Menjadi Guru

Jikalau saya ditanya profesi apa yang sedang menjulang akhir akhir ini, maka akan saya jawab: GURU. Jikalau saya ditanya lagi mengapa calon mahasiswa yang mendaftar ke LPTK menunjukkan perkembangan signifikan, maka akan saya jawab mungkin sebagian besar ingin menjadi guru. Profesi guru (negeri) telah menarik sebagian perhatian dari kita, entah itu mahasiswa calon guru alias yang berkuliah di LPTK, guru swasta, guru sukwan, dan terlebih lebih guru PNS. Saat ini menjadi guru negeri yang diangkat oleh pemerintah dianggap cukup menjanjikan bagi penopang kehidupan di masa datang, maka tak heran jika setiap pendaftaran calon guru negeri selalu membludak melebihi formasi yang ditawarkan.

Tak dapat dipungkiri, pasca reformasi profesi guru lambat laun mendapat tempat terhormat di masyarakat setelah sekian lama profesi ini selalu kalah dengan profesi profesi klasik yang masih populer semisal dokter, insinyur, dan pilot. Berprofesi guru (negeri) menjadi perbincangan seksi, tidak kampungan, berwibawa, tidak memalukan, dan menjanjikan bagi pegangan masa depan kelak. Ada benarnya apa yang pernah dinyatakan Eko Prasetyo dalam bukunya Guru: Mendidik Itu Melawan (2006:159) bahwa “UU Guru No. 14 Tahun 2005 telah menjadi tonggak dasar penempatan dan reposisi guru di mata negara. Ikhtiar untuk munculnya guru yang profesional, cakap dan mampu memenuhi tujuan dasar pendidikan dirintis melalui pemberlakuan sejumlah pasal pasal pokok dan perlu”.

Ya, dengan adanya Undang Undang Guru menjadikan profesi ini mendapat perlakukan dan jaminan yang dilindungi oleh negara dengan segala resiko dan konsekwensi yang akan diterimanya. Tentu tak sembarangan untuk mendapatkan jaminan dari negara yang berkorelasi langsung dengan kesejahteraan, ia memerlukan syarat syarat kecakapan dan kompetensi yang dperlukan untuk hal itu, kita mengenalnya sebagai SERTIFIKASI. Sertifikasi adalah buah bibir bagi para guru, ia semacam mimpi yang akan terlihat nyata di keesokan hari, terlepas dari segala kontroversi yang dituduhkan sebagian pengamat pendidikan. Ia semacam remunerasi bagi para guru berkompeten.

Sertifikasi-bagi guru negeri-dan impassing-bagi guru swasta-menjadi mantra ampuh bagi sebagian besar guru agar bersungguh sungguh dalam menjalankan tugas pokok dan fungsinya. Para guru dilecut kemampuan dan kompetensinya agar ia benar benar berfungsi layaknya seorang “guru”, digugu dan ditiru. Walaupun seperti kata J Drost, seorang pengamat dan praktisi pendidikan, mengatakan bahwa sekarang ini di Indonesia tidak ada guru yang memenuhi syarat sebagai guru. Tentu, bukan tanpa alasan ia mengatakan hal ini, mininal ia mengamati fenomena perkembangan pendidikan belakangan ini yang mungkin menurutnya-meminjam judul buku Darmaningtyas-pendidikan rusak rusakan. Yang jelas, konsepsi sertifikasi adalah sebentuk kemajuan dari pemerintah yang telah memperhatikan nasib para guru yang pada masa orde baru selalu menjadi alat negara dan distigmatisasi sebagai profesi yang tidak populer dan buram di masa depan.

Menjadi guru saat ini berarti menjadi priyayi modern masa kontemporer, walaupun memang tak sehebat dan tak sehormat pada masa kolonial Belanda. Menjadi guru masa kolonial adalah pertanda baik mencapai kesejahteraan dan menjadi orang terpandang di lingkungan masyarakatnya. Penjajahan mungkin buruk dari segi ketakmerdekaan, tetapi mungkin baik untuk segi yang ini.

Almarhum sastrawan Umar Kayam dengan sangat bagus dalam novelnya yang terkenal, Para Priyayi (2001:29) melukiskan perjalanan seorang pribumi anak petani yang melakukan mobilitas vertikal menjadi seorang guru. “Hari itu saya, Soedarsono, anak tunggal Mas Atmokasan, petani Desa Kedungsimo, pulang dari Madiun dengan berhasil mengantongi beslit guru bantu di Ploso. Guru bantu. Itu berarti sayalah orang pertama dalam keluarga besar kami yang berhasil menjadi priyayi, meskipun priyayi yang paling rendah tingkatnya. Itu tidak mengapa. Yang penting kaki saya sudah melangkah masuk jenjang priyayi. Beberapa tahun lagi, kalau saya rajin dan setia pada gupermen, saya akan menjadi guru penuh sekolah desa. Itu akan lebih memantapkan kedudukan saya sebagai priyayi, sebagai abdi gupermen. Dan kalau saya sudah menjadi mantri guru, wah, itu sudah boleh dikatakan menjadi priyayi yang terpandang”. Begitu terhormatnya sosok guru di masa kolonial.

Tak mengherankan jika guru pada masa kolonial masuk menjadi golongan priyayi mobilitas vertikal. Sejak masuk di Kweekschool-di Indonesia pertama kali berdiri pada 1852-gedungnya cukup mewah, tersedia internat dan perpustakaan cukup baik untuk kala itu. Dan secara ekonomis, seperti yang ditulis oleh Mochtar Buchori dalam bukunya Evolusi Pendidikan di Indonesia, menjadi guru kala itu cukup memadai pada jamannya. “Guru yang diangkat Pemerintah Hindia Belanda mendapat gaji permulaan sebesar f 70 (tujuh puluh florins atau guldens). Sedangkan mereka yang bekerja di sekolah sekolah swasta pada umumnya mendapat gaji sekitar f 45 guldens (Mochtar Buchori, 2007:22).

Masa masa kepopuleran profesi guru berangsur pudar setelah Indonesia merdeka. Negara yang baru saja lepas dari penjajahan sibuk dengan-Muchtar Buchori menyebut periode 1945 sampai 1949-rehabilitasi sistem, 1950-1965 ekspansi sistem, dan 1966-1998 sebagai periode modernisasi, rasionalisasi, dan ambivalensi, tanpa memperhatikan secara serius betul terhadap nasib para pendidik yang menjadi corong terdepan dalam transfer ilmu pengetahuan dan pemahaman moralitas terhadap anak didik. Pada masa masa itu perannya diperlemah-di ninabobokan dalam tagline pahlawan tanpa tanda jasa dan peran politiknya dikebiri-dan tak banyak yang mau menjadi guru dalam arti yang sesungguhnya, Bu Muslimah dan Pak Harfan dalam Laskar Pelangi mungkin sebuah pengecualian.

Pada awalnya, ihwal menjadi guru adalah berani menderita dan sepenuh penuhnya berkhidmat untuk moralitas dan ilmu pengetahuan, tetapi secara manusiawi ia butuh penghargaan dan penghidupan yang layak agar ia bisa berdiri tegak di hadapan anak anak didiknya. Tentu sebuah ironi jika seorang guru tak cakap dan kompeten dalam meng up grade kemampuannya hanya karena terkendala biaya sementara anak didiknya sudah melangkah jauh didepannya hanya karena ia orang yang berada dan mendapat fasilitas wah dari orang tuanya. Untuk menjadi guru yang baik, tulis Muchtar Buchori, disamping profesionalisme  juga diperlukan kedamaian dengan dirinya sendiri. Barangkali ini salah satu esensi dari kultur keguruan.

Sebagai penutup ada baiknya dicamkan parafrase dari seorang sastrawan Indonesia nomor wahid, Pramoedya Ananta Toer, dalam novel tipisnya Bukan Pasar Malam tentang seorang guru. “Seorang guru adalah kurban, kurban untuk selama lamanya. Dan kewajibannya terlampau berat, membuka sumber kebajikan yang tersembunyi dalam tubuh anak anak bangsa”.

Asep Dudinovar, HMI ers Korkom UPI 2001-2005

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *