JK: Saya Tak Tahu Apa yang Dimaksud Presiden

Dear all,

Ada yang menarik dari berita ini, terutama jika dikaitkan dengan keinginan SBY agar JK masih mau membantunya. Ungkapan “minta bantuan” atau “tetap diperlukan pemerintah” juga pernah diungkapkan Pak Harto, waktu Pak Adam Malik mengakhiri masa baktinya sebagai Wapres (1978-1983). Hanya saja konteksnya beda. Pak Adam saat itu masih berpikiran akan dipercaya Pak Harto untuk menjadi wapres lagi. Pak Harto sendiri tak pernah merinci apa yang dimaksud agar “Pak Adam tetap membantu pemerintah.” Makna ungkapan itu makin kabur ketika Pak Umar Wirahadikusumah kemudian terpilih menjadi wapres menggantikan Pak Adam. Kabarnya, Pak Adam sampai sakit gara-gara itu. Gosipnya, para jenderal di sekeliling Pak Harto kurang sreg dengan Pak Adam, yang karena sikap kritisnya seringkali pendapat-pendapatnya terlihat independen. Mungkin kita masih cerita Pak Adam ketika mengatakan kepada almarhum Jenderal Panggabean: “Kasihlah ide lebih banyak kepadaku, jangan hanya alternatif militer belaka.” Kata-kata itu sempat muncul di sela-sela ngomongin persoalan keamanan dalam negeri.

Yang jelas, sampai Pak Ada meninggal, kata-kata Pak Harto agar Pak Adam turut membantu pemerintah tidak pernah terwujud hingga ke tahap impelmentasi tertentu. Tetapi membantu dalam pengertian turut mendukung program pembangunan sudah barang tentu dilakukan Pak Adam, tetapi hanya dalam posisi sebagai warganegara biasa, tanpa kedudukan politik yang strategis sebagaimana dibayangkan akan seperti itu.

Pembanding kedua dalam sejarah Indonesia — meski sama tapi tak sebangun dalam perbandingan ini — adalah tatkala perpecahan antara Bung Karno dan Bung Hatta benar-benar tidak terelakkan, dan berakhir dengan pengunduran diri Bung Hatta pada akhir tahun 1956.

Yang menarik adalah Bung Karno dan Bung Hatta secara personal mengatakan bahwa hubungan pribadi mereka berua tidak terganggu, meski pandangan-pandangan politik keduanya telah berbeda begitu jauh. Karena itu, para pendukung Bung Karno dan Bung Hatta, merancang sebuah acara yang kemudian dikenal dengan Musyawarah Nasional Pembangunan (MUNAP) pada tahun 1957. Acara ini demikian “spektakuler” dan dihadiri oleh semua pejabat tinggi pemerintah baik dari kalangan sipil maupun militer. Pangdam Diponegoro Kolonel Soeharto hadir bersama Gubernur Jawa Tengah Moenadi. Para panglima militer dari daerah yang hadir di MUNAP ada Letkol Ahmad Husein, Letkol Ventje Sumual, Letkol Hidayat, dan beberapa lagi.

Sebuah panitia kecil beranggotakan 10 orang dibentuk untuk melakukan dua hal. Pertma, menyusun langkah-langkah nyata dalam menyatukan dwitunggal Soekarno-Hatta. menyusun semacam draft pernyataan yang akan menjadi piagam penyatuan dwitunggal.

Tetapi Soekarno dan Hatta bukan Yudhoyono dengan Kalla. Setidaknya begitulah perkembangan peristiwa yang terjadi menyusul Munap 1957. Soekarno dan Hatta yang diberi kesempatan untuk berpidato dalam MUNAP 1957 menyatakan bahwa jiwa Proklamasi 17 Agsutus 1945 tidak boleh padam, dan RI akan tetap tegak berdiri betapapun besarnya rintangan yang dihadapi.

Tetapi apakah dwitunggal akan bersatu kembali? Ternyata tidak. Panitia 10 akhirnya menyatakan bahwa dua bapak bangsa itu tidak mungkin bersatu kembali memimpin pemerintahan. Tetapi kegagalan menyatukan dwitunggal ini setidaknya masih terobati, karena Bung Karno dan Bung Hatta akhirnya bersedia secara bersama menandatangani PIAGAM PROKLAMASI, yang draft-nya disusun oleh Panitia 10 dan disepakati oleh seluruh peserta MUNAP. Piagam itu menegaskan bahwa dwitunggal tetap berpegang teguh dalam jiwa dan semangat Prokalamsi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, dan akan tetap menjaga dan mempertahankan keutuhan negara Republik Indonesia.

Barangkali, yang lebih menarik adalah melihat bagaimana Bung Karno mengangkat Soetan Sjahrir menjadi penasehat presiden setelah Sjahrir tidak lagi menjadi perdana menteri. Sjahrir menerima pengangkatan itu pada tahun 1947, suatu keputusan yang sebenarnya sulit dimengerti tetapi akhirnya bisa terjadi.

Sebagaimana diketahui, hubungan Sjahrir dengan Soekarno secara pribadi tidak mesra. beberapa kali keduanya terlibat dalam situasi penuh ketegangan, bahkan sejak awal tahun 1930-an selepas Bung Karno dibebaskan dari penjara dan Sjahrir baru sebagai seorang siswa di sebuah sekolah tingkat atas di Bandung. Pada suatu rapat resmi yang digelar oleh orang-orang Pendidikan Nasional Indonesia (PNI), Sjahrir tiba-tiba menginterupsi pidato Bung Karno, dan mengatakan bahwa tidak pantas seorang pemimpin gerakan kemerdekaan “menghardik” siswa puteri yang bertanya dalam vergadering (rapat) saat itu. Soekarno terkesima dengan keberanian remaja bertubuh kecil, berwajah pucat, tetapi tatapan matanya begitu bercahaya.

Ketegangan terjadi kembali ketika Soekarno bersama Sjahrir dan Haji Agussalim diinternir Belanda, di wisma peristirahatan milik perusahaan timah di Pulau Bangka, selepas Agresi Militer Belanda kedua pada 19 Desember 1948. Sjahrir yang menyukai suasana damai, tenang, dan suka melakukan “percikan permenungan” berada satu rumah dengan Soekarno yang flamboyan, penggembira, suka dipuji, dan pada dasarnya megalomania alias ingin terlibat dalam segala hal.

Suasana ini menjadi tidak tertahankan, dan akhirnya pecahlah insiden kamar mandi yang terkenal itu. Kebiasaan Soekarno menyanyi keras-keras jika lagi mandi membuat Sjahrir marah. Begitulah, tatkala menyanyikkan lagu kesayangannya, terjadilah apa yang kemudian terjadi.

One day when we were young
One day in beautiful may
We kiss ….

Soekano demikian semangat menyanyikan lagu itu, sampai kemudian dia berhenti mendadak ketika mendengar Sjahrir berteriak: “Houd Je mound” ( artinya, shut your mouth atawa tutup mulutmu).

Haji Agussalim yang ikut mendengar kata-kata Sjahrir itu ikut terkejut. Betapapun, Soekarno 9 tahun lebih tua dari Sjahrir, dan dalam etika timur jelas sulit dimengerti ucapan Sjahrir. Bertahun-tahun kemudian, setelah Haji Agussalim membuka rahasia peristiwa itu secara terbatas, tetap masih tidak bisa memahami mengapa sampai terjadi begitu. Haji Agussalim sendiri pernah berpolemik dengan Bung Karno dalam surat kabar Pemandangan tentang asas nasionalisme dan Islam . Malahan, Soekarno yang lebih muda 15 tahun dari Salim, memanggil seniornya di dunia gerakan itu dengan panggilan “Saudara Salim” dalam sebuah artikel yang argumentatif, tetapi penuh insinuasi.

Setelah peristiwa itu, hubungan Soekarno dengan Sjahrir menjadi tegang. Apalagi, ketika pemerintah Belanda bermaksud mendatangkan Sjahrir ke Jakarta untuk membuka kemungkinan berunding, Sjahrir menerimanya tanpa meminta persetujuan Soekarno. Sjahrir akhirnya kembali ke Jakarta dan menghirup udara bebas, dan Soekarno mengomentari kejadian itu dengan mengatakan,”Bagaimanapun aku masih seorang presiden. Bagiku ia tidak setia.”

Di tahun 1946, wartawan AS Arnold Brackman sempat dibuat terkejut, ketika dia diajak Sjahrir ke Gedung Agung Jogjakarta untuk bertemu Soekarno karena Arnold ingin mewawancarai Soekarno. Sebelum wawancara dimulai, Sjahrir masuk ke sebuah kamar, dan kemudian keluar bersama orang yang tubuhnya jauh lebih gagah dibanding dirinya, memiliki suara bariton yang khas, dan rambut pada bagian depan kepalanya mulai menipis. Arnold belum tahu kalau itu Soekarno. Dalam situasi yang sangat personal seperti itu, Sjahrir konon memanggil Bung karno sama dengan cara Bung Hatta memanggilnya, yaitu Karno atau kadang no saja. Tetapi yang membuat Arnold bener-bener terkejut adalah ketika keduanya tiba-tiba bicara dengan nada menegang, mendekati saling bentak. Setelah wawancara selesai, Sjahrir menceritakan bahwa dia baru saja berdebat dengan Soekarno soal “Front Bekasi” yang membara. Sjahrir meyakinkan Soekarno bahwa pertempuran yang terjadi di Front Bekasi akan memperkuat kedudukan republik dalam sengketa melawan Belanda. Sebaliknya Soekarno meragukan pandangan semacam itu.

Di awal tahun 1960-an, Arnold Bracman kembali ke Indonesia dan datang menemui Sjahrir. Saat itu, Sjahrir sudah memperkirakan bahwa Soekarno akan makin sulit mengendalikan orang-orang komunis. Sjahrir yang sudah diamati terus gerak-geriknya, akhirnya didatangi Soebandrio, orang yang dulunya tak lain adalah salah satu “anak didik” Sjahrir di PSI, tetapi kemudian berbelok dan menjadi orang kepercayaan Soekarno, bahkan diberi kepercayaan memimpin lembaga intelijen BPI. Dalam pertemuan itu, Soebandrio menawarkan sesuatu kepada Sjahrir, sebuah tawaran yang sebenarnya berasal dari Soekarno. Tetapi Sjahrir tidak merespon kesungguhan Soebandrio. Sjahrir malah hanya terkekeh sambil berkata… “Sudahlah Ban … ”

Soekarno konon marah besar mendengar respon Sjahrir itu. Dan dengan alasan yang dibuat-buat, yaitu dengan mengatakan bahwa Sjahrir dan beberapa orang merencanakan tindakan makar, maka Sjahrir dibawa ke Rumah Tahanan di Madiun. Padahal, yang disebut pertemuan merencanakan makar itu tak lebih hanyalah ketika Sjahrir dan beberapa orang bertemu di Gianyar untuk menghadiri ngaben dalam rangka pemakaman Raja Gianyar, orangtua mantan Mendagri Dr Ide Anak Agung Gde Agung.

Ketika Sjahrir jatuh sakit, dan beberapa kali jatuh selama di tahanan karena stroke-nya, Soekarno akhirnya dengan alasan kemanusiaan mengijinkan Sjahrir berobat ke Zurich, Swiss. Pengobatan itu tidak berhasil dan akhirnya Sjahrir wafat di Zurich.

Soekarno yang mendengar kematian Sjahrir, tanpa menunggu masukan dari siapapun, langsung mengelkuarkan surat keputusan presiden yang menyatakan bahwa Sjahrir adalah pahlawan nasional, dan dia berhak mendapatkan pemakaman kenegaraan secara militer pada bulan April 1966. Pemakaman itu sendiri menjadi snagat bersejarah, dan membuktikan betapa besarnya karakter Sjahrir. Hampir satu juta rakyat Jakarta turun ke jalan mengiringi jenazahnya. Ketika jenazah tiba di Kalibata, rombongan terakhir pengantar jenazah masih mengular di sekitar bundaran HI.

Pidato Bung Hatta di pemakaman Sjahrir begitu “menggetarkan” … sebuah pidato yang mengritik kelaliman Soekarno. Hanya saja, kali ini Soekarno tidak bisa berbuat apa-apa, karena sebulan sebelum pidato Hatta, Soekarno praktis tidak lagi mengendalikan keadaan, karena telah memberikan Super Semar kepada Jenderal Soeharto untuk memulihkan keamanan dan ketertiban menyusul pecahnya G 30 S/PKI.

Jadi, kita bisa melihat kembali peristiwa-peristiwa ini untuk “mengukur” apa sesungguhnya yang dimaui oleh SBY, yang JK sendiri mengaku tidak tahu.

Apakah SBY akan mengangkat JK menjadi penasehat presiden?

Mengapa SBY seolah digerakkan oleh semacam “projection of fear” hingga melakukan keputusan-keputusan yang terasa “berlebihan” dalam rangka kepresidenannya yang kedua.

Bukankah belum lama PD ngebet menggandeng PDIP dan Golkar dengan alasan agar terbentuk pemerintahan yang kuat?

Mengapa takut banget sama oposisi yak!

Saya sendiri berdoa, moga Pak Kalla bisa menjalani hari-harinya dengan sehat walafiat setelah usai jadi wapres.

Biarlah padaeng kita ini berkhidmat di dunia sosial, menikmati hari-hari bersama keluarganya, menjadi “penasehat bisnis” bagi anak-anak dan para mitra bisnisnya, dan tidak diganggu-ganggu oleh jabatan publik yang nggak jelas.

Siapa tahu Pak Kalla baca tulisan gue ini.

( berfantasi dikit boleh kan … he he he …)

Segitu saja.

Salam hangat,
credit to Hadiwin

Produser Program OASIS Metrotv, Mantan Ketum HMI Cabang Jember

2 thoughts on “JK: Saya Tak Tahu Apa yang Dimaksud Presiden”

  1. Wahyu Minarno comment on facebook : Mungkin karena JK memang masih sangat dibutuhkan di saat SBY mengalami banyak persoalan kebangsaan. Bukankah saling membantu itu baik menurut agama juga menurut politik… untuk maksud SBY, sebenarnya saya juga bingung dengan BAPAK PRESIDEN kita yang juga seorang Doktor tersebut… yang pasti, kalau saya dianggap rakyat yang punya hak menuntut, LAPINDO ITU CEPAT DISELESAIKAN…!!!!!

  2. Nasrudien Dahlan comment on facebook : itu……PR di REPOBLIK INDONESIA tercinta harus dipikirkan oleh pemimpin2 yg bijak menanggapi kapan terselesai…!!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *