karno atau kadang no saja. Tetapi yang membuat Arnold bener-bener terkejut adalah ketika keduanya tiba-tiba bicara dengan nada menegang, mendekati saling bentak. Setelah wawancara selesai, Sjahrir menceritakan bahwa dia baru saja berdebat dengan Soekarno soal “Front Bekasi” yang membara. Sjahrir meyakinkan Soekarno bahwa pertempuran yang terjadi di Front Bekasi akan memperkuat kedudukan republik dalam sengketa melawan Belanda. Sebaliknya Soekarno meragukan pandangan semacam itu.

Di awal tahun 1960-an, Arnold Bracman kembali ke Indonesia dan datang menemui Sjahrir. Saat itu, Sjahrir sudah memperkirakan bahwa Soekarno akan makin sulit mengendalikan orang-orang komunis. Sjahrir yang sudah diamati terus gerak-geriknya, akhirnya didatangi Soebandrio, orang yang dulunya tak lain adalah salah satu “anak didik” Sjahrir di PSI, tetapi kemudian berbelok dan menjadi orang kepercayaan Soekarno, bahkan diberi kepercayaan memimpin lembaga intelijen BPI. Dalam pertemuan itu, Soebandrio menawarkan sesuatu kepada Sjahrir, sebuah tawaran yang sebenarnya berasal dari Soekarno. Tetapi Sjahrir tidak merespon kesungguhan Soebandrio. Sjahrir malah hanya terkekeh sambil berkata… “Sudahlah Ban … ”

Soekarno konon marah besar mendengar respon Sjahrir itu. Dan dengan alasan yang dibuat-buat, yaitu dengan mengatakan bahwa Sjahrir dan beberapa orang merencanakan tindakan makar, maka Sjahrir dibawa ke Rumah Tahanan di Madiun. Padahal, yang disebut pertemuan merencanakan makar itu tak lebih hanyalah ketika Sjahrir dan beberapa orang bertemu di Gianyar untuk menghadiri ngaben dalam rangka pemakaman Raja Gianyar, orangtua mantan Mendagri Dr Ide Anak Agung Gde Agung.

Ketika Sjahrir jatuh sakit, dan beberapa kali jatuh selama di tahanan karena stroke-nya, Soekarno akhirnya dengan alasan kemanusiaan mengijinkan Sjahrir berobat ke Zurich, Swiss. Pengobatan itu tidak berhasil dan akhirnya Sjahrir wafat di Zurich.

Soekarno yang mendengar kematian Sjahrir, tanpa menunggu masukan dari siapapun, langsung mengelkuarkan surat keputusan presiden yang menyatakan bahwa Sjahrir adalah pahlawan nasional, dan dia berhak mendapatkan pemakaman kenegaraan secara militer pada bulan April 1966. Pemakaman itu sendiri menjadi snagat bersejarah, dan membuktikan betapa besarnya karakter Sjahrir. Hampir satu juta rakyat Jakarta turun ke jalan mengiringi jenazahnya. Ketika jenazah tiba di Kalibata, rombongan terakhir pengantar jenazah masih mengular di sekitar bundaran HI.

Pidato Bung Hatta di pemakaman Sjahrir begitu “menggetarkan” … sebuah pidato yang mengritik kelaliman Soekarno. Hanya saja, kali ini Soekarno tidak bisa berbuat apa-apa, karena sebulan sebelum pidato Hatta, Soekarno praktis tidak lagi mengendalikan keadaan, karena telah memberikan Super Semar kepada Jenderal Soeharto untuk memulihkan keamanan dan ketertiban menyusul pecahnya G 30 S/PKI.

Jadi, kita bisa melihat kembali peristiwa-peristiwa ini untuk “mengukur” apa sesungguhnya yang dimaui oleh SBY, yang JK sendiri mengaku tidak tahu.

Apakah SBY akan mengangkat JK menjadi penasehat presiden?

Mengapa SBY seolah digerakkan oleh semacam “projection of fear” hingga melakukan keputusan-keputusan yang terasa “berlebihan” dalam rangka kepresidenannya yang kedua.

Bukankah belum lama PD ngebet menggandeng PDIP dan Golkar dengan alasan agar terbentuk pemerintahan yang kuat?

Mengapa takut banget sama oposisi yak!

Saya sendiri berdoa, moga Pak Kalla bisa menjalani hari-harinya dengan sehat walafiat setelah usai jadi wapres.

Biarlah padaeng kita ini berkhidmat di dunia sosial, menikmati hari-hari bersama keluarganya, menjadi “penasehat bisnis” bagi anak-anak dan para mitra bisnisnya, dan tidak diganggu-ganggu oleh jabatan publik yang nggak jelas.

Siapa tahu Pak Kalla baca tulisan gue ini.

( berfantasi dikit boleh kan … he he he …)

Segitu saja.

Salam hangat,
credit to Hadiwin

Produser Program OASIS Metrotv, Mantan Ketum HMI Cabang Jember