HMI Banyak Memberi Kontribusi Sejarah

“Yang dekat dengan kekuasaan itu bukan HMI dan tapi alumninya secara personal,”

Benarkah HMI dekat kekuasaan? Irwan Badillah, Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah, menilai HMI banyak diuntungkan para alumninya. “Yang dekat dengan kekuasaan itu bukan HMI dan tapi alumninya secara personal,” kata anak Ambon yang terpilih sebagai Ketua IMM periode 1997-2000. Berikut wawancara Mustafa Ismail dari TEMPO Interaktif dengan Irwan Badillah, 27 tahun, di kantor IMM di Jalan Menteng Raya Nomor 62 Jakarta, Selasa malam (25 Maret 1997) lalu. Petikannya:

Bagaimana dengan acara Dies Natalis HMI yang cukup mewah baru-baru ini?

Saya pikir kader-kader HMI cukup berhasil dan menduduki posisi-posisi yang sangat menguntungkan, katakanlah di birokrasi. Sehingga ada kemudahan untuk menyelenggarakan acara dengan biaya cukup besar. Itu juga penyebab bagi lancarnya jaringan komunikasi mereka, bahkan sampai dengan presiden. Dan pada akhirnya yang menentukan adalah kader-kader yang mumpuni yang dipunyai oleh HMI.

Apakah itu tidak mempengaruhi kemandirian HMI sendiri?

Sebenarnya mempengaruhi. Karena salah satu idealisme HMI adalah bagaimana membangun ummat. Otomatis yang dimaksud dengan pengembangan keummatan ini kan kontrol sosial. Ini saya lihat yang menjadi kurang penekanannya (aksentuasi), karena secara langsung berhadapan dengan alumni HMI yang sekarang duduk di lembaga sosial-politik, katakanlah di birokrasi. Kemudian juga ada kedekatan yang sangat intens antara PB HMI dengan KAHMI.

Bukankah itu menjebak HMI pada ketidakmandirian?

Itu tergantung pada kader dan pimpinannya. Memang ada kesan bahwa HMI kehilangan idealisme. Menurut saya, sebabnya, ya, karena para alumni berada pada posisi-posisi itu. Pada akhirnya mereka ‘kan harus akomodatif.

Bagaimana Anda melihat kedekatan HMI dengan Pak Harto dan pemerintah?

Kalau HMI secara kelembagaan, saya sendiri tidak bisa jelaskan. Menurut yang saya lihat, yang dekat itu pribadinya. Secara kelembagaan semuanya sama. Tapi bagi HMI kan alumninya yang dekat. Jadi kedekatan itu secara individual. Tapi sejarah ‘kan menulis, HMI kan banyak memberi kontribusinya terhadap sejarah.

Mengapa sikap pemerintah berbeda-beda terhadap organisasi-organisasi lainnya?

Seharusnya memang tidak membeda-bedakan. Kemudian ‘kan dilihat juga bagaimana peran-peran organisasi itu sendiri. Karena ‘kan tidak sedikit juga organisasi yang punya papan nama saja.

Apa kritik Anda terhadap HMI?

Saya lihat memang HMI kehilangan idealisme dalam membela masyarakat bawah. Dalam arti, kalau melihat idealisme HMI itu ‘kan paling tidak juga memperjuangkan atau membahasakan fenomena-fenomena masyarakat sekarang yang cenderung terpinggir. Tidak hanya di tingkat cabang, di tingkat pengurus besar juga harus begitu. Tingkat kritis terhadap situasi yang ada sekarang, khususnya terhadap pemerintah melemah. Seharusnya, apapun kondisinya, idealisme itu harus tetap kita kedepankan. Terlepas sekarang ada alumni atau ada kader yang jadi ini. Independensi dan perjuangan-perjuangan kerakyatan seharusnya tetap menjadi penekanan mereka.

Jelasnya?

Secara kelembagaan independensinya tetap. Tapi karena cukup banyak aluminya yang berhasil, ya, barangkali mereka susah mengatur keseimbangannya itu. Kalau melihat sejarahnya, HMI pada masa-masa pergolakan itu kan punya semangat-semangat melawan tirani, memperjuangkan masyarakat terpinggirkan. Saya kira semangat-semangat itu juga harus dihidupkan terus. Itu yang sekarang sudah berkurang.

Artinya mereka sekarang lebih mengarah kepada kekuasaan?

Saya tidak mengatakan demikian. Saya bersandar pada rujukan-rujukan filosofi dasarnya, definisi dari idealisme perjuangan. Kalau dalam hal tertentu ada yang punya kepentingan kepada kekuasaan, saya kira semua memang punya kecenderungan ke sana. Meski pun barangkali format dan mekanismenya berbeda antara satu organisasi dengan organisasi lainnya, baik secara organisatoris maupun kedekatan-kedekatan informal.

Bagaimana IMM mengambil sikap terhadap kekuasaan?

Orientasi IMM itu menciptakan sumber daya yang punya daya tawar. Jadi kita tidak melakukan pendekatan yang sifatnya politik. Tapi kita menyiapkan kader yang mumpuni, yang punya daya tawar. Dan silahkan siapa saja untuk melihat potensi itu. Kita menciptakan kader-kader yang tangguh.

Baru-baru ini lahir Forum Kebangsaan Pemuda Indonesia tanpa HMI, menurut Anda?

Saya tidak sempat mengikuti jauh mengenai itu, karena bertepatan dengan persiapan muktamar di Medan. Saya belum dapat informasi yang jelas mengenai itu.

Apakah tidak ada keinginan untuk mengundang Pak Harto dalam acara-acara IMM?

Kalau keinginan tetap ada. Tetapi keinginan itu juga harus kita diskusikan dulu, latar belakangnya apa. Apa hanya sekedar akses daya tawar di bidang politik, misalnya. Itu harus dibahas dulu.

Tapi bukankah dengan dekat dengan Pak Harto bisa memuluskan kegiatan-kegiatan IMM?

Saya kira bisa saja begitu. Tidak dekat pun, juga tidak menghalangi. Itu tidak menjadi satu faktor bagi kegiatan IMM bagi pengembangan kelembagaan. Saya pikir kedekatan dan kejauhan juga punya parameter. Jauh secara fisik belum tentu jauh secara formal. Dekat dalam pengertian fisik belum tentu juga dekat dalam hal-hal yang lain. Apalagi bila kita menggunakan kaca mata politik untuk melihat hal itu.

Oh ya, bagaimana Anda melihat demokrasi di Indonesia?

Tolak ukur kita demokrasi yang bagaimana. Yang kita terapkan sekarang itu demokrasi Pancasila. Sekarang kita mengukur demokrasi itu menggunakan ukuran yang mana. Apakah kita memakai ukuran demokrasi Barat. Jadi demokrasi yang dikembangkan di Indonesia, demokrasi yang berdekatan dengan kultur masyarakat Indonesia. Itulah yang dimaksud dengan Demokrasi Pancasila.

Bagaimana pendapat Anda terhadap suksesi?

Untuk IMM ada kriterianya sendiri. Sudah disepakati pada Tanwir Muhammadiyah di Surabaya. Kongkritnya, mengenai itu kita serahkan kepada musyawarah, kepada Sidang Umum MPR 1998.

Menurut Anda sendiri apakah suksesi 1998 itu cukup mendesak untuk dilakukan?

Saya belum dapat katakan perlu atau tidak. Karena ini menyangkut kesinambungan pembangunan. Parameter kita, parameter pengalaman. Kita belum bisa melihat ke depan, yang boleh jadi bagus dan boleh jadi tidak. Sepanjang pimpinan ini masih wajar dan dimungkinkan, saya kira tidak ada masalah.

Bagaimana tanggapan Anda terhadap kemungkinan terpilihnya kembali Pak Harto sebagai presiden?

Kalau pada akhirnya Sidang Umum MPR memutuskan itu, tidak ada persoalan.

Apa tidak perlu ditampilkan tokoh lain agar calon tidak tunggal?

Kalau ada yang diberikan kesempatan, kita mendukung sekali. Bagi IMM sendiri, soal terjadi suksesi atau tidak, tidak persoalan. Karena kita melihat proses pembangunan. Mudah-mudahan wakil rakyat nanti dapat menyerap aspirasi dan melihat stabilitas pembangunan negara di masa akan datang.

Menurut Anda apa perlu membatasi jabatan presiden?

Sekalipun tidak ada pembatasan, kalau ada aspirasi baru suksesi bisa saja terjadi. Dan itu sangat tergantung pada wakil-wakil rakyat. Bagaimana pun menghadapi negara yang terus berkembang, dan penduduknya terus meningkat, kan harus ada kaderisasi juga. Kalau ada, ya silakan tampil.

Ada Ubi Ada Talas…..

Tonggak-tonggak sejarah kebangsaan Indonesia selalui diwarnai oleh sepak terjang pemuda dan mahasiswanya. Tercatat kelahiran Indonesia -setelah lama berada di rahim penjajah- juga tidak lepas dari peran serta yang aktif dari pemuda. Demikian pula ketika Orde Baru muncul memegang tampuk kekuasaan di tahun 1966. Energi pemuda juga disalurkan untuk merombak tatanan lama menjadi tatanan baru.

Di situlah HMI mengalami pergulatan sejarah yang panjang. Sebagai organisasi kemahasiswaan yang bercorak intelektual kritis dengan landasan moral ini, telah menuai para cendekia seperti Nurcholis Madjid, Dawam Rahardjo dan sederet nama-nama lainnya.

Oleh karena itu banyak kelompok yang risau ketika HMI dinilai terlalu dekat dengan kekuasaan. Salah satunya adalah anggota kelompok Cipayung, Gerakan Mahasiswa Nasionalis Indonesia (GMNI), yang melahirkan tokoh sekaliber Megawati Soekarnoputri atau Siswono Yudohusodo. Menurut Sekjennya, A. Baskara, karena HMI dipakai sebagai alat untuk melegitimasi kekuasaan, dia dirangkul tetapi dicekik. “Kalau itu terjadi, kami sebagai teman merasa prihatin,” kata alumnus FISIP Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta.

Berikut wawancara Edy Budiyarso dari TEMPO Interaktif dengan dengan A. Baskara, 30 tahun, di markasnya di kawasan Rawa Sari Jakarta Pusat, Rabu 26 Maret 1997.

Komentar Anda tentang pesta dies natalis HMI?

Dengan kejadian itu kita secara tidak sadar telah menempatkan HMI sebagai fokus sentral dalam konfigurasi alur besar politik. Seolah-olah manejemen politik pemuda ada di tangan HMI.

Karena kedekatannya dengan pemerintah?

Ya, itu yang pertama. Dan ini memang menarik, karena dalam tradisi perpolitikan kita ada nuansa pengulangan sejarah. Seperti yang dulu pernah terjadi pada tahun 1965 ketika GMNI begitu dekat dengan Soekarno. Sehingga saya juga tidak tahu kalau pers seolah-olah menempatkannya seperti GMNI dulu. Tetapi menurut saya hal ini terjadi, karena wajah politik kita yang bercorak patron-klien. Apalagi kultur politik kita secara given terdiri dari faksi-faksi di masyarakat. Ada pemisahan-pemisahan politik misalnya ada Islam, Katolik, Sosialis, Nasionalis dan komunis laten.

HMI, sebagai organisasi mahasiswa yang menjadi simbol kekuatan Islam, tentunya tidak bisa dilepaskan dari manejemen konflik yang dibuat oleh kekuasaan. Sedangkan Presiden Soeharto sebagai pengendali kekuasaan negara memerlukan legitimasi dari komunitas Islam. Dan, HMI yang masuk dalam konfigurasi politik Islam memiliki peran strategis. Oleh karenanya Pak Harto merasa berkepentingan dengan HMI. Bisa jadi HMI menjadi alternatif ketika ICMI dianggap tidak akomodatif dengan kepentingan politik kekuasaannya.

Apakah sampai sejauh itu?

Bisa saja. Orde Baru juga berangkat dari manajemen politiknya terhadap pemuda dan mahasiswa. Pemuda dan mahasiswa dijadikan instrumen politik kekuasaan. Dari situ secara sosiologis membuat polarisasi kekuatan pemuda sehingga potensi kekuatan organisasi pemuda dapat dikontrol. Dan ini tidak hanya kepada organisasi kepemudaan, terjadi pula pada ormas Islam, partai politik. Menurut saya ini adalah prestasi Orde Baru dengan mengelola pluralitas masyarakat untuk menyokong kekuasaan politiknya.

Belum lagi sejarah organisasi kemahasiswaan kita yang selalu ada blok-blok. Sekarang ini memang cuma ada dua kalau tidak kanan atau kiri. Kiri yang saya maksud bukan ideologis tetapi kritis terhadap kekuasaan. Kelompok-kelompok ini terlihat dalam fenomena kebangsaan yang berjalan sepertinya ada dua blok. Ada yang di dalam betul dan ada yang di luar betul. Dan HMI kelihatannya mengambil peran di dalam itu sehingga Pak Harto merasa berkepentingan.

Saya kira wajar organisasi formal dalam diesnya dihadiri oleh presiden. Tetapi pertanyaannya kenapa organisasi kemahasiswaan yang lain tidak. Padahal dalam undang-undang keormasaan semua itu diakui. KNPI saja tidak dibuka oleh presiden. Sehingga menurut saya, ini politis. Ini lepas dari kesibukan presiden tetapi posisi dari ormas kepemudaan KNPI ataupun kelompok kepemudaan dan kemahasiswaan itu ditempatkan pada posisi yang sama, seharusnya. Artinya tidak ada perlakuan yang istimewa dong, karena kita ini organisasi yang formal semua.

Apa ada dampaknya bagi organisasi kepemudaan dan kemahasiswaan yang lain?

Menimbulkan kesan, dalam kelompok-kelompok organisasi kepemudaan seperti bermusuhan dengan HMI. Padahal itu tidak terjadi. Kekuasaanlah yang membuat seperti itu. Sehingga yang muncul adalah image konflik horisontal di mana-mana itu ada.

Anda mengkritik sikap HMI itu ?

Ya, sebenarnya tidak perlu kritik. Yang penting adalah perspekstif kita tentang kebangsaan itu jelas.

Kritik Anda terhadap pemerintah?

Kami kelompok Cipayung yang sering mengkritisi kesesakan politik yang ada sekarang ini. Seperti kekuasaan yang mempersonal, lembaga legislatif yang kurang berfungsi. Itu yang kami kritisi. Tetapi bukan berarti kami anti pemerintah.

Dalam hal ini HMI mengambil sikap untuk tidak sejalan?

Saya tidak bisa mengklaim seperti itu. Tetapi itu bisa dilihat dari intensitas pertemuan kami dalam kelompok Cipayung dan belakangan HMI jarang muncul. Ukuran-ukuran kritis adalah sejauh mana anak muda itu mampu mengkritisi kekuasaan yang tidak sesuai lagi dengan amanat negara proklamasi. Ini yang kami kritis. Mungkin saja HMI punya cara lain mengkritisinya.

Ini memang bagian strategi organisasi masing-masing. Kesan yang muncul adalah HMI cenderung hati-hati, tidak mampu mengkritisi kekuasaan karena banyaknya alumni-alumni HMI yang berada pada kekuasaan, sekarang. Dan sebenarnya tidak di situ letaknya. Karena banyak juga alumni-alumni GMNI yang di pemerintahan, tetapi kami tetap kritis terhadap mereka.

Jadi bisa dikatakan menurut Anda HMI sudah terjebak dalam hubungan patron-klien dengan alumni-alumni mereka di Kahmi?

Hal itu memang menjadi tradisi HMI dan organisasi yang lain. Tetapi yang ada pada HMI adalah alumni mereka yang terlalu dominan dalam supra atau infra struktur politik. Itu yang menyebabkan interaksi HMI dan KAHMI-nya menjadi suatu hubungan interdependensi antar mereka. Terutama kepada alumni-alumni mereka yang berada di elite kekuasaan.

Sedangkan dalam politik kita ‘kan ada istilah ada “ubi ada talas, ada budi ada balas”. Yang jelas kedekatan dengan elite itu pasti memerlukan ongkos, memerlukan biaya politik. Sedangkan kalau terjadi transaksi politik maka ada implikasi terhadap HMI sendiri maupun terhadap lingkungan eksternalnya. HMI sebagai organisasi kader yang besar membutuhkan banyak dukungan logistik, dan ketika logistik mereka butuhkan mau tidak mau mereka datang kepada alumni-alumninya.

Sementara itu, alumni mereka yang berada di wilayah politik mereka membutuhkan dukungan politis sebagai legitimasi atas komunitas politiknya. Akbar Tandjung dianggap memiliki basis di HMI. Sehingga ada pertemuan yang sinergi antara kepentingan politis Akbar Tandjung di satu sisi dengan HMI. Seandainya HMI formal tidak meligitimasi kepentingan politik Akbar Tandjung maka secara politis kekuatan Akbar menjadi tidak ligitimate sebagai wakil kekuatan HMI.

Sehingga dalam satu dua tahun ini HMI menjadi banyak berhitung untuk melakukan upaya kritis. Padahal kita ini adalah organisasi kemahasiswaan yang berdiri di atas landasan moral, karena kami bukan partai politik. Sehingga tidak ada istilah untuk menyokong seseorang yang menjadi bagian dari kami untuk masuk dalam konfigurasi politik, masuk dalam struktur politik. Kalau itu terjadi dalam organisasi kemahasiswaan maka terjadi distorsi.

Bagi HMI, tentunya itu suatu cost. Karena kalau melihat kemauan politik Pak Harto, tidak ada seseorang yang tahu hal itu. Sehingga bisa jadi ini merupakan suatu upaya untuk memberikan kenyamanan kepada HMI ketika dalam situasi sosial yang memojokan HMI. Tetapi bisa juga ini menjadi kenyamanan yang menyesakan. Seperti dirangkul tapi dicekik. Dan Pak Harto punya reputasi untuk melakukan itu. Dalam konteks ini, kalau HMI terjebak dalam strategi politik kekuasaan, maka kami sebagai teman merasa sangat prihatin. Dan mudah-mudahan tidak seperti itu kejadiannya.

Sekarang ini berkembang wacana, katakanlah GMNI seolah-olah mempersoalkan posisi politik HMI, bukan dalam konteks HMI dekat dengan kekuasaan. Dan persepsi bahwa kami anti pemerintah, tidak. Kami sebagai teman punya kewajiban moral untuk sama-sama mengingatkan, bahwa kita punya wilayah yang menjadi kekuasaan kelompok Cipayung ini. Ketika ini memasuki wilayah politik praktis, maka tidak ada lagi nuansa gerakan moral. Maka kalau kelompok Cipayung ini berorientasi pada kepentingan elite tertentu, ganti saja menjadi partai politik. HMI menjadi partai HMI, GMNI menjadi partai GMNI, PMII menjadi partai PMII, PMKRI menjadi partai PMKRI. Dalam konteks saya tidak berlebihan kalau bangsa ini masih membutuhkan kelompok Cipayung yang sesungguhnya.

Jadi bisa dikatakan HMI telah memasuki wilayah politik praktis?

Kami tidak punya pretensi untuk menilai demikian. Tetapi publik mengasumsikannya demikian. Seringkali ketika ada kerjasama-kerjasama atas nama kelompok Cipayung, ketidakhadiran HMI selalu menjadi pertanyaan. Dan pertanyaan-pertanyaan ini mengandung interprestasi masing-masing berdasarkan sudut pandang orang yang bertanya dan kemuan politiknya. Sehingga oleh mereka yang berpandangan konstruktif hal demikian itu supaya dicarikan jalan keluarnya. Sedangkan bagi mereka yang punya kepentingan politik hal ini dijadikan sarana politisasi devide it impera untuk kepentingan kekuasaan. Kalau ada penilian yang demikian itu tidak bisa dihindari.

Apakah upaya pemerintah merangkul HMI ada kaitannya dengan suksesi, misalnya?

Dalam wacana kepemimpinan nasional secara politis selesai. Tetapi tipologi Pak Harto, tidak ingin konsensus itu lonjong. Dia mau bulat. Sehingga dia tidak mau ada segmen masyarakat kita yang berbicara lain. Sehingga secara politis pula Pak Harto berkepentingan untuk membulatkan itu, melalui kehadirannya dalam acara dies natalis HMI kemarin.

Kami Tidak Ingin Menjadi Perpanjangan Tangan Pemerintah

Persatuan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI), sebagai salah satu kelompok Cipayung menilai rekannya HMI dalam merayakan dies natalisnya adalah hal biasa bila kegiatan itu tidak dipolitisir. “Jika kegiatan itu dipolitisir sangat naif sekali bagi sebuah organisasi mahasiswa,” ujar Riza Primahendra, Ketua Presidium PMKRI. Menurut Riza yang baru terpilih sebagai ketua tahun lalu, yang penting adalah memperjuangkan tatanan yang adil dan demokratis.

Begitu pula saat pembentukan Forum Kebangsaan Pemuda Indonesia (FKPI), HMI diajak bergabung dalam FKPI. Tapi, HMI mengaku sibuk menyiapkan ulang tahun. Jadi,”Salah kalau ada yang menilai kami meninggalkan HMI,” tegasnya.

Untuk mengetahui sikap PMKRI terhadap pemerintah, berikut petikan wawancara TEMPO Interaktif dengan Riza Primahendra, sarjana peternakan lulusan Universitas Diponegoro (1995), melalui sambungan telepon, Selasa 25 Maret 1997. Berikut petikannya :

Sebagai anggota Kelompok Cipayung, bagaimana Anda melihat perayaan Dies natalis HMI kemarin?

Saya berpikiran positif saja. Mudah-mudahan kegiatan itu jangan menenggelamkan HMI sebagai kekuatan kritis dan demokratis. Kalau harus dirayakan mewah dan punya uang banyak, tanpa alasan politis, silahkan saja. Masyarakat yang akan menilai pantas atau tidak perayaan seperti itu. Adalah salah bila ada pernyataan yang mengklaim diri sendiri, yang mengatakan bahwa kami ini independen, berjuang untuk rakyat, dan tetap sebagai kekuatan kritis. Yang berhak menilai begitu, adalah masyarakat, benar atau salah.

Walaupun kami memiliki uang, kami tidak akan melakukan perayaan seperti itu. Sebab yang kami perjuangkan adalah mengupayakan tatanan yang adil dan demokratis.

Boleh saja ‘kan membuat perayaan mewah tapi juga memperjuangkan tatanan yang adil dan demokratis?

Apa yang bisa disumbangkan kepada masyarakat, kalau hanya berupa puja puji buat diri sendiri.

Apakah karena PMKRI tidak memiliki wakil di pemerintahan sehingga tidak mau membuat perayaan seperti HMI?

Ada atau tidak wakil PMKRI di pemerintahan, itu tidak penting bagi kami. Harus diingat, kami tetap kritis, sewaktu PMKRI punya anggota yang duduk di pemerintahan atau yang bergabung dengan CSIS. Kami tetap melakukan kritik kepada pemerintah dan CSIS.

Apa komentar Anda tentang kehadiran Pak Harto di perayaan dies natalis HMI?

Saya berpikiran positif saja, mudah-mudahan Pak Harto punya perhatian besar kepada generasi muda. Selain itu kehadiran Pak Harto sebagai salah satu strategi memberi angin kepada kelompok Islam untuk digunakan sebagai basis dan komoditi politik. Dan ini sebagai bagian dari upaya menjaga basis politiknya Pak Harto, untuk menghadapi basis politik lain.

Apakah hadirnya Pak Harto karena adanya kesamaan pandangan antara pemerintah Orde Baru dengan HMI?

Saya melihat visi Orde Baru, tentang UUD 45 dan Pancasila, agar dijalankan secara murni dan konsekuen sudah selesai. Yang jadi masalah sekarang, bagaimana pelaksanaan dari UUD 45 dan Pancasila itu. Kita semua setuju dengan Orde Baru. Begitu kita mendukungnya dulu. Sebagai organisasi mahasiswa sebaiknya kita menunjukkan idealisme untuk menujukkan sikap pembelaannya kepada masyarakat dan menyuarakan kebenaran.

Saya memang merasa kehilangan teman-teman HMI dalam beberapa peristiwa nasional terakhir. Saya tidak mengerti, mengapa mereka tidak bergandengan tangan bersama kelompok Cipayung lainnya. Mengapa teman-teman HMI tidak mau bergabung dalam pernyataan yang kami buat.

Apakah ini akibat dari kedekatan HMI dengan pemerintah?

Saya tidak mengerti. Saya hanya menyayangkan sikap teman-teman HMI sekarang. Ya, seharusnya kelompok Cipayung harus mengambil jarak dengan pemerintah, karena dengan begitu kita dapat menilai kebijakan-kebijakan pemerintah secara objektif. Tapi jika terserap ke pemerintahan, maka kita tidak bisa bersikap dan menilai secara objektif, kebijakan-kebijakan yang di keluarkan pemerintah.

Apakah PMKRI punya pandangan yang sama dengan pemerintah Orde Baru, seperti kesamaan pandangan HMI-pemerintah ?

Masalah kedekatan HMI dengan pemerintah itu relatif. Yang penting HMI dapat mewakili masyarakat dan bangsa, sebagai kekuatan moral mahasiswa. Tentunya HMI harus tegas untuk mengatakan salah dan benar. Namun, strategi yang dipilih HMI sebagai kesamaam pandangan visi dan ideologis dengan pemerintah tidak tepat. Sebab, akibat kedekatan itu kita tidak bisa berpikir kritis. Masa kita diberi gula-gula, lalu yang memberi kita pukul.

Tidak bergabungnya HMI dalam FKPI, apakah karena kekecewaan kelompok Cipayung lain?

Saya rasa ada juga rasa kecewa itu. Keberanian untuk tampil beda di HMI, sudah mulai menipis. Tapi kita harus percaya, bahwa teman-teman HMI punya itikad baik, karena kami bersama HMI pernah punya sejarah yang cukup panjang. Cara berfikir kami dalam FKPI bukan untuk meninggalkan HMI.

Ada yang menuduh kelompok Cipayung selain HMI, kini cenderung posisinya berseberangan dengan pemerintah?

Kalau visinya pemerintah mempertahankan status quo, mendukung kebijakan yang tidak manusiawi, jelas itu akan kami tentang. Banyak hal yang kami tak setuju. Seperti Pancasila yang mulai hilang keberadaannya sebagai ideologi bangsa karena adanya monopoli pengertian tentang Pancasila. Tapi, pelanggaran-pelanggaran terhadap Pancasila justeru dilakukan oleh pemerintah. Misalnya, berbagai kerusuhan yang terjadi belakangan ini karena melemahnya pengamalan Pancasila. Secara formal Pancasila sudah diterima oleh semua orsospol dan ormas.

Lalu kelemahan lainnya, ketika Pancasila sudah tidak dipandang lagi sebagai ideologi, masyarakat beralih kepada hukum yang lain. Ini ‘kan sudah tidak sesuai lagi dengan Pancasila. Bagaimana undang-undang peradilan anak bisa masuk dalam negara Pancasila. Lalu munculnya undang-undang peradilan agama, hanya untuk Islam. Harusnya ada undang-undang peradilan agama yang lain dong. Lainnya undang-undang tenaga nuklir, mengapa disahkan?! Padahal itu menimbulkan banyak protes dari masyarakat.

Bagaimana dengan penegakan demokrasi?

Secara nyata penegakan demokrasi di Indonesia hampir lenyap, bukan berarti tidak ada. Tapi, apakah penegakan demokrasi selama ini sudah pada tingkatan yang kita inginkan. Apakah bisa disebut demokratis, kalau hanya mau menerima pendapat-pendapat dari kalangan terdekatnya, sementara pendapat yang lain dikesampingkan.

Bagaimana dengan suksesi yang tinggal setahun lagi?

Masyarakat kita sudah cenderung bersikap masa bodoh. Suksesi tidak penting kok. Siapapun presidennya, asalkan sistem pemerintahan kita benar atau selama MPR dan DPR berjalan dengan baik, hal itu tidak ada masalah.

Nah, sekarang masalahnya, masyarakat sudah tidak percaya lagi dengan sistem yang sedang berjalan. Karena pergantian hanya tampak pada pucuk pimpinan, tidak kepada sistemnya. Kecuali, jika pimpinannya ganti dan sistemnya akan berubah, itu lain soal.

Apakah untuk perubahan itu PMKRI sudah punya calon presiden?

Bagi kami adanya perubahan lewat atas, kami pesimis. Karena figur-figur pemimpin yang sekarang ini adalah produk dari sistem lama dan tidak memenuhi kriteria sebagai pemimpin. Sementara yang memenuhi kriteria tidak berada dalam sistem dan tidak ada kemungkinan untuk dipilih. Ya bagaimana, kan lebih baik tidak usah ngomong.

Siapa calon yang layak menurut PMKRI?

Kami memilih bekerja di bawah saja pada tingkat mahasiswa. Kami tidak punya calon. Pokoknya kami siap bekerjasama dengan siapa saja.

Apakah PMKRI ingin dekat dengan pemerintah?

Bagi kami itu tidak penting. Kami tidak ingin menjadi perpanjangan tangan pemerintah, apalagi menjilat.

Ketika Kapal HMI Sampai di Pelabuhan Orde Baru

Banyak yang berharap HMI kembali ke “khittah” ketika dilahirkan pada tahun 1947 sebagai organisasi kritis yang mandiri. Tapi, kata seorang pengamat, HMI telah sampai pada cita-cita dalam zaman Orde Baru ini. Akan berhentikah perjuangan organisasi yang punya 500 ribu massa itu?

Banyak yang berharap HMI kembali ke “khittah” ketika dilahirkan pada tahun 1947 sebagai organisasi kritis yang mandiri. Tapi, kata seorang pengamat, HMI telah sampai pada cita-cita dalam zaman Orde Baru ini. Akan berhentikah perjuangan organisasi yang punya 500 ribu massa itu?

IBARAT sebuah bandul, Himpunan Mahasiswa Islam bisa bergerak “mendekat” atau “menjauh” dari pemerintah. Dan tampaknya, belakangan ini bandul sedang berada di posisi “mendekat” ke pemerintah. Perhelatan Dies Natalis ke-50 yang mahal — kabarnya menghabiskan Rp 750 juta — Kamis malam dua pekan lalu (20 Maret 1997) di Jakarta, tampaknya menguatkan dugaan itu. Apalagi, dalam ulang tahun organisasi yang ditaksir punya anggota 500 ribu orang di seluruh Indonesia itu, hadirlah Presiden Soeharto — sebuah kesempatan yang jarang untuk sebuah organisasi mahasiswa (Belum lama ini Pak Harto juga datang di acara Pemuda Pancasila).

Maka, serangkaian pertanyaan muncul. Yang paling banyak terdengar adalah pertanyaan seputar kemandirian organisasi mahasiswa yang didirikan oleh Drs. Lafran Pane pada 50 tahun lalu itu. Pertanyaan lain: apakah sikap HMI ini mencerminkan sikap organisasi mahasiswa yang lain? Pertanyaan seperti ini penting diajukan karena pemerintah memang tengah “berkepentingan” dengan anak-anak muda pencoblos pertama Pemilu 1997 yang jumlahnya mencapai 21 juta orang. Jika tak “digarap” dikhawatirkan anak-anak muda ini akan “malas” menggunakan hak pilihnya. Dan Golput akan meledak jumlahnya.

Bila ditilik secara umum: organisasi mahasiswa di Indonesia terdiri dari dua kelompok besar. Bila teori “bandul” tadi bisa dipakai, maka dua kelompok itu adalah kelompok yang berada “jauh” dari pemerintah (Lihat wawancara Riza Primahendra, Ketua Presidium PMKRI: “Kami Tak Ingin Menjadi Perpanjangan Tangan Pemerintah“). Dan kedua adalah kelompok yang “dekat” pemerintah.

Lahirnya, Forum Kebangsaan Pemuda Indonesia, Februari 1996, adalah salah satu bukti. FKPI yang terdiri dari delapan organisasi mahasiswa dan pemuda — Ikatan Putera Nahdlatul Ulama, Pemuda Demokrat, Generasi Muda Kristen Indonesia, PMII, GMNI, GMKI, PMKRI — lahir tanpa HMI ikut serta di dalamnya. Banyak analisa berkembang. Ada yang mengatakan HMI terlalu tergantung kepada KAHMI, alumni HMI, yang kini banyak bertebaran di kabinet, atau di jabatan-jabatan penting pemerintahan. Dengan posisi seperti itu, maka HMI pun dituduh “dekat dan sepikiran” dengan pusat-pusat kekuasaan (Lihat wawancara A. Baskara, Sekjen Presidium Gerakan Mahasiswa Nasionalis Indonesia: “Ada Ubi Ada Talas…..).

Orang pun teringat pada zaman HMI “yang lain” di awal-awal kelahirannya. Organisasi yang didirikan di Yogyakarta, 5 Februari 1947, ini dikenal sangat kritis dan independen. Karena sikap itu HMI hampir saja dibubarkan dan dilarang oleh Presiden Soekarno pada masa Demokrasi Terpimpin. Bahkan, bersama tiga organisasi mahasiswa lainnya — GMKI, GMNI, dan PMKRI — pada tahun 1972 HMI ikut melahirkan Kelompok Cipayung, sebuah kelompok yang sangat kritis terhadap kebijakan-kebijakan Orde Baru.

Cikal bakal Kelompok Cipayung adalah sebuah diskusi bertema “Indonesia yang Kita Cita-Citakan”. Ada empat ormas pemuda yang menyelenggarakan diskusi pada tanggal 19-22 Januari 1972 itu di Cipayung, Puncak, Jawa Barat. Sejumlah tokoh diundang, antara lain, Emil Salim yang membahas masalah pembangunan dan TB Simatupang (kini almarhum) yang berbicara masalah politik.

Pertemuan itu kemudian menghasilkan kesepakatan terbentuknya “Kelompok Cipayung”. Kesepakatan tersebut ditanda-tangani oleh pimpinan keempat organisasi itu, yakni Akbar Tanjung (HMI, kini Menteri Perumahan Rakyat), Soerjadi (GMNI, Ketua Umum PDI versi Kongres Medan), Chris Siner Key Timu (PMKRI, tokoh Petisi 50) dan Binsar Sianipar (GMKI).

Dorongan kuat lahirnya Kelompok Cipayung ini adalah banyaknya ketimpangan yang terjadi. Korupsi yang meluas, yang kemudian melahirkan Komite Anti Korupsi pada akhir tahun 1971. Empat organisasi ini ketika itu terkenal karena sebuah pernyataan keprihatinan yang dikeluarkan 10 Januari 1972. Di tahun itu juga Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) bergabung dengan kelompok tersebut.

Saking kritisnya, Kelompok Cipayung ini akhirnya mengundang kritik dari Akbar Tanjung, salah satu pendirinya. Akbar menilai kelompok itu kerjanya cuma mengkritik atau menyatakan ketidaksetujuan terhadap “sesuatu”. Tanjung sendiri menghendaki kelompok ini mempunyai aktivitas yang mencerminkan kebersamaan yang positif.

Dalam perjalanannya, HMI tergolong yang terbanyak menempatkan kader-kadernya di pemerintahan — misalnya Akbar Tanjung dan Abdul Gafur (Lihat wawancara Irwan Badillah, Ketua Umum IMM: “HMI Banyak Memberi Kontribusi Sejarah). Bahkan, di kabinet sekarang ini, paling tidak ada empat menteri yang alumnus HMI. Tapi duduknya para “kakak” itu bukan tak membawa resiko. Pengaruh para alumni yang berada di dalam pusat-pusat kekuasaan itu sering membuat HMI “kikuk” menata kemandiriannya.

Contohnya ketika HMI dihadapkan dengan azas tunggal Pancasila. Kabarnya, Menpora Abdul Gafur (waktu itu) berpesan “wanti-wanti” agar HMI menjadi pelopor penerimaan azas tunggal Pancasila. Menjelang Kongres HMI ke-16 di Padang pada tahun 1986, Gafur menegaskan,”Pokoknya HMI harus menerimanya. Jangan ditawar lagi.”

Praktis, persoalan asas tunggal Pancasila itu memecah dua tubuh HMI. Bahkan, sehari menjelang kongres, terbentuklah apa yang dinamakan Majelis Penyelamat Organisasi (MPO) — yang menolak asas tunggal — dan dipelopori oleh sembilan cabang, antara lain Jakarta, Bandung, Yogyakarta, dan Ujungpandang. Disamping “menguasasi” kantor pusat PB HMI di Jalan Diponegoro, mereka juga membuat pernyataan tidak mengakui kepemimpinan Ketua Umum PB HMI Harry Azhar Aziz.

Harry Azhar sendiri melihat sudah waktunya HMI dewasa dalam memandang azas tunggal. “HMI berada di dataran yang sama sesuai dengan berbagai pihak dalam melihat Pancasila,” katanya. Dengan begitu, HMI ingin meluruskan anggapan sementara pihak yang menganggap organisasi ini seolah menolak Pancasila.

Dan sikap kompromistis itu memang berlanjut di kemudian hari, sampai kepengurusan Taufiq Hidayat sekarang ini. Dan sikap seperti memang sah-sah saja (Lihat wawancara Edward Tanari, Ketua Umum GMKI: “Siapa Memanfaatkan Siapa) . Misalnya dalam menanggapi Komite Independen Pengawas Pemilu (KIPP) yang pernah marak tahun 1996 lalu, HMI dengan tegas menolak lembaga non pemerintah itu. Kabarnya, dalam menyikapi Peristiwa 27 Juli 1996 pun organisasi mahasiswa ini berbeda dengan aktivis Kelompok Cipayung lainnya. Menurut Sumber TEMPO Interaktif, para aktivis Kelompok Cipayung ingin mengeluarkan pernyataan “tegas” berkenaan dengan Kasus 27 Juli 1996 yang menelan korban tewas tiga orang dan 23 orang hilang itu. Tapi HMI rupanya enggan ambil bagian dan tidak mau menandatangani pernyataan tersebut.

Puncak dari “pemisahan” itu adalah ketika FKPI terbentuk tanpa HMI di dalamnya. Ada yang menganalisa HMI seperti “terseret” dari gerakan mahasiswa menjadi gerakan politik dengan sikapnya belakangan ini (Lihat wawancara Muhaimin Iskandar, Ketua PMII: “Dari Gerakan Mahasiswa Menjadi Gerakan Politik). Meskipun, bisa saja langkah HMI ini merupakan hasil perenungan atas sepak terjang organisasi mahasiswa itu selama ini.

Dalam bahasa Fahmi Idris, salah satu tokoh alumnus, HMI tak bisa terus menerus jadi pemberang. Dan berbagai perkembangan belakangan mengharuskan HMI menyesuaikan diri (Lihat wawancara Fahmi Idris: “Bisa Saja Gatotkaca Menjadi Arjuna). Meskipun, Nurcholish Madjid menilai HMI bersikap ambivalen terhadap pemerintah, sama halnya dengan sikap Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (Lihat wawancara Nurcholish Madjid: “Jangan Mengukur Baju Orang Dengan Badan Sendiri).

Pendapat Victor Tanja, pendeta yang menulis disertasi soal HMI, menarik disimak. Kedekatan HMI dengan pemerintah, juga dengan ABRI, kata Victor adalah konsekuensi dari sejarah berdirinya HMI. Jika ormas pemuda yang lain berdiri pasca perang kemerdekaan, HMI justru berdiri ketika republik bergolak. Dan sekarang ini, menurut Tanja, HMI melihat apa yang dilakukan pemerintah sekarang ini dengan memberikan tempat “terbaik” untuk Islam, sudah sesuai dengan apa yang dicita-citakan HMI: Sebuah Indonesia yang pro Islam, meskipun bukan negara Islam. Banyaknya anggota HMI dan umat Islam di kabinet dan pemerintahan adalah bukti bahwa pemerintah memang mengakomodasi Islam, khususnya HMI (Lihat wawancara Victor Tanja: “Orde Baru Sesuai Dengan Cita-Cita HMI).

Tampaknya, ibarat kapal, HMI rupanya sudah sampai di pelabuhan Orde Baru. Masa-masa “madu” dalam hubungan pemerintah dengan kelompok Islam di negara ini, akhirnya juga dinikmati HMI. Masalahnya, bukankah di “pelabuhan Orba” ini banyak soal yang harus dibereskan? Korupsi masih cukup tinggi, kolusi yang mengkhawatirkan dan kesenjangan sosial masih menganga.(Lihat Wawancara Aspianor Sahbas, Ketua PAO PB HMI: “HMI Akan Tetap Merawat Kemandiriannya)

Jadi, semangat “HMI 1947” rasanya memang masih diperlukan.