HMI Banyak Memberi Kontribusi Sejarah

“Yang dekat dengan kekuasaan itu bukan HMI dan tapi alumninya secara personal,”

Benarkah HMI dekat kekuasaan? Irwan Badillah, Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah, menilai HMI banyak diuntungkan para alumninya. “Yang dekat dengan kekuasaan itu bukan HMI dan tapi alumninya secara personal,” kata anak Ambon yang terpilih sebagai Ketua IMM periode 1997-2000. Berikut wawancara Mustafa Ismail dari TEMPO Interaktif dengan Irwan Badillah, 27 tahun, di kantor IMM di Jalan Menteng Raya Nomor 62 Jakarta, Selasa malam (25 Maret 1997) lalu. Petikannya:

Bagaimana dengan acara Dies Natalis HMI yang cukup mewah baru-baru ini?

Saya pikir kader-kader HMI cukup berhasil dan menduduki posisi-posisi yang sangat menguntungkan, katakanlah di birokrasi. Sehingga ada kemudahan untuk menyelenggarakan acara dengan biaya cukup besar. Itu juga penyebab bagi lancarnya jaringan komunikasi mereka, bahkan sampai dengan presiden. Dan pada akhirnya yang menentukan adalah kader-kader yang mumpuni yang dipunyai oleh HMI.

Apakah itu tidak mempengaruhi kemandirian HMI sendiri?

Sebenarnya mempengaruhi. Karena salah satu idealisme HMI adalah bagaimana membangun ummat. Otomatis yang dimaksud dengan pengembangan keummatan ini kan kontrol sosial. Ini saya lihat yang menjadi kurang penekanannya (aksentuasi), karena secara langsung berhadapan dengan alumni HMI yang sekarang duduk di lembaga sosial-politik, katakanlah di birokrasi. Kemudian juga ada kedekatan yang sangat intens antara PB HMI dengan KAHMI.

Bukankah itu menjebak HMI pada ketidakmandirian?

Itu tergantung pada kader dan pimpinannya. Memang ada kesan bahwa HMI kehilangan idealisme. Menurut saya, sebabnya, ya, karena para alumni berada pada posisi-posisi itu. Pada akhirnya mereka ‘kan harus akomodatif.

Bagaimana Anda melihat kedekatan HMI dengan Pak Harto dan pemerintah?

Kalau HMI secara kelembagaan, saya sendiri tidak bisa jelaskan. Menurut yang saya lihat, yang dekat itu pribadinya. Secara kelembagaan semuanya sama. Tapi bagi HMI kan alumninya yang dekat. Jadi kedekatan itu secara individual. Tapi sejarah ‘kan menulis, HMI kan banyak memberi kontribusinya terhadap sejarah.

Mengapa sikap pemerintah berbeda-beda terhadap organisasi-organisasi lainnya?

Seharusnya memang tidak membeda-bedakan. Kemudian ‘kan dilihat juga bagaimana peran-peran organisasi itu sendiri. Karena ‘kan tidak sedikit juga organisasi yang punya papan nama saja.

Apa kritik Anda terhadap HMI?

Saya lihat memang HMI kehilangan idealisme dalam membela masyarakat bawah. Dalam arti, kalau melihat idealisme HMI itu ‘kan paling tidak juga memperjuangkan atau membahasakan fenomena-fenomena masyarakat sekarang yang cenderung terpinggir. Tidak hanya di tingkat cabang, di tingkat pengurus besar juga harus begitu. Tingkat kritis terhadap situasi yang ada sekarang, khususnya terhadap pemerintah melemah. Seharusnya, apapun kondisinya, idealisme itu harus tetap kita kedepankan. Terlepas sekarang ada alumni atau ada kader yang jadi ini. Independensi dan perjuangan-perjuangan kerakyatan seharusnya tetap menjadi penekanan mereka.

Jelasnya?

Secara kelembagaan independensinya tetap. Tapi karena cukup banyak aluminya yang berhasil, ya, barangkali mereka susah mengatur keseimbangannya itu. Kalau melihat sejarahnya, HMI pada masa-masa pergolakan itu kan punya semangat-semangat melawan tirani, memperjuangkan masyarakat terpinggirkan. Saya kira semangat-semangat itu juga harus dihidupkan terus. Itu yang sekarang sudah berkurang.

Artinya mereka sekarang lebih mengarah kepada kekuasaan?

Saya tidak mengatakan demikian. Saya bersandar pada rujukan-rujukan filosofi dasarnya, definisi dari idealisme perjuangan. Kalau dalam hal tertentu ada yang punya kepentingan kepada kekuasaan, saya kira semua memang punya kecenderungan ke sana. Meski pun barangkali format dan mekanismenya berbeda antara satu organisasi dengan organisasi lainnya, baik secara organisatoris maupun kedekatan-kedekatan informal.

Bagaimana IMM mengambil sikap terhadap kekuasaan?

Orientasi IMM itu menciptakan sumber daya yang punya daya tawar. Jadi kita tidak melakukan pendekatan yang sifatnya politik. Tapi kita menyiapkan kader yang mumpuni, yang punya daya tawar. Dan silahkan siapa saja untuk melihat potensi itu. Kita menciptakan kader-kader yang tangguh.

Baru-baru ini lahir Forum Kebangsaan Pemuda Indonesia tanpa HMI, menurut Anda?

Saya tidak sempat mengikuti jauh mengenai itu, karena bertepatan dengan persiapan muktamar di Medan. Saya belum dapat informasi yang jelas mengenai itu.

Apakah tidak ada keinginan untuk mengundang Pak Harto dalam acara-acara IMM?

Kalau keinginan tetap ada. Tetapi keinginan itu juga harus kita diskusikan dulu, latar belakangnya apa. Apa hanya sekedar akses daya tawar di bidang politik, misalnya. Itu harus dibahas dulu.

Tapi bukankah dengan dekat dengan Pak Harto bisa memuluskan kegiatan-kegiatan IMM?

Saya kira bisa saja begitu. Tidak dekat pun, juga tidak menghalangi. Itu tidak menjadi satu faktor bagi kegiatan IMM bagi pengembangan kelembagaan. Saya pikir kedekatan dan kejauhan juga punya parameter. Jauh secara fisik belum tentu jauh secara formal. Dekat dalam pengertian fisik belum tentu juga dekat dalam hal-hal yang lain. Apalagi bila kita menggunakan kaca mata politik untuk melihat hal itu.

Oh ya, bagaimana Anda melihat demokrasi di Indonesia?

Tolak ukur kita demokrasi yang bagaimana. Yang kita terapkan sekarang itu demokrasi Pancasila. Sekarang kita mengukur demokrasi itu menggunakan ukuran yang mana. Apakah kita memakai ukuran demokrasi Barat. Jadi demokrasi yang dikembangkan di Indonesia, demokrasi yang berdekatan dengan kultur masyarakat Indonesia. Itulah yang dimaksud dengan Demokrasi Pancasila.

Bagaimana pendapat Anda terhadap suksesi?

Untuk IMM ada kriterianya sendiri. Sudah disepakati pada Tanwir Muhammadiyah di Surabaya. Kongkritnya, mengenai itu kita serahkan kepada musyawarah, kepada Sidang Umum MPR 1998.

Menurut Anda sendiri apakah suksesi 1998 itu cukup mendesak untuk dilakukan?

Saya belum dapat katakan perlu atau tidak. Karena ini menyangkut kesinambungan pembangunan. Parameter kita, parameter pengalaman. Kita belum bisa melihat ke depan, yang boleh jadi bagus dan boleh jadi tidak. Sepanjang pimpinan ini masih wajar dan dimungkinkan, saya kira tidak ada masalah.

Bagaimana tanggapan Anda terhadap kemungkinan terpilihnya kembali Pak Harto sebagai presiden?

Kalau pada akhirnya Sidang Umum MPR memutuskan itu, tidak ada persoalan.

Apa tidak perlu ditampilkan tokoh lain agar calon tidak tunggal?

Kalau ada yang diberikan kesempatan, kita mendukung sekali. Bagi IMM sendiri, soal terjadi suksesi atau tidak, tidak persoalan. Karena kita melihat proses pembangunan. Mudah-mudahan wakil rakyat nanti dapat menyerap aspirasi dan melihat stabilitas pembangunan negara di masa akan datang.

Menurut Anda apa perlu membatasi jabatan presiden?

Sekalipun tidak ada pembatasan, kalau ada aspirasi baru suksesi bisa saja terjadi. Dan itu sangat tergantung pada wakil-wakil rakyat. Bagaimana pun menghadapi negara yang terus berkembang, dan penduduknya terus meningkat, kan harus ada kaderisasi juga. Kalau ada, ya silakan tampil.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *