Ada Ubi Ada Talas…..

Tonggak-tonggak sejarah kebangsaan Indonesia selalui diwarnai oleh sepak terjang pemuda dan mahasiswanya. Tercatat kelahiran Indonesia -setelah lama berada di rahim penjajah- juga tidak lepas dari peran serta yang aktif dari pemuda. Demikian pula ketika Orde Baru muncul memegang tampuk kekuasaan di tahun 1966. Energi pemuda juga disalurkan untuk merombak tatanan lama menjadi tatanan baru.

Di situlah HMI mengalami pergulatan sejarah yang panjang. Sebagai organisasi kemahasiswaan yang bercorak intelektual kritis dengan landasan moral ini, telah menuai para cendekia seperti Nurcholis Madjid, Dawam Rahardjo dan sederet nama-nama lainnya.

Oleh karena itu banyak kelompok yang risau ketika HMI dinilai terlalu dekat dengan kekuasaan. Salah satunya adalah anggota kelompok Cipayung, Gerakan Mahasiswa Nasionalis Indonesia (GMNI), yang melahirkan tokoh sekaliber Megawati Soekarnoputri atau Siswono Yudohusodo. Menurut Sekjennya, A. Baskara, karena HMI dipakai sebagai alat untuk melegitimasi kekuasaan, dia dirangkul tetapi dicekik. “Kalau itu terjadi, kami sebagai teman merasa prihatin,” kata alumnus FISIP Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta.

Berikut wawancara Edy Budiyarso dari TEMPO Interaktif dengan dengan A. Baskara, 30 tahun, di markasnya di kawasan Rawa Sari Jakarta Pusat, Rabu 26 Maret 1997.

Komentar Anda tentang pesta dies natalis HMI?

Dengan kejadian itu kita secara tidak sadar telah menempatkan HMI sebagai fokus sentral dalam konfigurasi alur besar politik. Seolah-olah manejemen politik pemuda ada di tangan HMI.

Karena kedekatannya dengan pemerintah?

Ya, itu yang pertama. Dan ini memang menarik, karena dalam tradisi perpolitikan kita ada nuansa pengulangan sejarah. Seperti yang dulu pernah terjadi pada tahun 1965 ketika GMNI begitu dekat dengan Soekarno. Sehingga saya juga tidak tahu kalau pers seolah-olah menempatkannya seperti GMNI dulu. Tetapi menurut saya hal ini terjadi, karena wajah politik kita yang bercorak patron-klien. Apalagi kultur politik kita secara given terdiri dari faksi-faksi di masyarakat. Ada pemisahan-pemisahan politik misalnya ada Islam, Katolik, Sosialis, Nasionalis dan komunis laten.

HMI, sebagai organisasi mahasiswa yang menjadi simbol kekuatan Islam, tentunya tidak bisa dilepaskan dari manejemen konflik yang dibuat oleh kekuasaan. Sedangkan Presiden Soeharto sebagai pengendali kekuasaan negara memerlukan legitimasi dari komunitas Islam. Dan, HMI yang masuk dalam konfigurasi politik Islam memiliki peran strategis. Oleh karenanya Pak Harto merasa berkepentingan dengan HMI. Bisa jadi HMI menjadi alternatif ketika ICMI dianggap tidak akomodatif dengan kepentingan politik kekuasaannya.

Apakah sampai sejauh itu?

Bisa saja. Orde Baru juga berangkat dari manajemen politiknya terhadap pemuda dan mahasiswa. Pemuda dan mahasiswa dijadikan instrumen politik kekuasaan. Dari situ secara sosiologis membuat polarisasi kekuatan pemuda sehingga potensi kekuatan organisasi pemuda dapat dikontrol. Dan ini tidak hanya kepada organisasi kepemudaan, terjadi pula pada ormas Islam, partai politik. Menurut saya ini adalah prestasi Orde Baru dengan mengelola pluralitas masyarakat untuk menyokong kekuasaan politiknya.

Belum lagi sejarah organisasi kemahasiswaan kita yang selalu ada blok-blok. Sekarang ini memang cuma ada dua kalau tidak kanan atau kiri. Kiri yang saya maksud bukan ideologis tetapi kritis terhadap kekuasaan. Kelompok-kelompok ini terlihat dalam fenomena kebangsaan yang berjalan sepertinya ada dua blok. Ada yang di dalam betul dan ada yang di luar betul. Dan HMI kelihatannya mengambil peran di dalam itu sehingga Pak Harto merasa berkepentingan.

Saya kira wajar organisasi formal dalam diesnya dihadiri oleh presiden. Tetapi pertanyaannya kenapa organisasi kemahasiswaan yang lain tidak. Padahal dalam undang-undang keormasaan semua itu diakui. KNPI saja tidak dibuka oleh presiden. Sehingga menurut saya, ini politis. Ini lepas dari kesibukan presiden tetapi posisi dari ormas kepemudaan KNPI ataupun kelompok kepemudaan dan kemahasiswaan itu ditempatkan pada posisi yang sama, seharusnya. Artinya tidak ada perlakuan yang istimewa dong, karena kita ini organisasi yang formal semua.

Apa ada dampaknya bagi organisasi kepemudaan dan kemahasiswaan yang lain?

Menimbulkan kesan, dalam kelompok-kelompok organisasi kepemudaan seperti bermusuhan dengan HMI. Padahal itu tidak terjadi. Kekuasaanlah yang membuat seperti itu. Sehingga yang muncul adalah image konflik horisontal di mana-mana itu ada.

Anda mengkritik sikap HMI itu ?

Ya, sebenarnya tidak perlu kritik. Yang penting adalah perspekstif kita tentang kebangsaan itu jelas.

Kritik Anda terhadap pemerintah?

Kami kelompok Cipayung yang sering mengkritisi kesesakan politik yang ada sekarang ini. Seperti kekuasaan yang mempersonal, lembaga legislatif yang kurang berfungsi. Itu yang kami kritisi. Tetapi bukan berarti kami anti pemerintah.

Dalam hal ini HMI mengambil sikap untuk tidak sejalan?

Saya tidak bisa mengklaim seperti itu. Tetapi itu bisa dilihat dari intensitas pertemuan kami dalam kelompok Cipayung dan belakangan HMI jarang muncul. Ukuran-ukuran kritis adalah sejauh mana anak muda itu mampu mengkritisi kekuasaan yang tidak sesuai lagi dengan amanat negara proklamasi. Ini yang kami kritis. Mungkin saja HMI punya cara lain mengkritisinya.

Ini memang bagian strategi organisasi masing-masing. Kesan yang muncul adalah HMI cenderung hati-hati, tidak mampu mengkritisi kekuasaan karena banyaknya alumni-alumni HMI yang berada pada kekuasaan, sekarang. Dan sebenarnya tidak di situ letaknya. Karena banyak juga alumni-alumni GMNI yang di pemerintahan, tetapi kami tetap kritis terhadap mereka.

Jadi bisa dikatakan menurut Anda HMI sudah terjebak dalam hubungan patron-klien dengan alumni-alumni mereka di Kahmi?

Hal itu memang menjadi tradisi HMI dan organisasi yang lain. Tetapi yang ada pada HMI adalah alumni mereka yang terlalu dominan dalam supra atau infra struktur politik. Itu yang menyebabkan interaksi HMI dan KAHMI-nya menjadi suatu hubungan interdependensi antar mereka. Terutama kepada alumni-alumni mereka yang berada di elite kekuasaan.

Sedangkan dalam politik kita ‘kan ada istilah ada “ubi ada talas, ada budi ada balas”. Yang jelas kedekatan dengan elite itu pasti memerlukan ongkos, memerlukan biaya politik. Sedangkan kalau terjadi transaksi politik maka ada implikasi terhadap HMI sendiri maupun terhadap lingkungan eksternalnya. HMI sebagai organisasi kader yang besar membutuhkan banyak dukungan logistik, dan ketika logistik mereka butuhkan mau tidak mau mereka datang kepada alumni-alumninya.

Sementara itu, alumni mereka yang berada di wilayah politik mereka membutuhkan dukungan politis sebagai legitimasi atas komunitas politiknya. Akbar Tandjung dianggap memiliki basis di HMI. Sehingga ada pertemuan yang sinergi antara kepentingan politis Akbar Tandjung di satu sisi dengan HMI. Seandainya HMI formal tidak meligitimasi kepentingan politik Akbar Tandjung maka secara politis kekuatan Akbar menjadi tidak ligitimate sebagai wakil kekuatan HMI.

Sehingga dalam satu dua tahun ini HMI menjadi banyak berhitung untuk melakukan upaya kritis. Padahal kita ini adalah organisasi kemahasiswaan yang berdiri di atas landasan moral, karena kami bukan partai politik. Sehingga tidak ada istilah untuk menyokong seseorang yang menjadi bagian dari kami untuk masuk dalam konfigurasi politik, masuk dalam struktur politik. Kalau itu terjadi dalam organisasi kemahasiswaan maka terjadi distorsi.

Bagi HMI, tentunya itu suatu cost. Karena kalau melihat kemauan politik Pak Harto, tidak ada seseorang yang tahu hal itu. Sehingga bisa jadi ini merupakan suatu upaya untuk memberikan kenyamanan kepada HMI ketika dalam situasi sosial yang memojokan HMI. Tetapi bisa juga ini menjadi kenyamanan yang menyesakan. Seperti dirangkul tapi dicekik. Dan Pak Harto punya reputasi untuk melakukan itu. Dalam konteks ini, kalau HMI terjebak dalam strategi politik kekuasaan, maka kami sebagai teman merasa sangat prihatin. Dan mudah-mudahan tidak seperti itu kejadiannya.

Sekarang ini berkembang wacana, katakanlah GMNI seolah-olah mempersoalkan posisi politik HMI, bukan dalam konteks HMI dekat dengan kekuasaan. Dan persepsi bahwa kami anti pemerintah, tidak. Kami sebagai teman punya kewajiban moral untuk sama-sama mengingatkan, bahwa kita punya wilayah yang menjadi kekuasaan kelompok Cipayung ini. Ketika ini memasuki wilayah politik praktis, maka tidak ada lagi nuansa gerakan moral. Maka kalau kelompok Cipayung ini berorientasi pada kepentingan elite tertentu, ganti saja menjadi partai politik. HMI menjadi partai HMI, GMNI menjadi partai GMNI, PMII menjadi partai PMII, PMKRI menjadi partai PMKRI. Dalam konteks saya tidak berlebihan kalau bangsa ini masih membutuhkan kelompok Cipayung yang sesungguhnya.

Jadi bisa dikatakan HMI telah memasuki wilayah politik praktis?

Kami tidak punya pretensi untuk menilai demikian. Tetapi publik mengasumsikannya demikian. Seringkali ketika ada kerjasama-kerjasama atas nama kelompok Cipayung, ketidakhadiran HMI selalu menjadi pertanyaan. Dan pertanyaan-pertanyaan ini mengandung interprestasi masing-masing berdasarkan sudut pandang orang yang bertanya dan kemuan politiknya. Sehingga oleh mereka yang berpandangan konstruktif hal demikian itu supaya dicarikan jalan keluarnya. Sedangkan bagi mereka yang punya kepentingan politik hal ini dijadikan sarana politisasi devide it impera untuk kepentingan kekuasaan. Kalau ada penilian yang demikian itu tidak bisa dihindari.

Apakah upaya pemerintah merangkul HMI ada kaitannya dengan suksesi, misalnya?

Dalam wacana kepemimpinan nasional secara politis selesai. Tetapi tipologi Pak Harto, tidak ingin konsensus itu lonjong. Dia mau bulat. Sehingga dia tidak mau ada segmen masyarakat kita yang berbicara lain. Sehingga secara politis pula Pak Harto berkepentingan untuk membulatkan itu, melalui kehadirannya dalam acara dies natalis HMI kemarin.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *