May 262011
 

Berbincang mengenai sejarah, tidak terlepas dari pertanyaan 5W 1H terhadap suatu kejadian, yaitu apa, dimana, kapan, mengapa, siapa, dan bagaimana. Namun kejadian itu tidak sepenuhnya bisa ditulis atau diceritakan sesuai dengan kenyataan secara utuh. Cerita terhadap suatu kejadian di masa lampau harus dipahami sebagai penafsiran ulang terhadap kejadian, bukannya kejadian itu sendiri. Harus diakui pula adanya keterbatasan informasi ataupun pandangan subjektivitas dari penulis sejarah, sehingga mengharuskan para pembaca sejarah untuk selalu bersikap kritis sekaligus memperkaya diri dengan bacaan dari penulis sejarah lainnya. Hal inilah yang perlu saya tekankan sebelum mempelajari sejarah HMI. Adapun tulisan ini dimaksudkan sebagai pemantik untuk mendiskusikan kembali sejarah HMI.

Sejarah Kelahiran HMI
Pada hari Rabu, 14 rabiulawwal 1366 H atau bertepatan dengan 5 Februari 1947 pada pukul 16.00 WIB di salah satu ruang kelas Sekolah Tinggi Islam (STI), seorang mahasiswa bernama Lafran Pane mendeklarasikan pendirian organisasi mahasiswa Islam. Dia berdiri di depan teman-temannya pada salah satu kelas tafsir Alqur’an yang diampu Prof Husein Yahya guna membacakan deklarasi pendirian organisasi tersebut. Sejak saat itu, berdirilah organisasi mahasiswa Islam pertama di Indonesia yang bernama Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) yang turut serta mewarnai dinamika pemikiran Islam dan politik bangsa Indonesia.
Motivasi pendirian HMI, sebagaimana disampaikan oleh Lafran Pane, adalah “… sebagai alat untuk mengajak mahasiswa-mahasiswa mempelajari, mendalami ajaran Islam agar mereka kelak sebagai calon sarjana, tokoh masyarakat maupun negarawan, terdapat keseimbangan tugas dunia akhirat, akal dan kalbu, iman dan ilmu pengetahuan, yang sekarang ini keadaan kemahasiswaan di Indonesia diancam krisis keseimbangan yang sangat membahayakan, karena sistem pendidikan Barat. Islam harus dikembangkan dan disebarluaskan di kalangan masyarakat mahasiswa di luar STI. Apalagi PMY secara tegas menyatakan berdasarkan non agama …” (Saleh, 1996) .
Beberapa mantan tokoh HMI, di antaranya Agus Salim Sitompul, merumuskan latar belakang berdirinya HMI. Sitompul berpendapat bahwa berdirinya HMI terkait erat dengan realitas perguruan tinggi, kebangsaan, dan keummatan saat itu. Realitas perguruan tinggi ditandai dengan mendominasinya pendidikan barat yang bercorak sekuler. Lalu, realitas kebangsaan tampak pada upaya penjajah yang ingin kembali menancapkan kekuasaannya di tanah air. Terakhir, pelaksanaan ajaran agama yang masih dikesampingkan merupakan realitas keummatan saat itu.
Perjalanan HMI Pra 1980-an
Di masa awal berdirinya, HMI langsung bersentuhan dengan dinamika kebangsaan, yakni turut andil dalam melawan penjajah. Kalau dicermati, tujuan HMI di awal berdirinya memang mendukung langkah tersebut, yakni 1) mempertahankan negara RI dan mempertinggi derajat rakyat Indonesia, serta 2) menegakkan dan mengembangkan agama Islam. Banyak aktivis HMI yang ikut mengangkat senjata dan akhirnya memperoleh pangkat militer, di antaranya Ahmad Tirtosudiro dan Dahlan Ranuwihardjo. HMI juga ikut terlibat dalam upaya melawan PKI, baik melalui aksi militer maupun propaganda kepada masyarakat agar tidak terpengaruh oleh hasutan PKI. Karena keterlibatan tersebut, manajemen internal organisasi banyak terabaikan.
Pembenahan internal dimulai di awal 1950-an ketika Dahlan Ranuwihardjo menjadi Ketua Umum. Beberapa cabang baru bisa didirikan, seperti Cabang Jakarta, Cabang Bandung, Cabang Surabaya, dan Cabang Bogor. Namun tantangan HMI justru bertambah berat. Pada era 1953-1954, mulai didirikan beberapa organisasi mahasiswa underbouw partai politik, seperti GMNI (PNI) dan CGMI (PKI). Praktis, kedua organisasi ini berbeda dengan HMI dalam hal independensi dan ideologi. HMI bersikap independen dan terbuka terhadap berbagai pemikiran, sehingga tidak menjadi underbouw partai tertentu. Meskpun tetap saja muncul pandangan bahwa HMI merupakan underbouw Masyumi, salah satu partai politik saat itu. Kebencian PKI terhadap Masyumi karena dianggap sebagai penghalang revolusi, juga berimbas pada HMI. PKI, melalui CGMI, berusaha “mengganyang” HMI dengan berbagai cara. Bahkan, setelah Masyumi dibubarkan karena dianggap kontra-revolusi, PKI memiliki alasan yang kuat untuk memprovokasi Bung Karno agar HMI juga diubarkan karena organisasi ini dianggap sebagai underbouw Masyumi. Beruntunglah HMI tidak jadi dibubarkan.
Setelah aksi G 30 S yang mengalami kegagalan, PKI akhirnya mengalami kemunduran. PKI berubah menjadi sasaran kebencian dari berbagai kelompok. Pada 25 Oktober 1965, berdiri KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) yang bertujuan untuk mengorganisasi seluruh kelompok mahasiswa untuk melawan PKI. Di KAMI, HMI memiliki peran penting karena ide pembentukan organisasi ini memang berasal dari HMI. “Pembersihan” PKI secara militer juga melibatkan aktivis HMI. Pada masa tersebut, aktivis HMI kembali mengangkat senjata untuk “membersihkan” PKI sampai ke akar-akarnya. Keterlibatan HMI dalam “pembersihan” PKI berdampak pada citra positif HMI di mata masyarakat. Dampak lanjutannya, jumlah kader meningkat sangat signifikan.
Ketika memasuki era 1970-an, perkaderan HMI makin massif. Sistem perkaderan pun dibenahi agar lebih sistematis dan pada masa Nurcholis Madjid menjabat sebagai Ketua PB, dihasilkan dokumen Nilai Dasar Perjuangan (NDP) yang menjadi pedoman perkaderan HMI. Boleh dibilang, HMI secara organisasional, tidak banyak melibatkan diri dalam berbagai pergolakan mahasiswa, seperti pada Malari 1974 . Ketidakpuasan kelompok mahasiswa terhadap kebijakan ekonomi rezim Soeharto yang sangat kapitalistik mendasari berbagai aksi demonstrasi di era ini. Soeharto menanggapi aksi tersebut dengan bertindak keras, biasanya dengan menurunkan aparat militer untuk membubarkan aksi demonstran. Bahkan, rezim menerapkan NKK/BKK untuk membungkam gerakan mahasiswa. Satu hal yang tidak bisa dikesampingkan di era ini adalah banyaknya alumni HMI yang ditarik masuk ke pemerintahan , baik di eksekutif maupun legislatif.
Keterlibatan alumni HMI di pemerintahan memang bisa menjadi salah satu indikator keberhasilan perkaderan. Namun ternyata menimbulkan konsekuensi lain, yakni dijadikannya alumni HMI sebagai kepanjangan tangan rezim untuk mempengaruhi kebijakan internal organisasi. Sebagai organisasi yang independen, HMI tentu tidak ingin dikooptasi oleh pihak luar, termasuk pemerintah. Namun kedekatan pengurus dengan alumni (yang tak lain adalah bagian dari pemerintah), dibarengi dengan tekanan, nyatanya tetap bisa mempengaruhi kebijakan internal organisasi. Salah satu contohnya adalah penerimaan HMI terhadap asas tunggal (astung) pancasila.
Sikap HMI terhadap pemerintah memang tidak bisa dilepaskan dari dinamika pemikiran yang berkembang di kalangan kader. Pemikiran Islam mulai bergeser dari modernisme ke pemikiran-pemikiran alternatif . Keberhasilan revolusi Islam di Iran ikut membangkitkan semangat para aktivis Islam, termasuk di Indonesia. Berbagai gerakan-gerakan Islam di Timur Tengah, seperti Ikhawanul Muslim dan Hizbut Tahrir juga memperluas pengaruhnya ke berbagai negara, termasuk Indonesia. Berbagai pemikiran dari tokoh-tokoh gerakan Islam tersebut dibaca dan didiskusikan oleh banyak aktivis HMI. Bahkan, pengaruhnya tidak hanya pada level pemikiran, tapi juga pada perilaku. Salah satu inti dari pemikiran alternatif tersebut adalah keyakinan bahwa Islam merupakan sistem paripurna yang bisa diterapkan dalam segala aspek kehidupan. Dominasi pemikiran alternatif di kalangan kader inilah yang menjadi salah satu latar belakangan penentangan HMI terhadap pemberlakuan astung pancasila.
Perjalanan HMI Tahun 1980-an dan Setelahnya
Pada Kongres ke 15 tahun 1983 di Medan, pemerintah berusaha mempengaruhi HMI agar menjadi organisasi pertama yang menerima astung, meskipun belum ditetapkan sebagai UU. Pemerintah menganggap bahwa bila HMI menerima astung, maka organisasi-organisasi lain juga akan mengikuti HMI. Namun dorongan pemerintah ini, lewat sejumlah alumni, tidak digubris oleh sebagian besar utusan cabang .
Setelah kongres 15 selesai dengan terpilihnya Harry Azhar Azis sebagai Ketua Formatur, pemerintah merasa kecolongan karena gagal mengganti asas HMI. Karena itu, pemerintah memberikan tekanan kepada pengurus PB terpilih agar pada kongres selanjutnya, astung bisa diterima. Setelah UU No.8 Tahun 1985 tentang Keormasan disahkan, maka tekanan kepada pengurus PB makin kuat. Pada rapat Majelis Pekerja Kongres dan Rapat Pleno PB pada April 1985, diputuskan penerimaan terhadap astung. Tentu saja, keputusan tersebut inkonstitusional karena pergantian asas hanya bisa dilakukan pada saat kongres. Beberapa cabang, terutama Cabang Yogyakarta, menyampaikan protes keras terhadap PB. Namun PB justru bertindak keras terhadap cabang-cabang yang menolak keputusan tersebut. Cabang-cabang yang menolak keputusan tersebut, kemudian membentuk suatu kelompok yang disebut “Majelis Penyelamat Organisasi”. Tujuan pembentukan kelompok ini adalah untuk melakukan komunikasi dengan PB dan MPK terkait kontroversi keputusan penerimaan astung, sekaligus ingin meluruskan jalannya kongres. Namun PB tidak mengindahkan kelompok ini.
Akhirnya, pada kongres ke 16 tahun 1986 di Padang, HMI mengesahkan penerimaan terhadap astung. Sebetulnya kongres ini dilaksanakan dengan berbagai siasat inkonstitusional. Cabang-cabang yang dianggap akan menolak penerimaan astung, tidak diikutkan dalam kongres. Setelah kongres selesai dengan terpilihnya dr.Saleh Khalid, maka cabang-cabang yang menolak astung akhirnya menunjuk Cabang Yogyakarta untuk mengadakan kongres pada tahun yang sama. Pada kongres tersebut, diputuskan untuk tetap mempertahankan asas Islam dan terpilih Eggi Sudjana sebagai Ketua PB.
Setelah kongres selesai, resmi pula adanya dua organisasi yang mengatasnamakan diri sebagai HMI. Namun dikemudian hari, nama HMI hasil kongres Padang sering disebut HMI Dipo , sedangkan HMI hasil kongres Yogyakarta lebih familiar dikenal dengan nama HMI (MPO) . Setelah perpecahan, kedua organisasi ini memilih jalan yang berbeda. HMI Dipo lebih dekat dengan pemerintah, sehingga lebih mapan baik secara organisasional maupun finansial. Adapun HMI(MPO) justru dicap sebagai organisasi ilegal dan kerap kali justru memperoleh tindakan represif dari pemerintah. Konsekuensinya, dalam melakukan aktivitas perkaderan dan perjuangan, HMI (MPO) harus sembunyi-sembunyi atau ada juga yang menyebutnya gerakan “bawah tanah”.
Setelah pecah, aktivis HMI (MPO) berusaha keras merumuskan pedoman organisasi, sebagaimana layaknya organisasi yang baru berdiri. Tentu yang paling mendesak dan perlu pemikiran mendalam adalah pedoman perkaderan HMI (MPO). Karakteristik aktivits HMI (MPO) yang pemikirannya banyak dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran Islam alternatif, berdampak pada pedoman perkaderan yang dihasilkan. Tidak lama kemudian, yakni pada Kongres 19 pada 1992 di Semarang, Pedoman Perkaderan HMI (MPO) atau disebut juga Khittah Perjuangan akhirnya disahkan.
Pada awal 1990-an sampai masa menjelang reformasi, aktivis HMI (MPO) turut andil dalam berbagai aksi demontrasi, meski tidak mengatasnamakan nama HMI (MPO). Strategi ini ditempuh dengan pertimbangan keamanan, sebab aparat pastinya akan bertindak represif bisa mendengar nama HMI. Untuk memberi wadah bagi aktivis HMI, maka dibentuklah berbagai lembaga kantong. Di Yogyakarta, lembaga kantong tersebut bernama LMMY (Liga Mahasiswa Muslim Yogyakarta), yang dibentuk oleh sejumlah aktivis, seperti Anies Baswedan, Elan Satriawan, Arbain Nurbawono, Lukman Hakim, Sunarto, dan beberapa aktivitis lainnya . Di kota lain, seperti Jakarta dan Makassar, juga dibentuk lembaga kantong yang sama, yaitu FKMIJ (Forum Komunikasi Mahasiswa Islam Jakarta) dan FKMIM (Forum Komunikasi Mahasiswa Islam Makassar). Ketiga lembaga kantong ini merupakan poros gerakan HMI (MPO) atau disebut juga poros Jakarta-Yogyakarta-Makassar. Sejumlah isu pernah diangkat di antaranya penolakan terhadap SDSB (Sumbangan Dana Sosial Berhadiah) . Meski dimulai dengan gerakan yang tidak terlalu massif di Yogyakarta, namun isu ini kemudian berkembang massif setelah diikuti dengan gerakan demonstrasi di tempat lain, seperti di Jakarta dan Makassar. Akhirnya, pemerintah menghentikan SDSB untuk memenuhi tuntutan mahasiswa.
Di masa menjelang reformasi, peran HMI (MPO) tentu tidak bisa dikesampingkan. Bersama dengan organisasi mahasiswa lainnya, baik intra maupun ekstra, HMI (MPO) turut serta dalam aksi demonstrasi menuntut turunnya Soeharto. Salah satu peristiwa penting di Yogyakarta, khususnya di UGM adalah ketika KM UGM, dimana kader HMI menjadi pengurus inti dan think-thank , melakukan referendum yang melibatkan sebagian besar mahasiswa UGM. Keputusan referendum, yang turut membentuk opini publik secara nasional, ternyata membuat gerah Soeharto, yakni 83% responden referendum menolak pencalonan kembali Soeharto sebagai presiden.
Di Jakarta, juga dilakukan aksi demonstrasi yang massif bersama dengan elemen gerakan mahasiswa lainnya. Bahkan aktivitis HMI (MPO) boleh dibilang menorehkan tinta emas, karena tercatat sebagai elemen gerakan yang pertama kali bertahan untuk “menduduki” Gedung DPR/MPR. Peristiwa ini tercatat sebagai momentum heroik dalam sejarah reformasi 1998. Selain di Jakarta dan Yogyakarta, tentu gerakan-gerakan mahasiswa di kota-kota lain tentu tak kalah heroiknya. []
(tulisan ini dipresentasikan dalam Basic Training HMI Komisariat Ekonomi UGM)
Berbincang mengenai sejarah, tidak terlepas dari pertanyaan 5W 1H terhadap suatu kejadian, yaitu apa, dimana, kapan, mengapa, siapa, dan bagaimana. Namun kejadian itu tidak sepenuhnya bisa ditulis atau diceritakan sesuai dengan kenyataan secara utuh. Cerita terhadap suatu kejadian di masa lampau harus dipahami sebagai penafsiran ulang terhadap kejadian, bukannya kejadian itu sendiri. Harus diakui pula adanya keterbatasan informasi ataupun pandangan subjektivitas dari penulis sejarah, sehingga mengharuskan para pembaca sejarah untuk selalu bersikap kritis sekaligus memperkaya diri dengan bacaan dari penulis sejarah lainnya. Hal inilah yang perlu saya tekankan sebelum mempelajari sejarah HMI. Adapun tulisan ini dimaksudkan sebagai pemantik untuk mendiskusikan kembali sejarah HMI.

Sejarah Kelahiran HMI

Pada hari Rabu, 14 rabiulawwal 1366 H atau bertepatan dengan 5 Februari 1947 pada pukul 16.00 WIB di salah satu ruang kelas Sekolah Tinggi Islam (STI), seorang mahasiswa bernama Lafran Pane mendeklarasikan pendirian organisasi mahasiswa Islam. Dia berdiri di depan teman-temannya pada salah satu kelas tafsir Alqur’an yang diampu Prof Husein Yahya guna membacakan deklarasi pendirian organisasi tersebut. Sejak saat itu, berdirilah organisasi mahasiswa Islam pertama di Indonesia yang bernama Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) yang turut serta mewarnai dinamika pemikiran Islam dan politik bangsa Indonesia.
Motivasi pendirian HMI, sebagaimana disampaikan oleh Lafran Pane, adalah “… sebagai alat untuk mengajak mahasiswa-mahasiswa mempelajari, mendalami ajaran Islam agar mereka kelak sebagai calon sarjana, tokoh masyarakat maupun negarawan, terdapat keseimbangan tugas dunia akhirat, akal dan kalbu, iman dan ilmu pengetahuan, yang sekarang ini keadaan kemahasiswaan di Indonesia diancam krisis keseimbangan yang sangat membahayakan, karena sistem pendidikan Barat. Islam harus dikembangkan dan disebarluaskan di kalangan masyarakat mahasiswa di luar STI. Apalagi PMY secara tegas menyatakan berdasarkan non agama …” (Saleh, 1996) .
Beberapa mantan tokoh HMI, di antaranya Agus Salim Sitompul, merumuskan latar belakang berdirinya HMI. Sitompul berpendapat bahwa berdirinya HMI terkait erat dengan realitas perguruan tinggi, kebangsaan, dan keummatan saat itu. Realitas perguruan tinggi ditandai dengan mendominasinya pendidikan barat yang bercorak sekuler. Lalu, realitas kebangsaan tampak pada upaya penjajah yang ingin kembali menancapkan kekuasaannya di tanah air. Terakhir, pelaksanaan ajaran agama yang masih dikesampingkan merupakan realitas keummatan saat itu.

Perjalanan HMI Pra 1980-an

Di masa awal berdirinya, HMI langsung bersentuhan dengan dinamika kebangsaan, yakni turut andil dalam melawan penjajah. Kalau dicermati, tujuan HMI di awal berdirinya memang mendukung langkah tersebut, yakni 1) mempertahankan negara RI dan mempertinggi derajat rakyat Indonesia, serta 2) menegakkan dan mengembangkan agama Islam. Banyak aktivis HMI yang ikut mengangkat senjata dan akhirnya memperoleh pangkat militer, di antaranya Ahmad Tirtosudiro dan Dahlan Ranuwihardjo. HMI juga ikut terlibat dalam upaya melawan PKI, baik melalui aksi militer maupun propaganda kepada masyarakat agar tidak terpengaruh oleh hasutan PKI. Karena keterlibatan tersebut, manajemen internal organisasi banyak terabaikan.
Pembenahan internal dimulai di awal 1950-an ketika Dahlan Ranuwihardjo menjadi Ketua Umum. Beberapa cabang baru bisa didirikan, seperti Cabang Jakarta, Cabang Bandung, Cabang Surabaya, dan Cabang Bogor. Namun tantangan HMI justru bertambah berat. Pada era 1953-1954, mulai didirikan beberapa organisasi mahasiswa underbouw partai politik, seperti GMNI (PNI) dan CGMI (PKI). Praktis, kedua organisasi ini berbeda dengan HMI dalam hal independensi dan ideologi. HMI bersikap independen dan terbuka terhadap berbagai pemikiran, sehingga tidak menjadi underbouw partai tertentu. Meskpun tetap saja muncul pandangan bahwa HMI merupakan underbouw Masyumi, salah satu partai politik saat itu. Kebencian PKI terhadap Masyumi karena dianggap sebagai penghalang revolusi, juga berimbas pada HMI. PKI, melalui CGMI, berusaha “mengganyang” HMI dengan berbagai cara. Bahkan, setelah Masyumi dibubarkan karena dianggap kontra-revolusi, PKI memiliki alasan yang kuat untuk memprovokasi Bung Karno agar HMI juga diubarkan karena organisasi ini dianggap sebagai underbouw Masyumi. Beruntunglah HMI tidak jadi dibubarkan.
Setelah aksi G 30 S yang mengalami kegagalan, PKI akhirnya mengalami kemunduran. PKI berubah menjadi sasaran kebencian dari berbagai kelompok. Pada 25 Oktober 1965, berdiri KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) yang bertujuan untuk mengorganisasi seluruh kelompok mahasiswa untuk melawan PKI. Di KAMI, HMI memiliki peran penting karena ide pembentukan organisasi ini memang berasal dari HMI. “Pembersihan” PKI secara militer juga melibatkan aktivis HMI. Pada masa tersebut, aktivis HMI kembali mengangkat senjata untuk “membersihkan” PKI sampai ke akar-akarnya. Keterlibatan HMI dalam “pembersihan” PKI berdampak pada citra positif HMI di mata masyarakat. Dampak lanjutannya, jumlah kader meningkat sangat signifikan.
Ketika memasuki era 1970-an, perkaderan HMI makin massif. Sistem perkaderan pun dibenahi agar lebih sistematis dan pada masa Nurcholis Madjid menjabat sebagai Ketua PB, dihasilkan dokumen Nilai Dasar Perjuangan (NDP) yang menjadi pedoman perkaderan HMI. Boleh dibilang, HMI secara organisasional, tidak banyak melibatkan diri dalam berbagai pergolakan mahasiswa, seperti pada Malari 1974 . Ketidakpuasan kelompok mahasiswa terhadap kebijakan ekonomi rezim Soeharto yang sangat kapitalistik mendasari berbagai aksi demonstrasi di era ini. Soeharto menanggapi aksi tersebut dengan bertindak keras, biasanya dengan menurunkan aparat militer untuk membubarkan aksi demonstran. Bahkan, rezim menerapkan NKK/BKK untuk membungkam gerakan mahasiswa. Satu hal yang tidak bisa dikesampingkan di era ini adalah banyaknya alumni HMI yang ditarik masuk ke pemerintahan , baik di eksekutif maupun legislatif.
Keterlibatan alumni HMI di pemerintahan memang bisa menjadi salah satu indikator keberhasilan perkaderan. Namun ternyata menimbulkan konsekuensi lain, yakni dijadikannya alumni HMI sebagai kepanjangan tangan rezim untuk mempengaruhi kebijakan internal organisasi. Sebagai organisasi yang independen, HMI tentu tidak ingin dikooptasi oleh pihak luar, termasuk pemerintah. Namun kedekatan pengurus dengan alumni (yang tak lain adalah bagian dari pemerintah), dibarengi dengan tekanan, nyatanya tetap bisa mempengaruhi kebijakan internal organisasi. Salah satu contohnya adalah penerimaan HMI terhadap asas tunggal (astung) pancasila.
Sikap HMI terhadap pemerintah memang tidak bisa dilepaskan dari dinamika pemikiran yang berkembang di kalangan kader. Pemikiran Islam mulai bergeser dari modernisme ke pemikiran-pemikiran alternatif . Keberhasilan revolusi Islam di Iran ikut membangkitkan semangat para aktivis Islam, termasuk di Indonesia. Berbagai gerakan-gerakan Islam di Timur Tengah, seperti Ikhawanul Muslim dan Hizbut Tahrir juga memperluas pengaruhnya ke berbagai negara, termasuk Indonesia. Berbagai pemikiran dari tokoh-tokoh gerakan Islam tersebut dibaca dan didiskusikan oleh banyak aktivis HMI. Bahkan, pengaruhnya tidak hanya pada level pemikiran, tapi juga pada perilaku. Salah satu inti dari pemikiran alternatif tersebut adalah keyakinan bahwa Islam merupakan sistem paripurna yang bisa diterapkan dalam segala aspek kehidupan. Dominasi pemikiran alternatif di kalangan kader inilah yang menjadi salah satu latar belakangan penentangan HMI terhadap pemberlakuan astung pancasila.

Perjalanan HMI Tahun 1980-an dan Setelahnya

Pada Kongres ke 15 tahun 1983 di Medan, pemerintah berusaha mempengaruhi HMI agar menjadi organisasi pertama yang menerima astung, meskipun belum ditetapkan sebagai UU. Pemerintah menganggap bahwa bila HMI menerima astung, maka organisasi-organisasi lain juga akan mengikuti HMI. Namun dorongan pemerintah ini, lewat sejumlah alumni, tidak digubris oleh sebagian besar utusan cabang .
Setelah kongres 15 selesai dengan terpilihnya Harry Azhar Azis sebagai Ketua Formatur, pemerintah merasa kecolongan karena gagal mengganti asas HMI. Karena itu, pemerintah memberikan tekanan kepada pengurus PB terpilih agar pada kongres selanjutnya, astung bisa diterima. Setelah UU No.8 Tahun 1985 tentang Keormasan disahkan, maka tekanan kepada pengurus PB makin kuat. Pada rapat Majelis Pekerja Kongres dan Rapat Pleno PB pada April 1985, diputuskan penerimaan terhadap astung. Tentu saja, keputusan tersebut inkonstitusional karena pergantian asas hanya bisa dilakukan pada saat kongres. Beberapa cabang, terutama Cabang Yogyakarta, menyampaikan protes keras terhadap PB. Namun PB justru bertindak keras terhadap cabang-cabang yang menolak keputusan tersebut. Cabang-cabang yang menolak keputusan tersebut, kemudian membentuk suatu kelompok yang disebut “Majelis Penyelamat Organisasi”. Tujuan pembentukan kelompok ini adalah untuk melakukan komunikasi dengan PB dan MPK terkait kontroversi keputusan penerimaan astung, sekaligus ingin meluruskan jalannya kongres. Namun PB tidak mengindahkan kelompok ini.
Akhirnya, pada kongres ke 16 tahun 1986 di Padang, HMI mengesahkan penerimaan terhadap astung. Sebetulnya kongres ini dilaksanakan dengan berbagai siasat inkonstitusional. Cabang-cabang yang dianggap akan menolak penerimaan astung, tidak diikutkan dalam kongres. Setelah kongres selesai dengan terpilihnya dr.Saleh Khalid, maka cabang-cabang yang menolak astung akhirnya menunjuk Cabang Yogyakarta untuk mengadakan kongres pada tahun yang sama. Pada kongres tersebut, diputuskan untuk tetap mempertahankan asas Islam dan terpilih Eggi Sudjana sebagai Ketua PB.
Setelah kongres selesai, resmi pula adanya dua organisasi yang mengatasnamakan diri sebagai HMI. Namun dikemudian hari, nama HMI hasil kongres Padang sering disebut HMI Dipo , sedangkan HMI hasil kongres Yogyakarta lebih familiar dikenal dengan nama HMI (MPO) . Setelah perpecahan, kedua organisasi ini memilih jalan yang berbeda. HMI Dipo lebih dekat dengan pemerintah, sehingga lebih mapan baik secara organisasional maupun finansial. Adapun HMI(MPO) justru dicap sebagai organisasi ilegal dan kerap kali justru memperoleh tindakan represif dari pemerintah. Konsekuensinya, dalam melakukan aktivitas perkaderan dan perjuangan, HMI (MPO) harus sembunyi-sembunyi atau ada juga yang menyebutnya gerakan “bawah tanah”.
Setelah pecah, aktivis HMI (MPO) berusaha keras merumuskan pedoman organisasi, sebagaimana layaknya organisasi yang baru berdiri. Tentu yang paling mendesak dan perlu pemikiran mendalam adalah pedoman perkaderan HMI (MPO). Karakteristik aktivits HMI (MPO) yang pemikirannya banyak dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran Islam alternatif, berdampak pada pedoman perkaderan yang dihasilkan. Tidak lama kemudian, yakni pada Kongres 19 pada 1992 di Semarang, Pedoman Perkaderan HMI (MPO) atau disebut juga Khittah Perjuangan akhirnya disahkan.
Pada awal 1990-an sampai masa menjelang reformasi, aktivis HMI (MPO) turut andil dalam berbagai aksi demontrasi, meski tidak mengatasnamakan nama HMI (MPO). Strategi ini ditempuh dengan pertimbangan keamanan, sebab aparat pastinya akan bertindak represif bisa mendengar nama HMI. Untuk memberi wadah bagi aktivis HMI, maka dibentuklah berbagai lembaga kantong. Di Yogyakarta, lembaga kantong tersebut bernama LMMY (Liga Mahasiswa Muslim Yogyakarta), yang dibentuk oleh sejumlah aktivis, seperti Anies Baswedan, Elan Satriawan, Arbain Nurbawono, Lukman Hakim, Sunarto, dan beberapa aktivitis lainnya . Di kota lain, seperti Jakarta dan Makassar, juga dibentuk lembaga kantong yang sama, yaitu FKMIJ (Forum Komunikasi Mahasiswa Islam Jakarta) dan FKMIM (Forum Komunikasi Mahasiswa Islam Makassar). Ketiga lembaga kantong ini merupakan poros gerakan HMI (MPO) atau disebut juga poros Jakarta-Yogyakarta-Makassar. Sejumlah isu pernah diangkat di antaranya penolakan terhadap SDSB (Sumbangan Dana Sosial Berhadiah) . Meski dimulai dengan gerakan yang tidak terlalu massif di Yogyakarta, namun isu ini kemudian berkembang massif setelah diikuti dengan gerakan demonstrasi di tempat lain, seperti di Jakarta dan Makassar. Akhirnya, pemerintah menghentikan SDSB untuk memenuhi tuntutan mahasiswa.
Di masa menjelang reformasi, peran HMI (MPO) tentu tidak bisa dikesampingkan. Bersama dengan organisasi mahasiswa lainnya, baik intra maupun ekstra, HMI (MPO) turut serta dalam aksi demonstrasi menuntut turunnya Soeharto. Salah satu peristiwa penting di Yogyakarta, khususnya di UGM adalah ketika KM UGM, dimana kader HMI menjadi pengurus inti dan think-thank , melakukan referendum yang melibatkan sebagian besar mahasiswa UGM. Keputusan referendum, yang turut membentuk opini publik secara nasional, ternyata membuat gerah Soeharto, yakni 83% responden referendum menolak pencalonan kembali Soeharto sebagai presiden.
Di Jakarta, juga dilakukan aksi demonstrasi yang massif bersama dengan elemen gerakan mahasiswa lainnya. Bahkan aktivitis HMI (MPO) boleh dibilang menorehkan tinta emas, karena tercatat sebagai elemen gerakan yang pertama kali bertahan untuk “menduduki” Gedung DPR/MPR. Peristiwa ini tercatat sebagai momentum heroik dalam sejarah reformasi 1998. Selain di Jakarta dan Yogyakarta, tentu gerakan-gerakan mahasiswa di kota-kota lain tentu tak kalah heroiknya. []
(tulisan ini dipresentasikan dalam Basic Training HMI Komisariat Ekonomi UGM)
http://rankuraman.blogspot.com/2011/05/membincangkan-sejarah-hmi.html

You must log in to post a comment.