Program Studi Pertanian di Persimpangan Jalan
Oleh: Mulyanto*
Pagelaran memperebutkan kursi SNMPTN telah selesai dihelat, memasuki awal ramadhan ini, adik adik yang diterima di SNMPTN memulai lembaran baru dengan embel-embel MAHASISWA. Ada rasa bangga dalam dada mereka ketika bisa berkuliah dan mampu menembus persaingan yang sangat-sangat keta.
. Ada yang luar biasa bagi peminat kursi SNMPTN, yakni jumlah pesertanya tidak pernah mengalami kemerosotan tetapi sebaliknya setiap tahun selalu terjadi peningkatan. Pada tahun ini secara nasional peserta yang berkompetisi sudah menembus angka 400.000 dibanding tahun lalu sekitar 380.000 peserta. Itupun panitia tingkat nasional masih kewalahan dengan menambah 30.000 formulir. Pembengkakan jumlah peserta terutama pada jurusan IPA dan IPC ( kompas.com./26/6/2009).
Prodi-prodi favorit masih menjadi tujuan para peserta, terutama prodi yang langsung bersentuhan dengan prospek yang menjajikan sebagai pijakan untuk meniti karir. Sebagai ilustrasi dari data yang terekam pada tahun lalu, prodi kedokteran msih merupakan prodi yang tidak pernah sepih peminat.
Diterima dan bisa berkuliah melalui jalur SNMPTN bukan saja sebuah prestasi mampu melewati ketatnya sebuah persaingan. Tetap juga merupakan prestise tersendiri, karena kuliah di PTN bisa menaikkan imej keluarga di masyarakat.
Namun faktor terakhir yang lebih dominan diantara keduanya adalah masalah pulus (duit), sebab dari beberapa program saringan masuk diselenggarakan oleh PTN, jalur inilah yang tidak menguras kantong terlalu dalam.
Dibalik kegembiraan para calon mahasiswa baru PTN, ada nada keprihatinan dirasakan oleh para penyelengara PT. Kekhawatiran itu timbul karena ada beberapa program studi kekurangan peminat. Ada sekitar 9.019 bangku kosong alias tidak diminati dari 22% calon mahasiswa yang diterima dari keseluruhan 378.054 orang peserta pengikut SNMPTN (Kompas 1/8). Dari angka di atas, 2.894 kursi kosong tanpa peminat berasal dari program studi pertanian dan peternakan (Kompas 2/8).
Melihat fakta seperti ini, koordinator penilai SNMPTN, Priyo Suprobo, memaparkan kekhawatiran tentang anomali yang sedang terjadi dan mungkin akan berlanjut, mengingat Indonesia sebagai negara agraris dan pernah dikenal berswasembada pangan (Kompas 1/8).
Kegelisaan itu langsung mendapat respon kilat dari Direktur Jendral Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional, Fasli Jalal, bahwa untuk mengatasi turunnya minat calon mahasiswa mengambil jurusan pertanian, pendidikan pertanian ke depan akan difokuskan pada dua bidang, yakni agroteknologi/agro-ekoteknologi dan agribisnis. Selain itu, praktik-praktik teknologi modern, teknologi informasi, dan komunikasi juga akan diperkuat. Menurutnya berkurangnya minat lulusan SMA memilih bidang pertanian karena bidang tersebut terlalu spesifik dan bersifat monodisiplin, serta berorientasi pada aspek pendalaman ilmu (Kompas 2/8). .
Penulis hanya bisa mengelus dada, melihat reaksi pemerintah sebagai penyelenggara PT tertinggi yang selalu terlambat dalam mengambil sebuah kebijakan kedepan, akan tetapi respon tersebut selalu diimbangi dengan tindakan sesaat yang lebih bersifat emosional.
Mungkin saja dengan menempelkan teknologi pada program pertanian mampu menjadi sebuah solusi alternatif. Tetapi jangan sampai memberi status khusus kepada teknologi seolah-olah teknologi adalah suatu hukum alam (Naisbith, 2001:21). Sehingga sayang sekali kalau pada perjalanannya nanti, kecenderungan teknologinya lebih dikedepankan dibanding dengan program pendidikan pertanian di Indonesia yang mempunyai ciri khas tersendiri.
Keunikan serta keautentikan program studi pertanian yang bersentuan langsung dengan sosio kultural bangsa Indonesia, merupakan warisan tak ternilai dalam pengembangan budaya dasar keilmuan yang pernah ada dan mungkin pula akan membawa Indonesia menjadi rujukan keilmuan secara global. Seperti diungkapkan oleh Naisbith, “tatkala dalam zaman yang serba hitech sudah sulit membedakan yang nyata dari yang semu, dunia bisnis justru merangkul erat keunikan dan keautentikan. Keunikan dan Keautentikan dapat sangat berhasil secara komersial” ( 2001:23).
Sehingga vonis yang dijatuhkan bahwa program pertanian terlalu spesifik dan bersifat monodisiplin, serta berorientasi pada aspek pendalaman ilmu menjadi tamparan tersendiri pada proses pengajaran yang selama ini sudah berjalan. Karena, disisi lain Wakil Rektor Bidang Akademik dan Kemahasiswaan IPB, Yonny Koesmaryono mengungkapkan kondisi menyedihkan ini karena pemerintah tidak serius menempatkan pertanian sebagai motor penggerak pembangunan.
Lebih menohok lagi, Guru besar sosial ekonomi dan industri UGM, M Maksum, memaparkan adanya kecenderungan generasi sekarang meninggalkan program studi pertanian sebagai pilihannya karena nilai tambah dari sektor ini telah terhadang dan tidak ada potensi yang menjanjikan bagi sarjana pertanian (Kompas 2/8)
Kalau mau menarik benang merah, mengapa proritas utama para peserta memilih program studi tersebut dan memilah program-porgram tertentu menjadi program favorit, seperti kedokteran., Teknik Informatika, Teknik Industri dan Teknik elektro yang setiap tahun selalu kebanjiran peminat. Hal ini tidak terlepas bayang-bayang indah masa depan yang diciptakan oleh para penyelenggara pendidikan.
Pertama, pada tahap pendidiklan dasar, pondasi pemikiran siswa sudah mulai dicuci otak bahwa pendidikan bukan lagi merupakan long life education, dimana dasar sebuah pendidikan dan pengajaran adalah mempelajari sebuah ilmu didasarkan dari suatu minat untuk mencintai, bergumul dan mengembangkan ilmu itu sendiri. Akan tetapi paradigmanya sudah bergeser bahwa menuntut ilmu bagian dari long life investment, mencari dan menekuni sebuah ilmu untuk menggapai keberhasilan secara materi menjadi faktor dominan tujuan pokok anak didik.
Pergeseran perilkau itu terus berlanjut. Para calon mahasiswa sebagai konsumen semakin tercerahkan dengan membanjirnya informasi di benak mereka. Seorang enlightened customer, bukan konsumen yang berada dalam gelap seperti dulu lagi. Tapi, dia punya pandangan jauh ke depan dan bisa mempengearuhi orang lain supaya bisa ikut percaya pada visinya itu. Seorang konsumen yang tercerahkan adalah konsumen yang dalam menentukan pilihan pembelihannya selalu memakai pertimbangan jangka panjang (Kertjaya, 1996:17).
Fenomena ini semakin tumbuh subur karena pemerintah secara berkala memberi pupuk dengan kebijakan yang inkonsisten serta pola pengajaran mengacu pada unsur kognitif. Ketika polemik terus berkembang, muncullah dewa penolong, Lembaga Bimbingan Belajar yang semakin lama keberadaannya tidak bisa dipisahkan dengan lembaga pendidikan formal. Bahkan institusi formal pun, kalau mau dikatakan, saat ini menjadi kepanjangan tangan LBB.
Ada kurikulum tambahan yang hukumnya ‘wajib’ bagi mereka yang sudah duduk ditingkat akhir untuk ikut LBB yang diadakan oleh sekolah secara internal atau ikut LBB diluar. Dan irosnisnya hampir sebagian besar para pengajar, siswa bahkan orang tua percaya dengan mengikuti program tersebut, prestasi atau lebih tepatnya nilai mereka akan ikut terdongkrak.
Bagi mereka yang sudah duduk ditingkat akhir SMU, ada target ganda yang diinginkan, yakni tidak hanya lulus Ebtanas dengan perolehan NEM dengan standar minimal yang telah ditetapkan oleh pemerintah akan tetapi pencapaian berikutnya lolos saringan SNMPTN di prodi favorit.
LBB sebagai lembaga penganut mashab komersial tidak menyiakan-nyiakan peluang ini. Untuk mempromosikan lembaga mereka, peserta program diprovokasi untuk bisa menembus PTN dan prodi favorit yang menjadi incaran. Mereka dipacu latihan bank soal SNMPTN dengan metode praktis. Metode itulah yang mereka jual kepada para peserta untuk mencapai keberhasilan sesaat. Karena keberhasilan mereka merupakan nilai tambah tersendiri bagi LBB tersebut untuk berpromosi menggaet peserta program pada tahun berikutnya.
Kedua, ketika stempel kapitalisasi pendidikan terlanjur menempel pada dunia pendidikan di Indonesia, sehingga sangat sulit menghapus brand tersebut yang sudah berposisi di otak masyarakat. Untuk meredam komentar-komentar miring tersebut, PTN, yang suatu saat bermetamorphose menjadi BHMN, apalagi yang sudah berganti baju menjadi BHMN seharusnya mulai membentuk peta kognitif, meminjam istilah Rhenald Kasali, tidak hanya untuk mereformulasikan tujuan dasar pendidikan, tetapi lebih mendesak mensinergikan dikotomi yang selama ini berkembang antara penekanan aspek funngsi yang mempunyai peran idealis menelorkan para cerdik cendekia bebas dan inovatif untuk bertapak tilas tapal-tanpa-batas rdengan realitas dunia usaha sebagai partner strategis yang bisa membumikan ide-ide serta menelorkan suatu karya ilmiah, yang merupakan pijakan dari PP No.15/1994, berdaya guna bagi perkembangan dunia usaha, sudah menjadi keharusan.
&&&&&&&&&