Kami Tidak Ingin Menjadi Perpanjangan Tangan Pemerintah

Persatuan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI), sebagai salah satu kelompok Cipayung menilai rekannya HMI dalam merayakan dies natalisnya adalah hal biasa bila kegiatan itu tidak dipolitisir. “Jika kegiatan itu dipolitisir sangat naif sekali bagi sebuah organisasi mahasiswa,” ujar Riza Primahendra, Ketua Presidium PMKRI. Menurut Riza yang baru terpilih sebagai ketua tahun lalu, yang penting adalah memperjuangkan tatanan yang adil dan demokratis.

Begitu pula saat pembentukan Forum Kebangsaan Pemuda Indonesia (FKPI), HMI diajak bergabung dalam FKPI. Tapi, HMI mengaku sibuk menyiapkan ulang tahun. Jadi,”Salah kalau ada yang menilai kami meninggalkan HMI,” tegasnya.

Untuk mengetahui sikap PMKRI terhadap pemerintah, berikut petikan wawancara TEMPO Interaktif dengan Riza Primahendra, sarjana peternakan lulusan Universitas Diponegoro (1995), melalui sambungan telepon, Selasa 25 Maret 1997. Berikut petikannya :

Sebagai anggota Kelompok Cipayung, bagaimana Anda melihat perayaan Dies natalis HMI kemarin?

Saya berpikiran positif saja. Mudah-mudahan kegiatan itu jangan menenggelamkan HMI sebagai kekuatan kritis dan demokratis. Kalau harus dirayakan mewah dan punya uang banyak, tanpa alasan politis, silahkan saja. Masyarakat yang akan menilai pantas atau tidak perayaan seperti itu. Adalah salah bila ada pernyataan yang mengklaim diri sendiri, yang mengatakan bahwa kami ini independen, berjuang untuk rakyat, dan tetap sebagai kekuatan kritis. Yang berhak menilai begitu, adalah masyarakat, benar atau salah.

Walaupun kami memiliki uang, kami tidak akan melakukan perayaan seperti itu. Sebab yang kami perjuangkan adalah mengupayakan tatanan yang adil dan demokratis.

Boleh saja ‘kan membuat perayaan mewah tapi juga memperjuangkan tatanan yang adil dan demokratis?

Apa yang bisa disumbangkan kepada masyarakat, kalau hanya berupa puja puji buat diri sendiri.

Apakah karena PMKRI tidak memiliki wakil di pemerintahan sehingga tidak mau membuat perayaan seperti HMI?

Ada atau tidak wakil PMKRI di pemerintahan, itu tidak penting bagi kami. Harus diingat, kami tetap kritis, sewaktu PMKRI punya anggota yang duduk di pemerintahan atau yang bergabung dengan CSIS. Kami tetap melakukan kritik kepada pemerintah dan CSIS.

Apa komentar Anda tentang kehadiran Pak Harto di perayaan dies natalis HMI?

Saya berpikiran positif saja, mudah-mudahan Pak Harto punya perhatian besar kepada generasi muda. Selain itu kehadiran Pak Harto sebagai salah satu strategi memberi angin kepada kelompok Islam untuk digunakan sebagai basis dan komoditi politik. Dan ini sebagai bagian dari upaya menjaga basis politiknya Pak Harto, untuk menghadapi basis politik lain.

Apakah hadirnya Pak Harto karena adanya kesamaan pandangan antara pemerintah Orde Baru dengan HMI?

Saya melihat visi Orde Baru, tentang UUD 45 dan Pancasila, agar dijalankan secara murni dan konsekuen sudah selesai. Yang jadi masalah sekarang, bagaimana pelaksanaan dari UUD 45 dan Pancasila itu. Kita semua setuju dengan Orde Baru. Begitu kita mendukungnya dulu. Sebagai organisasi mahasiswa sebaiknya kita menunjukkan idealisme untuk menujukkan sikap pembelaannya kepada masyarakat dan menyuarakan kebenaran.

Saya memang merasa kehilangan teman-teman HMI dalam beberapa peristiwa nasional terakhir. Saya tidak mengerti, mengapa mereka tidak bergandengan tangan bersama kelompok Cipayung lainnya. Mengapa teman-teman HMI tidak mau bergabung dalam pernyataan yang kami buat.

Apakah ini akibat dari kedekatan HMI dengan pemerintah?

Saya tidak mengerti. Saya hanya menyayangkan sikap teman-teman HMI sekarang. Ya, seharusnya kelompok Cipayung harus mengambil jarak dengan pemerintah, karena dengan begitu kita dapat menilai kebijakan-kebijakan pemerintah secara objektif. Tapi jika terserap ke pemerintahan, maka kita tidak bisa bersikap dan menilai secara objektif, kebijakan-kebijakan yang di keluarkan pemerintah.

Apakah PMKRI punya pandangan yang sama dengan pemerintah Orde Baru, seperti kesamaan pandangan HMI-pemerintah ?

Masalah kedekatan HMI dengan pemerintah itu relatif. Yang penting HMI dapat mewakili masyarakat dan bangsa, sebagai kekuatan moral mahasiswa. Tentunya HMI harus tegas untuk mengatakan salah dan benar. Namun, strategi yang dipilih HMI sebagai kesamaam pandangan visi dan ideologis dengan pemerintah tidak tepat. Sebab, akibat kedekatan itu kita tidak bisa berpikir kritis. Masa kita diberi gula-gula, lalu yang memberi kita pukul.

Tidak bergabungnya HMI dalam FKPI, apakah karena kekecewaan kelompok Cipayung lain?

Saya rasa ada juga rasa kecewa itu. Keberanian untuk tampil beda di HMI, sudah mulai menipis. Tapi kita harus percaya, bahwa teman-teman HMI punya itikad baik, karena kami bersama HMI pernah punya sejarah yang cukup panjang. Cara berfikir kami dalam FKPI bukan untuk meninggalkan HMI.

Ada yang menuduh kelompok Cipayung selain HMI, kini cenderung posisinya berseberangan dengan pemerintah?

Kalau visinya pemerintah mempertahankan status quo, mendukung kebijakan yang tidak manusiawi, jelas itu akan kami tentang. Banyak hal yang kami tak setuju. Seperti Pancasila yang mulai hilang keberadaannya sebagai ideologi bangsa karena adanya monopoli pengertian tentang Pancasila. Tapi, pelanggaran-pelanggaran terhadap Pancasila justeru dilakukan oleh pemerintah. Misalnya, berbagai kerusuhan yang terjadi belakangan ini karena melemahnya pengamalan Pancasila. Secara formal Pancasila sudah diterima oleh semua orsospol dan ormas.

Lalu kelemahan lainnya, ketika Pancasila sudah tidak dipandang lagi sebagai ideologi, masyarakat beralih kepada hukum yang lain. Ini ‘kan sudah tidak sesuai lagi dengan Pancasila. Bagaimana undang-undang peradilan anak bisa masuk dalam negara Pancasila. Lalu munculnya undang-undang peradilan agama, hanya untuk Islam. Harusnya ada undang-undang peradilan agama yang lain dong. Lainnya undang-undang tenaga nuklir, mengapa disahkan?! Padahal itu menimbulkan banyak protes dari masyarakat.

Bagaimana dengan penegakan demokrasi?

Secara nyata penegakan demokrasi di Indonesia hampir lenyap, bukan berarti tidak ada. Tapi, apakah penegakan demokrasi selama ini sudah pada tingkatan yang kita inginkan. Apakah bisa disebut demokratis, kalau hanya mau menerima pendapat-pendapat dari kalangan terdekatnya, sementara pendapat yang lain dikesampingkan.

Bagaimana dengan suksesi yang tinggal setahun lagi?

Masyarakat kita sudah cenderung bersikap masa bodoh. Suksesi tidak penting kok. Siapapun presidennya, asalkan sistem pemerintahan kita benar atau selama MPR dan DPR berjalan dengan baik, hal itu tidak ada masalah.

Nah, sekarang masalahnya, masyarakat sudah tidak percaya lagi dengan sistem yang sedang berjalan. Karena pergantian hanya tampak pada pucuk pimpinan, tidak kepada sistemnya. Kecuali, jika pimpinannya ganti dan sistemnya akan berubah, itu lain soal.

Apakah untuk perubahan itu PMKRI sudah punya calon presiden?

Bagi kami adanya perubahan lewat atas, kami pesimis. Karena figur-figur pemimpin yang sekarang ini adalah produk dari sistem lama dan tidak memenuhi kriteria sebagai pemimpin. Sementara yang memenuhi kriteria tidak berada dalam sistem dan tidak ada kemungkinan untuk dipilih. Ya bagaimana, kan lebih baik tidak usah ngomong.

Siapa calon yang layak menurut PMKRI?

Kami memilih bekerja di bawah saja pada tingkat mahasiswa. Kami tidak punya calon. Pokoknya kami siap bekerjasama dengan siapa saja.

Apakah PMKRI ingin dekat dengan pemerintah?

Bagi kami itu tidak penting. Kami tidak ingin menjadi perpanjangan tangan pemerintah, apalagi menjilat.

Ringkasan dari Ringkasan Materi Rekonstruksi NDP

Andito

Bismihi ta’ala


Manusia adalah material yang realis, bukan idealis. Manusia mempunyai sifat asali: bergerak dari potensial menuju aktual, berarti selalu menyempurna menuju kesempurnaan mutlak (realitas eksternal objektif mutlak), yang absolut, universal, manusiawi, objektif, tidak terbatas dan berbeda secara eksistensial dengan manusia/makhluk…

Realis bisa materialis dan teologis. Banyak orang menyangka bahwa seorang realis adalah materialis. Padahal, materialis adalah bagian dari realis. Seorang materialis menumpukan pengetahuannya pada eksperimentasi, sedangkan teologis pada prinsip-prinsip niscaya rasional. Continue reading “Ringkasan dari Ringkasan Materi Rekonstruksi NDP”

Ketika Kapal HMI Sampai di Pelabuhan Orde Baru

Banyak yang berharap HMI kembali ke “khittah” ketika dilahirkan pada tahun 1947 sebagai organisasi kritis yang mandiri. Tapi, kata seorang pengamat, HMI telah sampai pada cita-cita dalam zaman Orde Baru ini. Akan berhentikah perjuangan organisasi yang punya 500 ribu massa itu?

Banyak yang berharap HMI kembali ke “khittah” ketika dilahirkan pada tahun 1947 sebagai organisasi kritis yang mandiri. Tapi, kata seorang pengamat, HMI telah sampai pada cita-cita dalam zaman Orde Baru ini. Akan berhentikah perjuangan organisasi yang punya 500 ribu massa itu?

IBARAT sebuah bandul, Himpunan Mahasiswa Islam bisa bergerak “mendekat” atau “menjauh” dari pemerintah. Dan tampaknya, belakangan ini bandul sedang berada di posisi “mendekat” ke pemerintah. Perhelatan Dies Natalis ke-50 yang mahal — kabarnya menghabiskan Rp 750 juta — Kamis malam dua pekan lalu (20 Maret 1997) di Jakarta, tampaknya menguatkan dugaan itu. Apalagi, dalam ulang tahun organisasi yang ditaksir punya anggota 500 ribu orang di seluruh Indonesia itu, hadirlah Presiden Soeharto — sebuah kesempatan yang jarang untuk sebuah organisasi mahasiswa (Belum lama ini Pak Harto juga datang di acara Pemuda Pancasila).

Maka, serangkaian pertanyaan muncul. Yang paling banyak terdengar adalah pertanyaan seputar kemandirian organisasi mahasiswa yang didirikan oleh Drs. Lafran Pane pada 50 tahun lalu itu. Pertanyaan lain: apakah sikap HMI ini mencerminkan sikap organisasi mahasiswa yang lain? Pertanyaan seperti ini penting diajukan karena pemerintah memang tengah “berkepentingan” dengan anak-anak muda pencoblos pertama Pemilu 1997 yang jumlahnya mencapai 21 juta orang. Jika tak “digarap” dikhawatirkan anak-anak muda ini akan “malas” menggunakan hak pilihnya. Dan Golput akan meledak jumlahnya.

Bila ditilik secara umum: organisasi mahasiswa di Indonesia terdiri dari dua kelompok besar. Bila teori “bandul” tadi bisa dipakai, maka dua kelompok itu adalah kelompok yang berada “jauh” dari pemerintah (Lihat wawancara Riza Primahendra, Ketua Presidium PMKRI: “Kami Tak Ingin Menjadi Perpanjangan Tangan Pemerintah“). Dan kedua adalah kelompok yang “dekat” pemerintah.

Lahirnya, Forum Kebangsaan Pemuda Indonesia, Februari 1996, adalah salah satu bukti. FKPI yang terdiri dari delapan organisasi mahasiswa dan pemuda — Ikatan Putera Nahdlatul Ulama, Pemuda Demokrat, Generasi Muda Kristen Indonesia, PMII, GMNI, GMKI, PMKRI — lahir tanpa HMI ikut serta di dalamnya. Banyak analisa berkembang. Ada yang mengatakan HMI terlalu tergantung kepada KAHMI, alumni HMI, yang kini banyak bertebaran di kabinet, atau di jabatan-jabatan penting pemerintahan. Dengan posisi seperti itu, maka HMI pun dituduh “dekat dan sepikiran” dengan pusat-pusat kekuasaan (Lihat wawancara A. Baskara, Sekjen Presidium Gerakan Mahasiswa Nasionalis Indonesia: “Ada Ubi Ada Talas…..).

Orang pun teringat pada zaman HMI “yang lain” di awal-awal kelahirannya. Organisasi yang didirikan di Yogyakarta, 5 Februari 1947, ini dikenal sangat kritis dan independen. Karena sikap itu HMI hampir saja dibubarkan dan dilarang oleh Presiden Soekarno pada masa Demokrasi Terpimpin. Bahkan, bersama tiga organisasi mahasiswa lainnya — GMKI, GMNI, dan PMKRI — pada tahun 1972 HMI ikut melahirkan Kelompok Cipayung, sebuah kelompok yang sangat kritis terhadap kebijakan-kebijakan Orde Baru.

Cikal bakal Kelompok Cipayung adalah sebuah diskusi bertema “Indonesia yang Kita Cita-Citakan”. Ada empat ormas pemuda yang menyelenggarakan diskusi pada tanggal 19-22 Januari 1972 itu di Cipayung, Puncak, Jawa Barat. Sejumlah tokoh diundang, antara lain, Emil Salim yang membahas masalah pembangunan dan TB Simatupang (kini almarhum) yang berbicara masalah politik.

Pertemuan itu kemudian menghasilkan kesepakatan terbentuknya “Kelompok Cipayung”. Kesepakatan tersebut ditanda-tangani oleh pimpinan keempat organisasi itu, yakni Akbar Tanjung (HMI, kini Menteri Perumahan Rakyat), Soerjadi (GMNI, Ketua Umum PDI versi Kongres Medan), Chris Siner Key Timu (PMKRI, tokoh Petisi 50) dan Binsar Sianipar (GMKI).

Dorongan kuat lahirnya Kelompok Cipayung ini adalah banyaknya ketimpangan yang terjadi. Korupsi yang meluas, yang kemudian melahirkan Komite Anti Korupsi pada akhir tahun 1971. Empat organisasi ini ketika itu terkenal karena sebuah pernyataan keprihatinan yang dikeluarkan 10 Januari 1972. Di tahun itu juga Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) bergabung dengan kelompok tersebut.

Saking kritisnya, Kelompok Cipayung ini akhirnya mengundang kritik dari Akbar Tanjung, salah satu pendirinya. Akbar menilai kelompok itu kerjanya cuma mengkritik atau menyatakan ketidaksetujuan terhadap “sesuatu”. Tanjung sendiri menghendaki kelompok ini mempunyai aktivitas yang mencerminkan kebersamaan yang positif.

Dalam perjalanannya, HMI tergolong yang terbanyak menempatkan kader-kadernya di pemerintahan — misalnya Akbar Tanjung dan Abdul Gafur (Lihat wawancara Irwan Badillah, Ketua Umum IMM: “HMI Banyak Memberi Kontribusi Sejarah). Bahkan, di kabinet sekarang ini, paling tidak ada empat menteri yang alumnus HMI. Tapi duduknya para “kakak” itu bukan tak membawa resiko. Pengaruh para alumni yang berada di dalam pusat-pusat kekuasaan itu sering membuat HMI “kikuk” menata kemandiriannya.

Contohnya ketika HMI dihadapkan dengan azas tunggal Pancasila. Kabarnya, Menpora Abdul Gafur (waktu itu) berpesan “wanti-wanti” agar HMI menjadi pelopor penerimaan azas tunggal Pancasila. Menjelang Kongres HMI ke-16 di Padang pada tahun 1986, Gafur menegaskan,”Pokoknya HMI harus menerimanya. Jangan ditawar lagi.”

Praktis, persoalan asas tunggal Pancasila itu memecah dua tubuh HMI. Bahkan, sehari menjelang kongres, terbentuklah apa yang dinamakan Majelis Penyelamat Organisasi (MPO) — yang menolak asas tunggal — dan dipelopori oleh sembilan cabang, antara lain Jakarta, Bandung, Yogyakarta, dan Ujungpandang. Disamping “menguasasi” kantor pusat PB HMI di Jalan Diponegoro, mereka juga membuat pernyataan tidak mengakui kepemimpinan Ketua Umum PB HMI Harry Azhar Aziz.

Harry Azhar sendiri melihat sudah waktunya HMI dewasa dalam memandang azas tunggal. “HMI berada di dataran yang sama sesuai dengan berbagai pihak dalam melihat Pancasila,” katanya. Dengan begitu, HMI ingin meluruskan anggapan sementara pihak yang menganggap organisasi ini seolah menolak Pancasila.

Dan sikap kompromistis itu memang berlanjut di kemudian hari, sampai kepengurusan Taufiq Hidayat sekarang ini. Dan sikap seperti memang sah-sah saja (Lihat wawancara Edward Tanari, Ketua Umum GMKI: “Siapa Memanfaatkan Siapa) . Misalnya dalam menanggapi Komite Independen Pengawas Pemilu (KIPP) yang pernah marak tahun 1996 lalu, HMI dengan tegas menolak lembaga non pemerintah itu. Kabarnya, dalam menyikapi Peristiwa 27 Juli 1996 pun organisasi mahasiswa ini berbeda dengan aktivis Kelompok Cipayung lainnya. Menurut Sumber TEMPO Interaktif, para aktivis Kelompok Cipayung ingin mengeluarkan pernyataan “tegas” berkenaan dengan Kasus 27 Juli 1996 yang menelan korban tewas tiga orang dan 23 orang hilang itu. Tapi HMI rupanya enggan ambil bagian dan tidak mau menandatangani pernyataan tersebut.

Puncak dari “pemisahan” itu adalah ketika FKPI terbentuk tanpa HMI di dalamnya. Ada yang menganalisa HMI seperti “terseret” dari gerakan mahasiswa menjadi gerakan politik dengan sikapnya belakangan ini (Lihat wawancara Muhaimin Iskandar, Ketua PMII: “Dari Gerakan Mahasiswa Menjadi Gerakan Politik). Meskipun, bisa saja langkah HMI ini merupakan hasil perenungan atas sepak terjang organisasi mahasiswa itu selama ini.

Dalam bahasa Fahmi Idris, salah satu tokoh alumnus, HMI tak bisa terus menerus jadi pemberang. Dan berbagai perkembangan belakangan mengharuskan HMI menyesuaikan diri (Lihat wawancara Fahmi Idris: “Bisa Saja Gatotkaca Menjadi Arjuna). Meskipun, Nurcholish Madjid menilai HMI bersikap ambivalen terhadap pemerintah, sama halnya dengan sikap Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (Lihat wawancara Nurcholish Madjid: “Jangan Mengukur Baju Orang Dengan Badan Sendiri).

Pendapat Victor Tanja, pendeta yang menulis disertasi soal HMI, menarik disimak. Kedekatan HMI dengan pemerintah, juga dengan ABRI, kata Victor adalah konsekuensi dari sejarah berdirinya HMI. Jika ormas pemuda yang lain berdiri pasca perang kemerdekaan, HMI justru berdiri ketika republik bergolak. Dan sekarang ini, menurut Tanja, HMI melihat apa yang dilakukan pemerintah sekarang ini dengan memberikan tempat “terbaik” untuk Islam, sudah sesuai dengan apa yang dicita-citakan HMI: Sebuah Indonesia yang pro Islam, meskipun bukan negara Islam. Banyaknya anggota HMI dan umat Islam di kabinet dan pemerintahan adalah bukti bahwa pemerintah memang mengakomodasi Islam, khususnya HMI (Lihat wawancara Victor Tanja: “Orde Baru Sesuai Dengan Cita-Cita HMI).

Tampaknya, ibarat kapal, HMI rupanya sudah sampai di pelabuhan Orde Baru. Masa-masa “madu” dalam hubungan pemerintah dengan kelompok Islam di negara ini, akhirnya juga dinikmati HMI. Masalahnya, bukankah di “pelabuhan Orba” ini banyak soal yang harus dibereskan? Korupsi masih cukup tinggi, kolusi yang mengkhawatirkan dan kesenjangan sosial masih menganga.(Lihat Wawancara Aspianor Sahbas, Ketua PAO PB HMI: “HMI Akan Tetap Merawat Kemandiriannya)

Jadi, semangat “HMI 1947” rasanya memang masih diperlukan.

Milad Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) ke-64 (5 Februari 1947 – 5 Februari 2011)

Selamat Milad (Ulang Tahun) Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) yang ke-64. Semoga engkau selalu jaya sebagaimana sloganmu Yakin Usaha Sampai.

Selamat Milad (Ulang Tahun) Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) yang ke-64. Semoga engkau selalu jaya sebagaimana sloganmu Yakin Usaha Sampai.

Di miladmu yang ke-64 ini engkau mungkin sudah tidak lagi menjadi issu seksi di mata media baik cetak maupun media online. Apalagi di tengah gegap gempita berita politik luar negeri demonstrasi Mesir dan Tunisia ditambah gegap gempitanya masalah hukum dan politik Nasional yang seakan tidak berujung.

Bahkan tulisan tentang miladmu yang ke-64 pun tidak muncul di situs resmi Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) maupun situs resmi Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) MPO. Semoga tidak adanya tulisan tentang miladmu yang ke-64 di situs resmi PB HMI bukan cerminan pudarnya semangat dan pandangan akan Ke-Mahasiswa-an, Ke-Bangsa-an, dan Ke-Umat-an dari sanubari Kader dan Pengurus HMI.

Saya akan menurunkan beberapa tulisan tentang HMI dari arsip tempo, semoga tulisan-tulisan tersebut bisa menjadi inspirasi dan membangkitkan semangat terhadap cita-cita yang 64 tahun lalu diperjuangkan oleh Lafran Pane di Jogyakarta.

HMI Terjebak Politik Praktis

Iksan Basoeky*

Setiap tanggal 5 Februari, organisasi Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) memperingati hari kelahirannya. Kini organisasi yang berdiri di atas semangat keislaman dan ke-Indonesiaan itu memperingati hari kelahirannya yang ke-64 tahun.

HMI merupakan organisasi mahasiswa terbesar dan tertua di Indonesia. Ia memiliki peran strategis dalam menegakkan pilar-pilar keislaman sebagai landasan historis sebuah pendirian. Sejak awal berdiri, HMI sudah menisbatkan diri sebagai organisasi yang mempunyai visi dan misi perjuangan mengokohkan nilai-nilai keislaman, kemahasiswaan dan keindonesiaan. Continue reading “HMI Terjebak Politik Praktis”

HMI Siap Kritisi Kebijakan Pemkot

KARANGASEM—Himpunan Mahasiswa Islam Cabang Surakarta, menyerukan pada masyarakat untuk tetap mengkritisi kebijakan Pemkot Solo, terutama untuk program sosial dan masyarakat. Sementara itu, Dewan menilai mahasiswa di Solo mengalami kemunduran dalam mengkritisi pemerintah. Continue reading “HMI Siap Kritisi Kebijakan Pemkot”

Mesir: Siapa yang Sesungguhnya Bermain?

Dina Y. Sulaeman

Banyak analisis bermunculan mengomentari situasi terakhir di Mesir. Sedikit berbeda dengan Tunisia (baca tulisan saya sebelumnya: Tunisia Seharusnya Belajar dari Indonesia), dalam menyikapi aksi-aksi demo di Mesir, sejak awal AS sudah terang-terangan menunjukkan sikap. Obama mengaku sudah menelpon Mubarak, memintanya memerhatikan aspirasi rakyat. Wikileaks ikut memanaskan suasana dengan memunculkan informasi bahwa AS menginginkan rezim Mubarak tumbang. Publik digiring untuk percaya bahwa AS berpihak pada para demonstran dan menginginkan tegaknya demokrasi di negeri Nil itu. Bahkan ada yang memperkirakan bahwa AS-lah arsitek kerusuhan di Mesir. Apalagi, tokoh yang naik daun saat ini dan digadang-gadang jadi pengganti Mubarak adalah El Baradei. Jika Anda mengikuti sepak terjang El Baradei saat menjabat Gubernur IAEA, tentunya Anda tahu bahwa dia selalu berpihak pada kepentingan AS dalam menangani nuklir Iran. Lebih lagi, dia adalah salah satu anggota Dewan Pengawas ICG (Internasional Crisis Group), LSM internasional yang didanai George Soros. ICG menyediakan analisis dan saran mengenai berbagai sumber konflik dunia, antara lain, Irak, nuklir Iran, atau Jemaah Islamiah di Indonesia. Apa saja saran yang mereka sampaikan? Bila Anda melihat siapa penyandang dananya, Anda sudah bisa memperkirakan apa target ICG. Continue reading “Mesir: Siapa yang Sesungguhnya Bermain?”

Tunisia Seharusnya Belajar Pada Indonesia

Oleh: Dina Y. Sulaeman

Ben Ali akhirnya tumbang setelah 24 tahun berkuasa, ‘hanya’ oleh demonstrasi rakyat yang terjadi secara spontan. Sungguh sebuah ironi bagi AS. Negara yang mengklaim diri sebagai penegak demokrasi itu telah menggelontorkan dana milyaran dollar untuk proyek yang disebutnya ‘demokratisasi Timur Tengah’ dengan target Afghanistan, Iran, dan Irak. Namun selain kerugian materil yang tak habis-habis, kini AS harus gigit jari menyaksikan bahwa justru negara yang tidak didorongnya untuk berdemokrasi, yaitu Tunisia (mungkin segera menyusul Mesir, serta negara-negara Arab lainnya), malah bangkit menumbangkan penguasa mereka dan menuntut pemerintahan yang demokratis. Kembali terbukti bahwa bagi AS demokratisasi adalah membuka pasar seluas-luasnya bagi korporasi AS. Bila sebuah rezim despotik macam Ben Ali sudah membuat nyaman korporasi, persetan dengan demokrasi. Continue reading “Tunisia Seharusnya Belajar Pada Indonesia”