Sep 242009
 

Posting ini di sadur dari proposal “HMI ON THE MOVE” HMI Cabang Jember Komisariat Sastra yang disusun tanggal 5 februari 2006 yang saya rasa masih relevan dengan kondisi perkaderan HMI komisariat-komisariat lain.

Bismillahirrahmanirrahiim

Dengan Nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maka Penyayang.

Dengan segenap rasa sukur ke hadirat Allah SWT,  kami menyusun proposal ini, untuk mewujudkan sebagain dari tugas sejarah yang dibebankan kepada kami, terutama sebagai pribadi yang pernah aktif dan menjalani perkaderan di HMI.

I. TRADISI DAN WARISAN PERKADERAN SEBAGAI IDE DASAR

Perkaderan merupakan inti utama kekuatan HMI yang hari ini menggenapkan usianya yang ke-62. Perkaderan bukanlah semata-mata proses pewarisan tradisi dan sejarah HMI, tetapi juga merupakan cara HMI merespon, mengadaptasi, dan mengambil peranan yang disediakan oleh sejarah. HMI hidup mati bersama sejarah bangsa Indonesia dan umat Islam Indonesia.

Perkaderan, pada skala ruang lingkup sosial yang lebih kecil, mengemuka dalam berbagai entitas. Salah satu entitas yang terpenting diantaranya adalah pembentukan komunitas (community building). Di era dimana peranan teknologi yang berkembang pesat dan semakin mempermudah cara hidup manusia, proses pengorganisasian sosial dalam kehidupan manusia seringkali justeru tertinggal.

Atomisme, individualisme, anti-sosial, kehilangan makna, dan menguapnya dimensi-dimensi spiritual dari kehidupan, untuk sebagian merupakan akibat yang sulit dihindari dari berkembangnya teknologi, yang telah merambah ke segala sudut kehidupan manusia, dan secara tidak sadar menjadi ancaman baru bagi kebebasan manusia.

Teknologi, betapapun, harus bertujuan melayani hidup yang semakin berkualitas, dan mempertinggi tanggungjawab sosial-kemanusiaan. Dalam scope perkaderan, teknologi berarti mempertinggi kesanggupan kader, untuk mengartikulasikan tujuan-tujuan HMI, memperluas wilayah perwujudannya, yang secara kreatif dibuat untuk mengembangkan tradisi-tradisi baru yang positif, terutama dalam menghadapi berbagai persoalan-persoalan aktual yang dimunculkan oleh kemajuan.

Akhirnya, Islam baik sebagai agama, way of life, maupun guiding principles, merupakan sumber yang tiada habis-habisnya memberi petunjuk, inspirasi, dan koreksi, bagi HMI, dalam menempuh perjalanan yang panjang untuk menunaikan tugas sejarahnya.

HMI Komisariat adalah wahana perkaderan yang memiliki arti strategis, untuk selalu berada sejalan dengan perkembangan kemajuan, baik pada tingkatan sosial maupun kebudayaan. Justeru karena posisi Komisariat yang langsung berada di garda terdepan kehidupan mahasiswa, maka Komisariat pada hakekatnya berada di tengah arus sejarah kemajuan masyarakat.

II. PERKADERAN DAN TANTANGAN EKSTERNAL YANG BERSIFAT KONTEMPORER

Perkaderan, karena sifatnya sebagai aktivitas yang hidup, berkelanjutan, dan berkembang sejalan dengan kondisi aktual dalam masyarakat, dengan sendirinya juga akan menghadapi tantangan-tantangan aktual. Tantangan perkaderan paling aktual dewasa ini antara lain terdiri dari: globalisasi, determinsime teknologi, rasionalitas ekonomi dan pengorganisasian masyarakat, kontestasi kebudayaan di berbagai arena.

A. Globalisasi

Pada hakekatnya globalisasi merupakan tahapan lebih jauh dari perkembangan kapitalisme, yang tidak lagi bisa terbendung atau terbatasi oleh kekuatan apapun, termasuk negara. Globalisasi telah merubah konsep ruang dan waktu, sebagaimana dewasa ini tercermin dalam arus perpindahan segala bentuk kapital—seperti uang, benda-benda, kebudayaan, teknologi, dan informasi—yang berlangsung dalam skala kecepatan yang begitu tinggi, dan menembus semua batas ruang sosial maupun pribadi. Globalisasi merupakan daya utama penggerak perubahan masyarakat, bersifat tidak terelakkan dan tak mungkin dihindari. Karena itu, sisi positif dari globalisasi merupakan bagian yang bisa dimanfaatkan dalam rangka mendorong berlangsungnya perubahan-perubahan positif dalam berbagai satuan sosial, mulai dari individu, keluarga, komunitas, masyarakat, maupun negara.

B. Determinisme Teknologi

Detreminisme teknologi merupakan resultan dari perkembangan masyarakat industri (industrial society) yang secara bertahap telah berhasil menggantikan peranan masyarakat tradisonal (traditional society) sebagai lokus utama bagi perkembangan peradaban manusia. Determinisme teknologi—terutama dalam dunia yang tengah terintegrasi sepenuhnya melalui teknologi informasi—pada akhirnya menghadirkan rasionalitas teknologi dalam kehidupan masyarakat. Teknologi telah berkembang bukan saja sebagai instrumen dalam kehidupan sehari-hari, tetapi juga membentuk suatu jenis kesadaran baru, dimana perkembangan dunia sosial dan dunia personal tidak mungkin lagi menutup diri dari pengaruh teknologi. Teknologi pada bentuknya yang asli adalah sesuatu yang netral, tetapi dalam dunia sosial, teknologi bisa berarti membebaskan manusia dengan memberi daya kemampuan yang tinggi dalam menghadapai dan mengelola berbagai persoalan. Di sisi lain, teknologi dengan sifat rasional, impersonal, dan dehumanistik yang dikandungnya, juga merupakan ancaman potensial bagi kebebasan manusia, terutama jika sikap terhadap teknologi bersifat eksploitatif.

Daya jangkau teknologi yang demikian luas, dibarengi kemampuan teknologi dalam mendorong terjadinya perubahan sosial, menciptakan fenomena “atomisme” atau individualisme dalam kehidupan masyarakat. Hal terpenting dari menguatnya individualisme—baik sebagai sebab maupun akibat dalam kaitannya dengan teknologi—telah mendorong lahirnya berbagai bentuk “solidaritas baru” untuk mempertahankan tegaknya suatu masyarakat. Ini terkait dengan fakta bahwa atomisme dalam dunia sosial menghasilkan ruang kebebasan pada tingkat individual, namun melemahkan sumber-sumber utama pembentuk solidaritas dan integrasi dalam masyarakat, seperti tradisi, ikatan-ikatan primordial, maupun ikatan-ikatan emosional. Salah satu bentuk solidaritas baru yang muncul akibat menguatnya peranan teknologi itu adalah berkembangnya pembagian kerja atau division of labor. Betapapun, pembagian kerja merupakan tuntutan yang tak terelakkan, dan merupakan salah satu sumber pembentukan solidaritas, yang berguna untuk mendukung terbinanya keutuhan masyarakat.

C. Rasionalitas Ekonomi dan Pengorganisasian Masyarakat

Rasionalitas ekonomi dan pengorganisasian masyarakat merupakan dua sisi dari satu keping mata uang yang sama dalam masyarakat modern. Motif, dorongan, dan kepentingan ekonomi merupakan mesin utama yang menggerakkan masyarakat. Rasionalitas ekonomi membentuk kesadaran kalkulatif, memperkuat pola hubungan kontraktual, mempertinggi kemampuan mengelola resiko, memperkuat orientasi mengejar keuntungan, memperbesar akumulasi aset, memperluas kegiatan investasi, dan mempertinggi kecakapan mengelola produksi. Rasionalitas ekonomi akhirnya berujung kepada penguatan peranan pasar. Rasionalitas ekonomi menjadikan pasar bukan saja sebagai institusi ekonomi, tetapi juga institusi sosial, politik, dan kebudayaan.

Institusi pasar, pada akhirnya, sangat berpengaruh dalam pembentukan corporate society, yaitu suatu masyarakat yang sumber-sumber ikatannya terbentuk atau berasal dari norma-norma institusi pasar, yang berbasis dari rasionalitas ekonomi. Corporate society—yang kehadirannya bisa dibedakan dari institusi state dan civil society—menghasilkan suatu solidaritas organik, yaitu solidaritas yang digerakkan oleh dorongan-dorongan organisasional yang bersifat ekonomis, teknologis, dan meninggalkan ikatan-ikatan tradisional yang berbasis ikatan kekeluargaan yang mengutamakan kegotong-royongan.

D. Kontestasi Kebudayaan

Kontestasi kebudayaan—terutama sebagai konsekuensi dari globalisasi, determinisme teknologi, dan rasionalitas ekonomi—pada hakekatnya terlahir sebagai sesuatu yang tak terhindarkan, dan berlangsung dalam arena yang luas. Kontestasi kebudayaan timbul bukan saja karena norma-norma persaingan bebas dalam rasionalitas ekonomi turut berpengaruh dalam pengorganisasian masyarakat, tetapi juga didorong oleh keinginan untuk memenangkan suatu bentuk kebudayaan tertentu yang mampu menjamin “pelembagaan kemenangan” masyarakat modern atas berbagai jenis masyarakat lainnya yang tersisa.

Kontestasi kebudayaan, karena itu, seringkali ditingkatkan menjadi benturan kebudayaan, terutama karena terpicu oleh kenyataan bahwa dunia modern a la Barat dengan segenap kebudayaan yang dimilikinya, tidak bisa menerima kenyataan adanya berbagai jenis dunia kultural non-Barat, yang mampu bertahan hidup tanpa harus tergantung kepada Barat.

III. HMI DAN EVOLUSI CITA-CITA KEMASYARAKATAN

Salah satu aspek menarik dalam sejarah perjalanan HMI adalah terkandungnya sejumlah cita-cita sosial kemasyarakatan, yang merekam perjumpaan HMI dengan berbagai peristiwa penting, di berbagai era yang dilaluinya. Artikulasi cita-cita kemasyarakatan itu terekam dari sejarah perkaderan HMI yang mengusung cita ideal (das sollen) baik pada tataran individu, maupun pada tataran community dan society. Dimensi perkaderan dalam wilayah pembentukan karakter dan pembentukan komunitas merupakan proses yang terjadi pada wilayah anggota HMI. Sedangkan dimensi perkaderan dalam wilayah kealumnian lebih menyentuh ke berbagai wilayah societal, yaitu wilayah-wilayah masyarakat yang terkait dengan fungsi-fungsi kelembagaan yang luas dan menyebar dalam masyarakat, baik di lapangan politik, ekonomi, maupun sosial-kebudayaan. Tujuan HMI merekam dengan baik seluruh rangkaian proses simultan ini, dengan mengartikulasikannya ke dalam kalimat sederhana, namun bersifat operasional dan kaya makna: “Terbinanya insan akademis, pencipta, pengabdi, yang bernafaskan Islam dan bertanggungjawab atas terbentuknya masyarakat adil makmur yang diridhoi Allah SWT.”

Cita-cita kemasyarakatan ini juga mencerminkan pengaruh kuat dari dua bentuk masyarakat yang bersifat inheren dan saling mempengaruhi dalam sejarah perkembangan HMI. Keduanya adalah Masyarakat Islam (Islamic society) dan masyarakat modern (modern society). Masyarakat Islam adalah masyarakat yang berlandaskan moral, proaktif terhadap toleransi, perdamaian, dan kemakmuran, mendukung prinsip-prinsip inklusifitas (dengan merangkul semua manusia tanpa membedakan latar belakang suku dan golongan ke dalam Islam), mendukung ide-ide kemajuan, dan terbangun di bawah kedaulatan Tuhan (Islamic society is a society which is moral-based, proactive for tolerance, peace and prosperity, supporting the principles of inclusion, ideas of progress, and guided by the God sovereignty).

Pada sisi yang bersebelahan, HMI juga berkaitan dengan cita-cita yang berbasis dari dinamika masyarakat modern, yang terdefinisikan sebagai sebuah masyarakat rasional yang berbasis teknologi dan ekonomi, mendukung tegaknya kesederajatan, kemakmuran, dan stabilitas, proaktif terhadap ide-ide sekular dan ide-ide kemajuan, dan menyatukan berbagai keragaman dalam ikatan keadaban (modern society is a society which is based on technology and economy, promoting equality-prosperity-stability, and proactive upon secular ideas and ideas of progress, and uniting diversity within the bond of civility).

Dalam konteks kenegaraan, cita-cita sosial kemasyarakatan HMI juga sejalan dengan cita-cita nasional kemerdekaan Indonesia, yaitu terwujudnya masyarakat adil-makmur berdasarkan Pancasila.

Berbagai cita-cita sosial kemasyarakatan yang hidup dan menghidupi, serta menggerakkan sejarah perjalanan HMI itu, pada sejumlah momentum terlihat menampilkan ekspresi terkuatnya, namun pada momentum yang lain, tersaput oleh perilaku-perilaku penyimpangan, yang digerakkan oleh kepentingan-kepentingan jangka pendek dan tidak prinsipil. Meski demikian, sebagai sesuatu yang genuine, cita-cita sosial kemasyarakatan HMI itu sesungguhnya tidak pernah mati.

You must log in to post a comment.