HMI Akan Tetap Merawat Kemandiriannya

HMI akan tetap merawat independensi. Sampai kapan pun. Bagi HMI indepedensi itu merupakan ciri dan karakter.

Ada “kado” khusus yang dipersembahkan buat HMI dalam memperingati usia emasnya, 50 tahun, pada 5 Februari lalu. Yang pertama, diresmikannya Gedung Insan Cita (GIC) yang merupakan tempat HMI nanti beraktivitas sehari-hari. Kado kedua, acara peringatan dies natalis HMI itu dibuka dan dihadiri Presiden Soeharto. Tapi, bertepatan dengan hari peresmian GIC, Kelompok Cipayung membentuk Forum Kebangsaan Pemuda Indonesia (FKPI) tanpa HMI berada di dalamnya.

Ini memang bukan “kado baik” untuk HMI. Karena HMI adalah salah satu penggagas awal Kelompok Cipayung. Sehingga muncul penilaian, bahwa hubungan HMI dalam Kelompok Cipayung sekarang kurang seiring. Namun, Ketua Pembinaan Aparat Organisai PB HMI, Aspianor Sahbas (30 tahun), membantah penilaian itu. “Kehadiran mereka dalam acara dies natalis HMI menunjukkan bahwa diantara Kelompok Cipayung itu tidak terjadi apa-apa,” kata alumnus FKIP Unlam ini kepada Hani Pudjiarti dan Mustafa Ismail dari TEMPO Interaktif yang mewawancarainya Kamis pagi (27/3) lalu di Kantor PB HMI Jalan Diponegoro, Jakarta. Berikut petikannya:

Bagaimana perkembangan HMI selama 50 tahun?

Sejak dilahirkan 5 Februari 1947, tujuan HMI adalah untuk mempertahankan keadaan negara Republik Indonesia yang sudah merdeka pada 17 Agustus 1945. HMI menyumbangkan siar Islam di negeri tercinta ini. Perkembangan selanjutnya karena HMI sebagai organisasi perjuangan tentu untuk meningkatkan kualitas mahasiswa, maka yang ditingkatkan ada pada proses pengkaderan. Kaderisasi merupakan inti program HMI dalam mencapai tujuan yang dicanangkan sejak berdirinya HMI. Karena tidak semata-mata sebagai organisasi perjuangan, kita mulai berperan pada kehidupan masyarakat dan kebangsaan. Ini sebagai perkembangan yang muncul di masyarakat sebagai tanda sejak berdirinya banyak tokoh-tokoh HMI yang terlibat perjuangan fisik di akhir tahun lima puluhan. Di tahun 1966 secara organisatoris HMI aktif bersama komponen masyarakat menumpas G30S-PKI. Sampai saat ini HMI sudah cukup banyak mendistribusikan kader-kadernya di kalangan swasta, birokrat, berbagai sektor kehidupan pembangunan.

Selain pengkaderan program andalan lainnya?

Kalau program andalan ya sistem pengkaderan tadi. Bentuk lain partisipasi terhadap urusan-urusan pembangunan, perguruan tinggi bidang kemahasiswaan tetap ada, bidang kewanitaan dan bidang kekaryaan.

Benarkah HMI memotivasi anggotanya menjadi tokoh seperti beberapa alumninya di kabinet?

Mungkin salah satunya itu. Salah satu pengalaman saya yang memotivasi masuk HMI karena melihat orang-orang yang masuk HMI banyak jadi tokoh. Tetapi tidak semua yang masuk HMI termotivasi itu, bisa saja karena pacarnya ada di sana dia ikut masuk. Kalau dalam proses perjalanannya jadi tokoh itu soal lain. Jadi banyak faktor motivasi untuk masuk HMI. Motivasi lainnya karena kelihatan banyak senior membantu yuniornya dalam proses perkuliahan. Misalnya membantu memberikan diktat-diktat yang dikasihkan ke kita. Motivasi lain terbantu dalam proses perkawanan, ketenangan pribadi karena ada nilai-nilai keagamaan.

Hubungan HMI dengan alumni?

Kalau mau dikatakan peran alumni dan senior banyak membantu menopang semua kegiatan HMI. Dan itu dilakukan atas dasar tolong-menolong bukan paksaan atau keharusan. Ini terus terjadi sampai hubungan kami ke yunior-yunior kami. Begitupun sebaliknya.

Selama 50 tahun apa saja kendala HMI?

Banyak, pertama kalau dilihat sebagai organisasi kepenjuangan kondisi sekretariat saja seperti sekarang ini. Tapi alhamdulillah belum lama ini kita baru saja meresmikan gedung Graha Insan Kencana (yayasan ini diketuai Akbar Tanjung dan didanai KAHMI, Red.) di Depok. Dan mudah-mudahan akan membuka semangat baru bagi adik-adik HMI yang akan melanjutkan kepemimpinan HMI di masa mendatang. Saya kira kendala-kendalanya terlihat dari sangat terbatasnya fasilitas-fasilitas yang dimiliki HMI. Padahal sarana ini sangat penting untuk menunjang kegiatan HMI dalam pengkaderan dan sumber daya manusia.

Soal kader ini rupanya tumpuan utama program HMI? Apakah agar banyak orang HMI di sekitar kekuasaan?

Kami banyak melakukan pelatihan. Memang dalam traning-traning HMI dulu itu ada latihan kepemimpinan. Jadi tujuannya mencetak calon-calon pemimpin. Calon-calon pemimpin ini yang menjadi tokoh. Tapi dalam perjalanannya, bisa saja mereka mengarah dalam bidang lain. Mereka ada yang menjadi wirausahawan, menjadi tokoh politisi, tokoh agama. Kita menempatkan sesuai dengan konsep HMI bahwa manusia itu khalifah fil ardhi, sebagai pemimpin di muka bumi ini.

Belakangan banyak yang menyoal independensi HMI, menurut Anda?

HMI akan tetap merawat independensi. Sampai kapan pun. Bagi HMI indepedensi itu merupakan ciri dan karakter.

Termasuk kepengurusan HMI sekarang yang dituduh dekat pemerintah itu?

Independensi itu ada dua. Pertama indepensi organisatoris. Indepensi organisatoris ini menegaskan bahwa HMI ini bukan onderbouw salah satu kekuatan politik. Jadi ia tidak dibawah Golkar, tidak dibawah PPP, dan tidak di bawah PDI, juga tidak dibawah ormas lain. Yang kedua idepedensi etis. Independensi etis ini merupakan kebebasan HMI untuk mempertahankan suatu sikap terhadap kebenaran yang ingin diperjuangkan. karena, itu HMI tidak akan apriori terhadap sesuatu masalah, juga tidak akan terlalu berpihak. Sepanjang itu untuk memperjuangkan keadilan dan kebenaran akan berpihak kesana.

Ada yang mengatakan HMI itu kurang respek terhadap persoalan-persoalan yang muncul. Tidak seperti Kelompok Cipayung lainnya. Misalnya dalam menanggapi kasus 27 Juli, Situbondo atau Tasikmalaya. Bagaimana itu?

Peristiwa 27 Juli ada perbedaan penghayatan. Itu ‘kan kasus PDI. Itu persoalan intern PDI. Karena itu kita tidak ingin terlalu jauh terlibat dalam politik praktis. Yang sangat pragmatis sekali persoalannya. Pernah juga ketika terjadi pertentangan Naro dengan Sudardji, kita tidak membicarakan itu dengan kawan-kawan Kelompok Cipayung. Tetapi persoalan-persoalan lain yang menyangkut nasib rakyat banyak, misalnya kasus korupsi Eddy Tansil, yang itu tidak dilakukan oleh ormas-ormas lain. Kita melakukan. Sampai ribuan orang kita kerahkan untuk aksi-aksi itu. Kasus putusan MA di Irian Jaya, kita sampai turun ke jalan. Itu merupakan bagian dari suara-suara kritis HMI yang tetap dirawat. Kalau kasus 27 Juli, kita melihatnya sebagai rangkaian politik praktis. Kita tidak mau terlibat di dalam itu. ‘Kan temporer sekali kasusnya.

Dalam kasus Eddy Tansil, bukankah memang pemerintah memukul gendang “perang” terhadap Eddy Tansil dan kemudian HMI sepaham dengan sikap itu?

Kasus Irian misalnya, itu ‘kan sangat bertentangan. Nah, itu kalau soal korupsi, kita ‘kan tidak tahu. Kalau datanya ada kita akan tampil. Sekali lagi saya tegaskan, bahwa Ketua Umum HMI di depan kepala negara ketika dies natalis bilang bahwa HMI akan tampil ke depan memprotes bila pemerintah korup dan menyeleweng.

Tapi bukankah dalam Kasus 27 Juli ketika banyak kelompok mahasiswa dan ormas lain menyatakan keprihatinannya, HMI tidak ikut serta, mengapa?

Kawan-kawan itu ‘kan sudah dari awal ikut dalam proses itu. Kasus 27 Juli itu kan puncak. HMI tidak mau masuk ke wilayah itu. Nah, ketika peristiwa itu muncul kita mengeluarkan statemen bahwa kedua-duanya harus ditindak itu. Tapi tidak bersama kawan-kawan Kelompok Cipayung.

Yang sudah kita keluarkan statemen itu mengenai Eddy Tansil, Kasus Departemen Perhubungan. Tetapi pernyataan mengenai mobnas belum kita keluarkan. Itu baru sampai pada diskusi di kalangan interen kita. Ada hal-hal yang hanya dikonsumsi untuk kader HMI dan ada yang kita keluarkan pernyataan.

Jelasnya?

Kalau sesuatu itu dapat memecah belah persatuan negara, tentu kita lebih hati-hati. Tetapi kalau itu menyangkut kepentingan masyarakat keseluruhan, kita akan lebih kuat menanggapinya.

Dana Dies Natalis kemarin ini begitu besar, darimana?

Kalau acaranya besar, tentu dananya juga besar. Soal dana ini dari alumni ke alumni saja. Di Jakarta ini ‘kan alumni HMI ada sekitar seribuan lebih. Kita kumpulin dari alumni-alumni itu dan juga KAHMI.

Berapa besarnya?

Kurang dari 500 juta. Karena dies natalisnya untuk ribuan orang, wajar dana yang dipakai segitu.

Kemudian untuk dana operasional harian HMI darimana?

Yang paling rutin itu, ya, dari Bang Akbar (Akbar Tanjung, Red.), Bang Soegeng Sariadi, Bang Fahmi Idris, Ekki Syahruddin, Mar’ie Muhammad, dan seterusnya.

Apa pertimbangan mengundang Pak Harto pada acara Dies Natalis HMI?

Bukan hanya sekali ini Pak Harto menghadiri acara HMI. Dua tahun yang lalu juga Pak Harto hadir di sana. Pertimbangannya, karena ini perayaan emas lima puluh tahun HMI, kita ini merayakan kebahagiaan bersama-sama dengan kepala negara.

Bagaimana Anda menilai keberhasilan pembangunan Orde Baru?

Relatif sekali kalau kita menilai kemajuan-kemajuan. Sekarang ‘kan relatif lebih baik dari pada sebelum-sebelumnya. Kalau ada kekurangan ya wajar saja.

Tolok ukurnya apa?

Jumlah rakyat miskin sekarang berkurang. Kalau dulu masyarakat miskin hampir mencapai 30 juta, sekarang tinggal sekitar 21 juta. Itu suatu keberhasilan.

Bukankah kesenjangan masih lebar?

Ya, kesenjangan memang harus kita atasi. Tidak semata-mata tanggungjawab pemerintah. Semua kita mesti bersama-sama mengatasinya.

Selama ini banyak yang mengatakan HMI tergantung dari KAHMI?

HMI dengan KAHMI kan hanya hubungan historis. Jadi kalau toh, ada kritikan-kritikan terhadap kedekatan HMI dengan KAHMI itu hanya implikasi saja. Yang jelas, HMI itu harus kerja keras untuk mendapatkan dana. Kalau ada alumni-alumni HMI yang membantu, itu merupakan wujud tanggungjawab mereka terhadap HMI, terhadap adik-adiknya. Dan kalau pun ada bantuan-bantuan dalam bentuk lainnya, juga para alumni melihat potensi-potensi dari kader HMI itu sendiri. Tidak mungkin seorang alumni memberi satu proyek, misalnya, kepada seseorang kader yang tidak teruji kemampuannya.

Apakah hubungan itu tidak mengekang HMI?

Konsep kita ‘kan saling tolong-menolong. Dan saya kira mereka, para alumni ikhlas untuk membantu. Tidak pernah mereka membawa-bawa HMI menjadi suatu alat untuk kepentingan mereka.

Apa kritik Anda terhadap pemerintah?

Sebenarnya yang perlu kita kritik itu ‘kan sistemnya. Misalnya kesempatan berusaha. Kalau sistemnya baik dan berjalan saya kira tidak ada masalah. Dengan demikian diperlukan kedewasaan dalam masyarakat untuk melihat. Karena kalau masyarakat belum dewasa, sistem yang baik pun jadi kurang artinya.

Tidakkah sistem itu sendiri kurang terbuka?

Sekarang sudah ada kemajuan. Dalam penyusunan GBHN misalnya, dulu itu ‘kan di tingkat MPR. Tetapi sekarang dikembalikan kepada fraksi-fraksi. Keberanian masyarakat untuk melontarkan kritik terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah juga merupakan bagian dari pada itu.

Hasilnya bagaimana?

Itu bukan persoalan hasil. Yang penting kemauan itu telah ada. Saya kira hasil itu nomor dua.

Bukankah kritik sering ditabukan dan ditanggapi secara frontal?

Itu menandai ketidak-dewasaan orang-orang yang tidak bisa menerima kritik itu.

Maksud Anda pemerintah?

Pemerintah saya kira. Ada orang-orang yang tidak siap untuk itu.

Tapi, kenapa HMI tidak mendukung Pak Harto untuk periode 1998-2003?

Tidak ada dalam budaya kita persoalan dukung mendukung itu. Itu menyangkut independensi. HMI tidak akan memenuhi satu keinginan atas kehendak dari mana pun. Itu sesuatu yang tabu bagi HMI. Secara etis tidak dibenarkan. Komitmen kita bukan kepada orang tapi kepada nilai.

Bagaimana tanggapan HMI sendiri mengenai kemungkinan terpilihnya kembali Pak Harto?

Saya kira masyarakat sampai saat masih menginginkan beliau. Tidak ada saat ini yang secara terbuka menolak beliau. Bagi HMI, kita serahkan saja kepada lembaga yang ada.

HMI sendiri apakah punya calon-calon anggota DPR?

Ada beberapa.

Berapa jumlah anggota HMI?

Sekitar 250 ribu yang aktif. Kalau semuanya, sekitar lima ratus ribuan.

Menurut Nurcholis Madjid, HMI sekarang kurang peka terhadap sekelilingnya, mengapa?

Cak Nur orang yang sangat arif dalam melihat persoalan-persoalan HMI. Kalau beliau menginginkan HMI itu maju, itu selalu dicambuk. Tetapi saya kira kalau kita bicara dari hati ke hati, saya kira Cak Nur akan mengatakan HMI merupakan organisasi paling baik diantara organisasi massa mahasiswa lainnya.

Hubungan HMI dengan Kelompok Cipayung itu bagaimana?

Kelompok Cipayung itu merupakan sebuah organisasi yang non formal. Kalau ada masalah-masalah kita akan kumpul. Dalam perjalanannya dinamika itu tetap ada. Bagi anggota Kelompok Cipayung membentuk sebuah kelompok baru, tidak ada masalah. Nanti pada saat lain kita akan ketemu dan bersama lagi.

HMI tidak merasa ditinggalkan dalam pembentukan FKPI?

Tidak. Kita tidak merasa ditinggalkan. Antara kita tidak ada masalah. Kita tidak ditinggalkan, mereka juga tidak kita tinggalkan.

Orde Baru Sesuai Dengan Cita-Cita HMI

Mereka meninggalkan HMI, sama saja dengan kehilangan momentum yang baik sebagai pemuda Indonesia. HMI pasti jaya, karena konsekuen dengan sikapnya sebagai gerakan modern Islam.

Kesamaan pandangan antara HMI dengan pemerintah, rupanya yang membuat organisasi mahasiswa ekstra universitas ini yang kini tampak sejuk. “HMI adalah satu-satunya organisasi mahasiswa yang didirikan untuk menegakkan kemerdekaan, ” kata Victor Tanja, pendeta asal Pulau Sawu, Nusa Tenggara Timur, yang juga pengamat HMI.. Menurut Victor, HMI punya kesamaan dengan pemerintah Orde Baru, yang menginginkan Islam tampil sejuk dan modern. “HMI ‘kan anti komunis, paham kiri dan kanan, dan pandangan ini sama dengan pemerintah Orde Baru,” ujar Victor. Begitu pula kedekatan HMI dengan militer, menurutnya juga terkait dengan akar sejarah.

Untuk mengetahui peran dan posisi HMI di masa kini, berikut wawancara Ali Nur Yasin dari TEMPO Interaktif dengan Victor Tanja, di Gereja Effatha, Jakarta, Selasa 25 Maret lalu. Pendeta ini menulis disertasi yang berjudul HMI: Sejarah dan Kedudukannya Di Tengah Gerakan-Gerakan Muslim Pembaharu, di Hartford Seminary Foundation America, 1979. Berikut petikan wawancara itu:

Bagaimana Anda melihat HMI sekarang?

Saya menilai HMI lebih cocok dengan kondisi politik sekarang, yang menjauhi komunisme, adanya peranan ABRI, dan umat Islam semakin dekat dengan pemerintah. HMI didirikan sebagai organisasi perjuangan. Dengan kata lain, untuk menghimpun cendekiawan muslim. HMI tidak hanya berperan dalam universitas, tapi juga secara fisik aktif dalam perang kemerdekaan. Sehingga, ada beberapa anggota HMI yang langsung menjadi tentara, seperti Achmad Tirtosudiro. Kedekatan HMI dengan ABRI bukan baru sekarang, tapi kedekatan sejarah. Juga dalam beberapa peristiwa sejarah, HMI tidak dekat dengan Soekarno-Hatta, tapi dekat dengan Jenderal Sudirman. Saat Orde Lama, ketika Masyumi dibubarkan oleh Presiden Soekarno atas desakan PKI, HMI juga ingin dibubarkan, tapi Jenderal Achmad Yani bilang,” Tidak. Langkahi mayat saya jika ingin bubarkan HMI.”

Maka kedekatan HMI dengan Orde Baru adalah konsekuensi kedekatan sejarah. Bahwa HMI sekarang dikucilkan oleh organisasi mahasiswa yang lain, menurut saya salah kaprah. Mereka (organisasi mahasiswa non HMI) latar belakangnya dibentuk bukan pada masa perjuangan kemerdekaan, tapi pasca perang kemerdekaan. Dan mereka dibentuk untuk berafiliasi dengan partai politik dan ormas yang ada pada saat itu. Seperti, PMII dengan NU, IMM dengan Muhammadiyah, GMNI dengan PNI, GMKI yang ada hubungannya dengan gereja, dan organisasi lainnya. Tapi HMI, sangat independen dalam sikap politiknya. Kalaupun ada yang mengatakan bahwa HMI berafiliasi dengan Masyumi, itu adalah penilaian yang salah. Hal ini dapat dilihat pada saat perundingan Linggarjati, Masyumi menolak, tapi HMI menerimanya. Ini salah satu bukti bahwa HMI bukan onderbouw-nya Masyumi.

Walau dikucilkan organisasi mahasiswa lain, HMI tetap independen. Menurut HMI, Orde Baru sudah mendekati cita-cita perjuangan HMI, bahwa Islam mendapat peranan dalam pemerintahan, tapi bukan berarti menjadi negara Islam, seperti peranan budaya, ahlak dan lainnya. Dan juga nasionalisme kita bukan nasionalime sekuler, tapi nasionalime religius. Dan kalau kita mau konsekwen, memang tidak ada nasionalime sekuler. Saya juga tidak setuju pendapat beberapa pakar, bila gerakan agama, adalah gerakan sektarian. Yang salah bila ada gerakan yang menggunakan agama, itu yang sektarian.

Anda menyatakan, bahwa kedekatan HMI dengan Orde Baru karena adanya kesamaan dalam memandang bangsa dan negara. Bisa Anda jelaskan?

Kesamaan itu karena HMI aktif mendirikan Orde Baru. Cita Orde baru yang sama dengan HMI. Misalnya Islam mendapat peranan dalam pemerintah, tapi bukan negara agama.

Apakah kedekatan HMI dengan pemerintah sudah sesuai dengan semangat HMI sewaktu didirikan?

Oh ya, ini bukan karena HMI oportunis, tapi karena kesamaan ide dan cita-cita dengan pemerintah sekarang. HMI didirikan untuk menegakkan kemerdekaan. HMI merasakan masa penjajahan, sementara organisasi mahasiswa lain tidak merasakan, sehingga ada kecenderungan mereka lebih mendengar suara luar negeri ketimbang di dalam negeri.

Apakah kedekatan HMI dengan pemerintah karena pengaruh alumni yang duduk dalam pemerintahan?

Menurut saya tidak. Alumni HMI yang duduk dalam pemerintah atas nama pribadi bukan atas nama HMI. Akbar Tandjung diangkat sebagai menteri kan bukan karena HMI-nya, tapi karena kemampuan. Akbar memang kader yang dibuat oleh HMI dan kebetulan cocok dengan politik Orde Baru. Tapi pribadi-pribadi mereka tidak bisa diidentikkan dengan HMI. Mereka diangkat jadi menteri karena penilaian presiden, bukan karena HMI-nya.

Apakah HMI hanya dijadikan alat oleh pemerintah?

Oh, tidak. HMI tetap independen. Secara kebetulan, organisasi mahasiswa lain tidak sesuai dengan aspirasi mereka. Karena mereka lebih mendengar suara LSM dari barat. Tapi, jika aspirasi mereka sama dengan pemerintah, mereka juga akan seperti HMI.

Belum lama ini, berdiri Forum Komunikasi Pemuda Indonesia yang didirikan oleh kelompok Cipayung, tanpa HMI. Apakah HMI menjauhi mereka?

Oh, tidak. Justru Kelompok Cipayung yang meninggalkan HMI. Mereka meninggalkan HMI, sama saja dengan kehilangan momentum yang baik sebagai pemuda Indonesia. HMI pasti jaya, karena konsekuen dengan sikapnya sebagai gerakan modern Islam. Walaupun HMI jaya, Indonesia tidak akan menjadi negara Islam. Ini kan pola yang digunakan oleh Nurcholis Madjid, yang hingga kini masih diterapkan. Dengan pola Nurcholis, kita akan mendapatkan orang-orang Islam yang sejuk dan toleran terhadap yang lain.

Sekali lagi saya katakan, organisasi-organisasi mahasiswa kelompok Cipayung kecuali HMI, didirikan bukan atas kehendak memperjuangkan membebaskan bangsa ini dari jajahan Belanda. Kalaupun ada, mereka berafiliasi dengan organisasi sekuler, ormas-ormas tertentu, atau partai politik yang ada. HMI walau menggunakan nama Islam, tetap independen. Tapi memiliki afiliasi filsafah gerakan modernis yang sama dengan masyumi, tapi bukan berarti HMI berafiliasi dengan Masyumi. Hanya pemahaman terhadap Islam-nya, yang sama.

Belakangan kelompok Cipayung minus HMI gencar melakukan koreksi dan kritik terhadap berbagai kejadian belakangan ini. Mengapa HMI tidak melakukan hal yang sama?

Apa yang dikritik?! Perjuangan HMI sama dengan perjuangan pemerintah. Apa yang dibuat oleh Pak Harto selama Orde Baru kebetulan sama dengan yang diperjuangkan HMI waktu dulu. Artinya tidak ada sekuler, tidak kiri, tapi dalam menegakkan Pancasila, secara konsekwen. Sejak dulu HMI berpihak kepada ABRI, tapi bukan untuk mencari kekuasaan. Kedekatan dengan militer semata-mata untuk bersama mencapai kemerdekaan. Karena itu banyak anggota HMI yang masuk ABRI. Tapi organisasi yang lain tidak.

Mengenai kritik terhadap berbagai kejadian belakangan ini, kenapa baru sekarang mereka bersuara. Kenapa sewaktu peristiwa Tanjung Priok mereka tidak bersuara. Waktu itu kan terjadi juga pembakaran gereja, tapi kenapa bungkam. Kejadian di Timor-Timur mengapa tidak diprotes, mengapa hanya di Situbondo dan Tasikmalaya saja. Harusnya mereka juga mengkritik semua peristiwa itu.

Ini karena mereka tidak melihat realisme perjuangan kemerdekaan, dan terbiasa dengan cara yang sekuler. Sehingga cara berfikir mereka sektarian. Sementara HMI menggunakan Islam untuk kepentingan perjuangan bangsa, bukan diri sendiri.

Di zaman Orde Lama HMI aktif menyuarakan kritik-kritik sosial, dan ketimpangan sosial masih terjadi sampai sekarang, tapi mengapa HMI tak melakukan koreksi?

Dari dulu juga sudah ada ketimpangan sosial. Kita harusnya melihat Orde baru itu sukses, walaupun masih ada kekurangannya. Saya setuju dengan kritik tapi harus memberikan jalan yang terbaik. Jangan menganggap mereka benar dan lainnya salah. Mereka yang sering bersuara itu kan yang tidak berkuasa. Jika mereka berkuasa sama saja kondisinya.

Ada yang menilai HMI tidak lagi kritis terhadap berbagai situasi belakangan ini, apakah karena pengaruh alumninya yang duduk di pemerintahan?

Itu konsekuensi dari peran HMI. Orang yang mengkritik HMI saya nilai kerdil, karena tidak memisahkan antara pribadi dengan organisasi. Mereka yang diangkat jadi menteri kan karena kemampuan pribadi, kebetulan mereka anggota HMI. Sikap kritis HMI tidak hilang, karena HMI tahu cara mengkritik yang membangun. Bukan dengan cara seperti yang dilakukan organisasi lain.

Apakah karena pengurus-pengurus HMI banyak yang berambisi duduk di pemeritahan ?

Semua juga berambisi ke sana. GMNI bila diberi kesampatan seperti pada masa Orde Lama, saya kira akan begitu. Punya ambisi boleh saja, tapi jangan merugikan yang lain. Selain HMI, GMNI, GMKI, PMKRI dan lainnya juga punya ambisi untuk duduk di pemerintahan, tapi mereka tidak punya kesempatan saja.

Bagaimana HMI harus menempatkan posisinya sekarang?

Ya, harus mendukung Orde Baru. Tapi juga harus memberikan koreksi dan kritik. Tapi jangan mengkritik karena menganggap dirinya sudah baik.

Bagaimana Anda melihat perayaan HMI yang dihadiri oleh Pak Harto? Manuver politik menjelang pemilu?

Oh bukan, itu bukan karena HMI ingin melakukan manuver politik. Hadirnya Pak Harto, karena melihat HMI yang konsekwen dengan perjuangan bangsa dan khususnya Orde baru.

Hadirnya Pak Harto, apakah sebagai salah satu dukungan kepada Pak Harto untuk jadi presiden lagi?

Secara otomatis, mau tidak mau HMI ‘kan harus memperjuangkan sikapnya. Sebab dalam UUD 45 sendiri kan sudah ditegaskan bahwa presiden dapat dipilih kembali.

Apakah HMI akan mengesampingkan berbagai ketimpangan-ketimpangan yang ada?

Tidak. Jika terjadi ketimpangaa HMI akan ngomong. Tapi dalam program bersama dalam bernegara, HMI tetap sejalan dengan pemerintah. Seperti yang dikatakan Taufik Hidayat dalam pidatonya, bahwa HMI akan tetap mendukung Orde Baru, dan akan tegar membela kepentingan masyarakat.

Pesta HMI dianggap pemborosan. Bagaimana menurut Anda?

Tidak ada pemborosan uang. Banyak organisasi Islam dan Kristen yang menyelenggarakan acara seperti itu. Sewaktu Orde Lama, GMNI membuat acara seperti itu lebih banyak dari HMI, seperti sidangnya di Senayan yang dihadiri oleh Soekarno. GMKI apalagi, lebih wah. Kenapa baru sekarang diributkan mengadakan acara seperti itu, kenapa yang dulu-dulu tidak.

Bagaimana dengan peran HMI di masa datang?

HMI akan melahirkan pemimpin-pemimpin yang nasionalis. Dan HMI tidak akan berubah dari konsepnya Nurcholis Madjid. Dimana Islam dapat diterima oleh pemerintah Orde Baru. Serta menempatkan citra Islam yang universal. Konsep Nurcholis ini harus ada yang meneruskan. Saya pesimis HMI dapat bertahan jika konsep ini tidak digunakan.

Jangan Mengukur Baju Orang Dengan Badan Sendiri

HMI itu interest group-nya itu besar sekali. Jadi ia tidak bisa bermain asal-asalan. Ya, kalau PMII , PMKRI, GMKI itu kecil sekali. Organisasi mahasiswa yang masih ada itu kan tinggal HMI. Yang lainnya tinggal papan nama.

SOSOKNYA seperti tak bisa dipisahkan dengan semangat lahirnya demokrasi dan tegaknya hak asasi. Tapi ia juga hampir menyatu dengan HMI. Karena di situlah, Dr. Nurcholish Majid, 58 tahun, pernah menjadi ketua umum selama dua periode dari tahun 1966-1971. Lulusan Universitas Chicago, AS, ini sekarang aktif di kelompok pengajian Yayasan Paramadina. Selain itu, Cak Nur juga mengajar di fakultas pasca sarjana IAIN Syarif Hidayatullah, Ciputat, Jakarta. Ia juga salah satu petinggi di Dewan Pakar ICMI, anggota Komnas HAM, dan pelopor berdirinya Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP).

Rabu lalu, 26 Maret 1997, bertempat di Yayasan Paramadina, Cak Nur diwawancarai Darol Mahmada dari TEMPO Interaktif seputar gemebyar dan sepak terjang HMI, yang kini sudah berusia 50 tahun. Berikut cuplikannya:

Anda bilang bahwa usia ke-50 HMI bukan merupakan tahun emas, tapi tahun besi karatan. Apa maksudnya?

Saya mengatakan begitu karena mengamati sebagai orang dalam HMI. Bukan orang luar, sehingga muncullah pernyataan saya di D&R (Di majalah itu, Cak Nur berang dengan instruksi pengurus HMI yang akan mengeluarkan setiap anggotanya yang aktif dalam KIPP. “Itu ironi besar dan HMI melawan kodratnya sendiri,” ujarnya). Itu merupakan ekspresi kecintaan saya terhadap lembaga itu. Dan tentu saja kalau orang luar mengatakan itu, saya juga tidak enak dan pasti protes. Kalau kenyataannya begitu, itu bisa dilihat dan ditafsirkan macam-macam. Kritikan itu hanya mengingatkan saja. Ibaratnya, kalau terhadap anak, saya hanya menjewernya.

Mengapa mereka harus diingatkan?

Ada hal-hal tertentu yang harus diingatkan. Sebagai seorang yang pernah intens terlibat di organisasi itu, sikap seperti itu mesti (dilakukan). Dan saya kira, sebagai organisasi mahasiswa HMI masih dalam relnya.

Mengapa orientasi HMI cenderung ke Masyumi? Apa akibat politisnya sampai kini?

HMI itu secara geneologis kebanyakan anak Masyumi karena itu orientasinya juga sangat ke Masyumi. Walaupun anggota PB HMI kebanyakan anak NU,tetapi orientasinya banyak ke Masyumi. Ciri-cirinya, misalnya dari segi agama, mereka non sektarian. Mereka menangkap Islam itu seperti Masyumi, yaitu punya ide-ide dasar dan nilai-nilai fundamental. Karena itu, ada suatu buku kecil yang menjelaskan nilai-nilai fundamental itu yang di sebut Nilai Identitas Kader (NIK). Begitu juga di bidang lain, lebih dekat ke Masyumi. Misalnya egalitarianisme dan kosmopolitanisme. Di antara semua organisasi mahasiswa, yang paling menyeluruh itu, hanya HMI yang seperti Masyumi. Kalau NU, PKI, PSI itu kan berbau Jawa. Hanya Masyumi yang mencakup semuanya. Dan itu terulang pada HMI. Karena itu HMI itu merupakan Indonesia dalam miniatur. Hanya saja penduduknya Islam. Tetapi persepsi keislamannya pun paling menyebar.

Tetapi juga ada pengaruh psikologis bahwa Masyumi dulu sebagai partai yang dilarang (pemerintah waktu itu mengakibatkan anggota Masyumi) menjadi agak menjauh dari pemerintah. Ini suatu proses yang merugikan. Jadi mentalitas di luar pagar. ICMI saja, kami lahirkan untuk mengakhiri mentalitas itu. Apalagi sebagian besar lulusan universitas itu adalah anak HMI yang orientasinya ke Masyumi. Kalau mereka mengidap mentalitas itu, dalam arti tidak mempunyai sense of belonging (rasa memiliki) pada negara, sangat berbahaya. Berbahaya bagi negara, karena jumlah mereka semakin besar, tapi juga berbahaya untuk diri sendiri, karena akan kehilangan kebebasan bergerak. Dan kalau orang sudah kehilangan kebebasan bergerak, diawasi, dibatasi dan sebagainya, maka ia juga kehilangan kesempatan untuk berekspresi. Nah, itulah HMI sampai sekarang.

Lalu, bagaimana kini hubungan pemerintah dengan HMI?

Saya melihat, kondisi HMI di mata pemerintah ambivalen. Artinya, tidak merangkul sama sekali seperti terhadap organisasi-organisasi yang tergabung di dalam Golkar, Kasgoro misalnya. Tapi juga tidak menyingkirkan sama sekali. Tidak seperti halnya terhadap organisasi mahasiswa lainnya semisal GMKI. Di situlah sulitnya HMI. Dari dulu seperti itu.

Bukankah posisi HMI kini malah kian dekat dengan pemerintah?

Saya kira masih mengalami ambivalen. Sama dengan ICMI. Oleh karena itu saya agak sedikit kecewa ketika orang terkejut dengan fenomena Amien Rais. Kalau orang tahu ICMI, fenomena itu tidak aneh. Banyak orang ICMI yang kritis. Orang kaget dengan fenomena itu dan tepuk tangan, termasuk, terus terang saja, Arief Budiman dengan tulisannya itu. Karena dia ada prasangka bahwa ICMI itu organisasi pemerintah. Dan prasangka itu juga terjadi pada HMI. Prasangka bahwa seharusnya HMI itu menentang pemerintah, maka ketika ada gejala kedekatan terhadap pemerintah, lalu menimbulkan kecelaan yang terlalu dini. Kalau dibandingkan dengan PMKRI, GMNI, PMII terus terang saja situasi yang ada pada HMI dan alumninya itu jauh lebih mampu. Oleh karena itu, jangan berharap sikap HMI sama dengan organisasi lain, yang sedikit banyak termarjinalisasi. Jadi jangan mengukur baju orang dengan badan sendiri.

Apa arti penting Dies Natalis ke-50 HMI yang langsung dihadiri oleh presiden?

Peristiwa itu bukan pertama kalinya buat HMI. Di jaman Bung Karno dulu, pada tahun 50-an, ketika terjadi debat dasar negara, Bung Karno sendiri datang ke pertemuan HMI. Kemudian awal tahun 1966, ketika muktamar nasional, kami juga diundang Bung Karno ke Istana Bogor. Waktu itu orang-orang yang mencitrakan HMI beroposan terhadap Bung Karno terkejut, kok ternyata HMI masih bersama Bung Karno. Tetapi sikap seperti itu tidak menjamin HMI membelanya. Buktinya, HMI paling efektif menjatuhkan Bung Karno. Itulah HMI punya sejarahnya sendiri. Oleh karena itu, HMI tidak bisa menempuh cara-cara perjuangan yang linier. Artinya hanya oposisi saja, tapi harus bervariasi.

Lalu mengapa pemerintah kian mendekati HMI?

Mungkin saja karena melihat potensi HMI itu sendiri. Seperti Soekarno dulu memeluk HMI. Tentu saja strategi Pak Harto ini tidak bisa disamakan dengan Bung Karno. Artinya, kalau dulu masalah ideologis, tetapi sekarang lebih ke masalah ekonomi.

Agaknya visi politik HMI sudah berubah. Buktinya, HMI menolak ikut bergabung dalam Forum Komunikasi Pemuda Indonesia (FKPI) yang dibentuk kelompok Cipayung baru-baru ini. Betulkah demikian?

Kekhawatiran seperti itu relatif sekali. Itu bisa merupakan persepsi yang sangat subyektif. Bisa juga itu merupakan retorika dari orang yang ingin supaya HMI bersama mereka. HMI bisa berbalik (bertanya) mengapa mereka tidak mengikuti kami? Sebab HMI itu interest group-nya itu besar sekali. Jadi ia tidak bisa bermain asal-asalan. Ya, kalau PMII , PMKRI, GMKI itu kecil sekali. Organisasi mahasiswa yang masih ada itu kan tinggal HMI. Yang lainnya tinggal papan nama. Karena itu tidak bisa disamakan dengan mereka. Kalau misalnya HMI celaka, itu nyata. Karena menyangkut sekian puluh ribu anggota dan alumninya. Pada tingkat retorika nasional, mereka berkumpul dan bikin pernyataan, malah HMI terisolir. Tapi pada tingkat nyata manusianya, HMI tidak terisolir sama sekali.

Bisa Saja Gatotkaca Menjadi Arjuna

Bagi Fahmi Idris, 57 tahun, kedekatan HMI dengan kekuasaan bukan masalah. Orang pertama Kodel (Kongsi delapan) yang bekas tokoh HMI ini mengatakan organisasi yang pernah turut dibesarkannya itu masih berada pada pakem lama, sesuai dengan misi yang diemban dirumuskan lima puluh tahun lalu. Yaitu mencetak kader-kader pencipta dan pengabdi. Kalau ada orang yang risau dengan sikap HMI itu, kata Fahmi, ini sesuatu yang biasa. “Itu hanya kemauan orang untuk memforsir HMI sesuai dengan keinginannya,” katanya.

Berikut wawancara telepon Edy B dari TEMPO Interaktif dengan Fahmi Idris, mantan Ketua Laskar Arief Rachman Hakim dan tokoh Angkatan 66 yang bicara dengan deras itu, Rabu, 26 Maret 1997.

Kedekatan HMI sekarang ini dengan pemerintah, apakah sudah tepat dengan misi HMI ketika dilahirkan?

Menurut saya tepat saja itu. Dalam pengertian HMI punya cita-cita, kader-kadernya menjadi pencipta dan pengabdi. Jadi dia kreatif dan responsif terhadap perkembangan. Jadi kalau HMI mengadakan kegiatan dan mampu, itu cocok saja.

Responsif berarti kritis?

Iya, itu merupakan bagian dari independensi HMI. Saya menafsirkan dari kata pencipta dan pengabdi itu begitu. Jadi tidak dalam pengertian pasif. Tetapi mengkuti perkembangan sesuai dengan nilai-nilai yang dianutnya.

Bagaimana dengan anggapan HMI sekarang kurang kritis dibanding organisasi kemahasiswaan lainnya?

Barangkali itu berkaitan dengan kondisi sosial politik. Karena HMI tidak bisa menjadi pemberang terus menerus. Atau menjadi kritis tanpa alasan. Seringkali masyarakat menghendaki seseorang berperan terus menerus berada di sebelah kanan atau di sebelah kiri terus, tanpa melihat perkembangan-perkembangan yang harus diberi respon sesuai dengan perkembangannya. Karena sering kali masyarakat memvonis, tidak bisa Gatotkaca berperan sebagai Arjuna. Masyarakat kita ini pasif karena terikat simbol-simbol.

Pengabdian HMI melewati dinamika politik yang berkembang menjadikan HMI mengabdi kepada struktur yang ada sekarang ini mengingat banyak kadernya di struktur politik?

Bukan itu. Tujuan HMI yang dirumuskan pada tahun 1947 ialah melahirkan kader-kader yang bisa mencipta dan mengabdi sesuai dengan syariah, seorang pengabdi yang bernafaskan Islam. Itu sejak dulu, sejak didirikan. Bukan mengabdi yang sekarang.

Jadi karena sekarang ini banyak alumni HMI yang menjadi elite pemerintah?

Itulah, masyarakat kita terikat pada simbol. Masyarakat kita ini masyarakat yang fanatik dan tidak dinamis. Dia tidak bisa melihat perkembangan memungkinan Gatot Kaca sebagai Arjuna. Bukankah simbol-simbol itu juga diciptakan oleh masyarakat sendiri. Seperti pada tahun 1945, masyarakat yang berjuang. Pada tahun sekian persepsi masyarakatnya juga berkembang. Tidak semua orang HMI ada pada kekuasaan.

Mengapa pemerintah berkepentingan terhadap HMI?

Di mana pun pemerintah itu butuh organisasi yang besar dan solid.

Apakah ini manuver HMI menjelang pemilu?

Manuver apa. HMI tetap kritis.

Contohnya?

Kritik itu terus menerus kami lakukan. Sudah banyak juga yang sudah dilakukan HMI. Jangan dipengaruhi pandangan masyarakat yang tanpa selidik.

Jadi kondisi HMI sekarang ini seperti apa?

Sesuai dengan yang dicita-citakannya. Tidak ada perubahan dari HMI. Kelainan itu datang dari orang yang menghendaki Gatot Kaca itu terbang terus menerus. Padahal itu ‘kan dongeng. Tidak bisa dong hidup dalam dongeng. HMI terus merespon situasi yang berkembang. Tidak bisa HMI mengambil sikap seperti pada tahun 1947. Ketika itu Bangsa Indonesia masih menghadapi penjajah Belanda. Kalau masyarakat menghendaki HMI terus seperti itu, maka HMI tidak berkembang dong! Atau masyarakat tidak bisa menghendaki HMI seperti pada tahun 1965-1966, ketika situasinya begitu. Sekarang ini bisa tidak masyarakat melihat HMI tahun 1990-an di mana situasinya berbeda? Memang ada kelemahan dan ada kemajuan. Yang menjadi pertanyaan, apakah HMI dapat merespon kekuatan dan kelemahan yang dimilikinya?

Bagaimana dengan anggapan HMI itu besar karena banyak alumninya yang menjadi menteri?

Saya kira itu keliru. ‘Kan banyak varian yang lain. Karena yang di kekuasaan itu juga sejumlah individu.

Ada kader HMI yang berada di luar kekuasaan?

Banyak, kader HMI yang berada di luar kekuasaan dan bentrok dengan kekuasaan. Ridwan Saidi itu HMI, Dahlan Ranuwihardja itu HMI. Dawam Rahardjo itu, jadi jangan melihat HMI hanya Beddu Amang (Kabulog). HMI juga harus dilihat dari banyak variannya. Berapa banyak yang seperti mereka. Dan ketika HMI memberikan kritik kepada kekuasaan, orang tidak melihat.

Dibanding figur kepemimpinan sebelumnya seperti Nurcholis Madjid, HMI sekarang ini cenderung menurun semangat intelektualitasnya. Apakah memang organisasi HMI cenderung dipengaruhi pemimpinnya?

Saya tidak mengatakan itu. Kalau dikembalikan kepada tujuannya yaitu bisa mencipta dan mengabdi yang sesuai dengan nafas Islam.

Kalau ada kritik dari ormas lain seperti kelompok Cipayung yang menginginkan HMI dapat terus bergabung untuk menyikapi masalah kebangsaan, sebagai gerakan moral bukan gerakan politik?

Biasa saja. HMI dari dulu selalu dibegitukan karena mereka tidak paham. Mereka hanya mau memforsir kemauan mereka. Dari dulu HMI selalu sendirian. Kalau sekarang ini HMI ditinggal, itu sesuatu yang dinamis dari masyarakat muda saja. Saya mengalami ketika dulu HMI dipencilkan. Itu bukan kejadian yang pertama. Ini konsekuensi dari organisasi yang independen.

Termasuk ketika tidak bergabung dalam Forum Kebangsaan Pemuda Indonesia, FKPI?

Iya, itu bentuk independensi. Ketika HMI melawan Soekarno dan melawan PKI itu bentuk independensi dan lebih berat dulu dari sekarang. HMI dulu sendirian, menghadapi rombongan seperti GMNI itu sudah dari dulu. Dan itu biasa saja karena itu menunjukan suatu keberanian. Kenapa harus khawatir berbeda, baik yang dari sudut kanan maupun dari sudut kiri. Ketika kami berbeda di sudut kanan lantas kami dianggap di sudut kiri. Begitu kami di sudut kiri, kami dianggap anti sudut kanan. Itu yang independen karena tidak seimbang.

Tidak takut dikucilkan?

Kenapa takut?! Dari dulu saya sendirian di kampus. Saya dikeroyok ramai-ramai bukan oleh organisasi kemahasiswaan, oleh partai PNI rame-rame. Tidak apa-apa itu, sepanjang yang kami rumuskan itu suatu sikap yang kami yakini benar, walau kemudian menimbulkan reaksi seperti itu.

Dari Gerakan Mahasiswa Menjadi Gerakan Politik

Menurut Muhaimin Iskandar, 30 tahun, Ketua Umum PB PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia), organisasi HMI sekarang mengalami pergeseran orientasi. Dari student movement menjadi political movement. Ini terlihat dari sikap kehati-hatiannya untuk tidak bergabung dalam FKPI. Padahal forum ini dibentuk oleh Kelompok Cipayung, di mana dulu HMI ikut serta di dalamnya.

Untuk lebih jelasnya Darol Mahmada dari TEMPO Interaktif mewawancarai jebolan Fisipol UGM ini di kantor PMII, Jalan Kramat Raya Nomor 164, Jakarta, tempat PBNU sebagai induk PMII berkantor. Wawancara dilakukan Kamis, 27 Maret, lalu. Petikannya:

Bagaimana tanggapan anda mengenai perayaan Dies Natalis HMI yang dihadiri Presiden Soeharto?

Biasa-biasa saja. Sebuah perayaan yang kebetulan dihadiri kepala negara. Tentu saja kepala negara punya kepentingan, HMI juga punya kepentingan. Jadi perayaan ulang tahun emas itu dihadiri oleh presiden dan pejabat-pejabat lainnya. Sebetulnya, peristiwa itu menunjukkan adanya pergeseran orientasi di HMI yang berangkat dari orientasi student movement kepada political movement. Dan Taufik (Ketua Umum PB HMI) dalam hal ini, mendapatkan apa yang telah dia investasikan dalam sebuah perjalanan organisasi. Ini dapat kita tangkap dari kenyataan bahwa HMI muncul sebagai kekuatan politik yang cukup berarti bagi presiden.

Artinya HMI ini diperhitungkan?

Saya tidak mengatakan diperhitungkan. Dalam kaca mata politik, Pak Harto punya kepentingan terhadap Islam dan HMI, dan HMI sendiri punya kepentingan terhadap Pak Harto. Dua kepentingan yang bertemu dalam sebuah spektrum politik.

Menurut Anda, apa pertimbangan pemerintah sehingga begitu berkepentingan terhadap organisasi ini?

Budaya politik kita, sebetulnya jarang mempertimbangkan potensi. Tetapi mempertimbangkan sejauh mana wilayah-wilayah tertentu dianggap mendukung proses politik atau tidak. Ada kondisi-kondisi tertentu yang membuat sebuah spektrum politik itu bersama-sama atau tidak. Tapi bisa jadi melihat potensi-potensinya. Maka potensi Islamnya HMI itu yang merupakan bagian dari wilayah Islam yang dipertimbangkan oleh Pak Harto.

HMI tidak ikut serta dalam FKPI (Forum Kebangsaan Pemuda Indonesia), padahal HMI merupakan salah satu anggota Kelompok Cipayung, mengapa?

Untuk bisa masuk ke Pak Harto itu harus ada pra-kondisi yang disiapkan. Barangkali HMI tidak mau bergabung dengan FKPI karena menganggap FKPI itu sesuatu yang tidak sejalan dengan orientasi HMI. Saya enggak tahu pertimbangan HMI itu tidak bergabung dengan FKPI. Barangkali HMI punya pertimbangan- pertimbangan khusus yang harus dipertanyakan ke HMI langsung. Dan itu terjadi ketika FKPI terbentuk, HMI enggak mau diajak.

Apa tujuan didirikannya FKPI ?

FKPI itu lahir dari sebuah komunitas, tim solidaritas kemanusiaan. Waktu itu kita bersama-sama menggarap proyek kemanusiaan bantuan korban (kerusuhan) 27 Juli. Setelah itu, kita bikin tim kemanusian peristiwa Situbondo. Lalu ada kesadaran bahwa nilai-nilai kebangsaan ini mulai pudar. Ini terbukti dengan munculnya konflik-konflik yang terus menerus terjadi di bangsa ini. Kekhawatiran akan terus menerusnya suasana rawan bagi perjalanan bangsa ini, lalu kita bikin tim kemanusian. Kita harus melakukan kegiatan-kegiatan ataupun program-program yang menyentuh wilayah revitalisasi kebangsaan, wilayah eksplorasi makna baru kebangsaan sampai kepada upaya-upaya mengembangkan wacana kebangsaan itu sendiri.

Dua wilayah ini yang hendak digarap oleh teman-teman di FKPI. Sehingga FKPI, sebetulnya kristalisasi dari sebuah upaya yang kita lakukan selama ini. Kita kalangan muda mencoba menangkap atau merespon perkembangan dan memberikan solusi bagi perjalanan kebangsaan ini. Dengan melihat perlunya sebuah kristalisasi gerakan organisasi ini dan mengajak semua eksponen generasi yang lain.

Menurut Anda, faktor apa yang mempengaruhi tidak bergabungnya HMI dalam forum itu?

HMI mengalami satu keragu-raguan. Kondisi politik akhir-akhir ini membuat HMI sangat berhati-hati untuk terbuka bersama-sama dengan kelompok lain. HMI hati-hati memasuki wilayah-wilayah kerjasama. Kenapa itu terjadi, saya enggak tahu. Tapi bahwa sejak peristiwa 27 Juli, kemudian disusul dengan berbagai peristiwa akhir-akhir ini, cukup menghambat pola komunikasi kita dengan HMI. Mungkin saja, karena pergeseran orientasi itu menjadikan HMI sangat hati-hati. Tapi saya enggak tahu persis. Tidak etis saya ngomong karena faktor tertentu misalnya.

Tapi kita memang menangkap kehati-hatian HMI dalam menerima ajakan. Dan tidak pernah memberikan jawaban yang tegas ketika kita mengajak bersama-sama. Barangkali ada kalkulasi politik. Kami menghargai hak HMI untuk tidak ikut dan kami tidak merasa ada masalah bila HMI tidak masuk pada forum ini.

Sikap kehati-hatian HMI ini, menurut anda, apakah strategis bagi organisasi yang berbenderakan mahasiswa?

Saya cukup menyesalkan mengapa HMI sangat hati-hati. Sehingga saya tidak menemukan HMI seperti zaman dulu, yang selalu bersama-sama dalam kondisi apapun. Dalam suasana seperti ini, kami tidak perlu menghitung dengan kalkulasi politik. Semua wilayah perjuangan, menurut saya, mengambil resiko politik. Saya kira enggak perlu hati-hati. Apapun yang kita lakukan selama tidak melanggar pola-pola yang kita miliki. Kita harus mengambil pola aliansi dengan semua kelompok ketika kelompok itu punya kontribusi positif bagi wilayah kebangsaaan dan kemasyarakatan yang rawan.

Alumni HMI banyak menduduki posisi strategis sekarang ini. Apakah itu tidak menjadi salah satu faktor sikap itu?

Itu pilihan politik HMI. Jadi pilihan politik yang diambil, bisa saja karena pertimbangan-pertimbangan internal HMI yang merasa cukup tua. Atau bisa jadi HMI sedang membangun sebuah pola baru bagi wilayah-wilayah garapannya. Misalnya pergeseran dari gerakan kemahasiswaan ke gerakan politikt itu. Kalau kita lihat dari luar, bisa saja KAHMI (Korp Alumni Himpunan Mahasiswa Islam) berpengaruh. Karena KAHMI masuk dalam supra struktur. Mungkin saja mereka menolak, enggak ada kaitannya dengan KAHMI. Tapi kita melihatnya dengan kasat mata terjadi pergeseran oleh faktor-faktor itu.

Ibu, 10 Tahun Penjara, 10 Milyar Rupiah

Ibu dituntut kurungan 10 tahun penjara dan denda sebesar 10 milyar Rupiah. Even if I have to let Indonesian Youth Conference go, even if I have to work hard 24/7 to live without having to ask for allowances from my mother… I’m willing to do so.

Sisi lain kasus korupsi Bank Century. Stop korupsi. Jika Anda Korupsi, anda tidak akan mampu menanggung dosa nya. Karena anda harus meminta maaf kepada 229.964.723 rakyat Indonesia beserta anak cucunya. Silahkan membaca isi hati Alanda Kariza… Continue reading “Ibu, 10 Tahun Penjara, 10 Milyar Rupiah”

Siapa Memanfaatkan Siapa

HMI awal Maret lalu mengadakan Dies Natalis yang terbilang megah untuk ukuran sebuah organisasi pemuda, bahkan dalam acara tersebut juga dihadiri oleh Presiden Soeharto dan sejumlah menteri. Kedekatan HMI dengan pemerintah ini dianggap sebagai penyebab retaknya Kelompok Cipayung. Hal ini terbukti semakin jelas setelah Peristiwa 27 Juli 1996 kemudian dalam kerusuhan Situbondo dan Tasikmalaya, ketika HMI mengambil sikap yang berbeda dengan anggota kelompok Cipayung lainnya. Akibatnya kemandirian HMI banyak dipertanyakan. Terlebih setelah kelompok Cipayung minus HMI membentuk FKPI (Forum Kebangsaan Pemuda Indonesia).

Untuk mendapatkan keterangan yang lebih rinci mengenai apa sebenarnya yang terjadi di dalam Kelompok Cipayung serta bagaimana hubungan antara ormas pemuda dan pemerintah, berikut wawancara Iwan Setiawan dari TEMPO Interaktif dengan Edward Tanari, Ketua Umum GMKI (Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia), organisasi yang kini punya sekitar 30 ribu anggota, di markas GMKI, Salemba Raya 10 Jakpus, Selasa 25 Maret lalu.

Dies Natalis HMI awal Maret lalu tergolong luar biasa karena Pak Harto hadir dalam perayaan tersebut. Apa pengaruhnya bagi HMI?

Saya sebenarnya tidak berkompeten untuk menilai teman-teman di HMI. Tetapi saya bisa menjawab secara lebih umum, bahwa dalam perhitungan politis akan timbul pertanyaan: siapa memanfaatkan siapa. Tidak berarti karena kedekatan itu kita tidak kritis lagi, karena sebagai mahasiswa kita tetap harus mempertahankan prinsip atau idealisme kita.

Apakah kedekatan itu akan mempengaruhi independensi HMI?

Ya, saya kira begitu dan untuk itu yang bisa merasakan adalah mereka sendiri dan terus terang saya agak bingung. Kita juga tidak pernah menuduh ketika pak Harto datang di perayaan itu maka HMI tidak idealis lagi. Belum tentu. Karena ia datang ke sana dalam kapasitas sebagai kepala negara.

Apa akibatnya untuk di masa mendatang bagi HMI?

Ada dua kemungkinan, bisa baik dan bisa juga tidak. Baik, jika kekuasaan itu langgeng nantinya atau jika pemerintah tetap berjalan sesuai dengan konstitusi. Jelek jika terjadi hal sebaliknya. Pada saat itu harus dilihat posisi kita, apakah kita mengabdi kepada pemerintah atau lebih kepada rakyat. Lahirnya negara ini karena adanya rakyat. Jika rakyat tidak ada, siapa yang akan diatur oleh pemerintah?

Kabarnya perayaan itu memakan biaya sekitar Rp 500 juta. Apakah itu pantas untuk sebuah organisasi mahasiswa?

Itu tergantung dari penilaian masing-masing, bagi kami dana tersebut sangat besar tetapi untuk HMI barangkali ukurannya cukup. Intinya bagaimana kita tidak melekat pada nilai materinya.

Jika GMKI punya dana sebesar itu, apa yang akan dilakukan?

Kembali kepada visi kami. Visi kami adalah melayani dan terus terang dalam kepemimpinan saat ini saya bingung bagaimana menutupi dana untuk rencana program kerja selama dua tahun sebesar Rp 410 juta. Padahal ini diluar dana rutin yang kira-kira besarnya Rp 80 juta. Jadi semuanya berkisar Rp 500 juta.

Dana yang didapat dari senior kami tidak lebih dari Rp 50 juta. Dari lembaga donor sekitar Rp 50 juta. Dari mana mencari uang yang Rp 400 juta lagi? Mau tidak mau kami harus bekerjasama dengan pihak-pihak yang bertujuan sama, misalnya program Bina Desa. Jadi jika kami punya dana sebesar itu lebih baik digunakan untuk program tersebut, karena kebutuhan kami baru berada pada tingkat seperti ini.

Apa yang menjadi visi GMKI sendiri ?

Saya kira semua organisasi punya visi. Dari dulu sampai sekarang visi GMKI tetap sama. Yang pertama, bagaimana menjunjung ekumene menurut ajaran Kristiani. Kedua, adalah bagaimana menanamkan rasa nasionalisme Indonesia didalam diri setiap anggota GMKI. Kedua hal tersebut ibarat dua sisi dari satu keping mata uang, berbeda tetapi sama pentingnya dan tidak terpisah satu dengan yang lain.

GMKI termasuk dalam kelompok Cipayung. Apakah ada perbedaan peran dari kelompok Cipayung pada tahun 70-80an dengan sekarang ini?

Dalam bahasa teman-teman wartawan, peran kelompok Cipayung melemah pada dekade 90-an. Hal ini justru menunjukkan adanya korelasi yang positif dengan kondisi sosial politik saat ini, di mana sekarang telah banyak bermunculan kelompok-kelompok kritis yang lain. Pada saat kelahiran kelompok Cipayung tahun 70-an, organisasi semacam itu masih jarang dan dalam kondisi saat ini kami masih tetap kritis dan berkeinginan untuk memperbaiki sistem. Persoalannya sekarang adalah: siapa yang masih didengar suaranya oleh pemerintah.

Masalah lainnya adalah bahwa mulai tahun 1980-90-an banyak lahir kelompok-kelompok kajian sosial yang berasal dari golongan yang telah mapan. Banyak dari mereka dahulu berasal dari kelompok Cipayung. Misalnya: Paramadina yang dipimpin Nurcholis Madjid yang dulu pernah aktif di HMI. Sekarang memang ada krisis peran intelektual di dalam kelompok Cipayung. Hasil pemikiran kelompok kajian tadi lebih berbobot karena lebih kaya pengalaman.

Jadi karena itu dilahirkan FKPI?

Masyarakat kita saat ini butuh tidak hanya semacam jargon atau statemen politik saja tetapi mereka butuh karya yang lebih nyata. Inilah ide awal dari terbentuknya FKPI. Jika ada yang mengatakan bahwa lahirnya FKPI terlalu prematur, dari segi pendanaan mungkin benar tetapi dari segi ide tidak. Justru hal itulah yang menjadi perekat utama. Yaitu, dari keinginan bersama untuk berbuat sesuatu yang berguna. FKPI juga mendorong teman-teman untuk aktif di LSM yang terjun langsung ke masyarakat. Dan kita juga berharap agar teman-teman yang lain dapat mengembangkan hal-hal yang serupa.

Apakah dengan didirikannya FKPI juga bertujuan untuk mengucilkan HMI?

Memang sangat disayangkan bahwa ketika kami menggodok ide untuk pembentukan FKPI, teman-teman dari HMI tidak ikut terlibat. Tetapi sebenarnya kami selalu membuka pintu. Bahkan sampai saat ini dan tidak terbatas kepada HMI saja tetapi juga dari semua kalangan untuk bisa bergabung.

Organisasi mahasiswa dengan massa besar seperti HMI cenderung akan dirangkul pemerintah. Bagaimana menurut pendapat Anda?

Saya kira pemerintah Orba sangat mengetahui potensi gerakan mahasiswa, sehingga pada akhirnya muncul kebijakan yang bertujuan mendepolitisasi kampus seperti NKK/BKK. Mereka melihat bahwa kekuatan besar untuk melakukan pembaharuan ada pada mahasiswa. Saat ini kita lihat bahwa hal itu menyebabkan kemandulan dalam proses berpikir mahasiswa itu. Pikiran mereka hanya digunakan untuk ilmu yang dipelajari saja. Tidak ada lagi pembentukan watak. Format aktifitas mahasiswa yang ada bukan lagi atas pilihan mereka tetapi lebih karena kepentingan penguasa, sehingga mereka menjadi tergantung. Inilah kondisi nyata sekarang.

Mengenai kemandirian mahasiswa, hal itu harus dibangun lewat organisasi semacam GMKI, HMI, atau yang lain. Hanya sejauh mana ketekunan kita untuk melakukan hal itu, sehingga kita tidak terkooptasi oleh penguasa.

HMI Banyak Memberi Kontribusi Sejarah

“Yang dekat dengan kekuasaan itu bukan HMI dan tapi alumninya secara personal,”

Benarkah HMI dekat kekuasaan? Irwan Badillah, Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah, menilai HMI banyak diuntungkan para alumninya. “Yang dekat dengan kekuasaan itu bukan HMI dan tapi alumninya secara personal,” kata anak Ambon yang terpilih sebagai Ketua IMM periode 1997-2000. Berikut wawancara Mustafa Ismail dari TEMPO Interaktif dengan Irwan Badillah, 27 tahun, di kantor IMM di Jalan Menteng Raya Nomor 62 Jakarta, Selasa malam (25 Maret 1997) lalu. Petikannya:

Bagaimana dengan acara Dies Natalis HMI yang cukup mewah baru-baru ini?

Saya pikir kader-kader HMI cukup berhasil dan menduduki posisi-posisi yang sangat menguntungkan, katakanlah di birokrasi. Sehingga ada kemudahan untuk menyelenggarakan acara dengan biaya cukup besar. Itu juga penyebab bagi lancarnya jaringan komunikasi mereka, bahkan sampai dengan presiden. Dan pada akhirnya yang menentukan adalah kader-kader yang mumpuni yang dipunyai oleh HMI.

Apakah itu tidak mempengaruhi kemandirian HMI sendiri?

Sebenarnya mempengaruhi. Karena salah satu idealisme HMI adalah bagaimana membangun ummat. Otomatis yang dimaksud dengan pengembangan keummatan ini kan kontrol sosial. Ini saya lihat yang menjadi kurang penekanannya (aksentuasi), karena secara langsung berhadapan dengan alumni HMI yang sekarang duduk di lembaga sosial-politik, katakanlah di birokrasi. Kemudian juga ada kedekatan yang sangat intens antara PB HMI dengan KAHMI.

Bukankah itu menjebak HMI pada ketidakmandirian?

Itu tergantung pada kader dan pimpinannya. Memang ada kesan bahwa HMI kehilangan idealisme. Menurut saya, sebabnya, ya, karena para alumni berada pada posisi-posisi itu. Pada akhirnya mereka ‘kan harus akomodatif.

Bagaimana Anda melihat kedekatan HMI dengan Pak Harto dan pemerintah?

Kalau HMI secara kelembagaan, saya sendiri tidak bisa jelaskan. Menurut yang saya lihat, yang dekat itu pribadinya. Secara kelembagaan semuanya sama. Tapi bagi HMI kan alumninya yang dekat. Jadi kedekatan itu secara individual. Tapi sejarah ‘kan menulis, HMI kan banyak memberi kontribusinya terhadap sejarah.

Mengapa sikap pemerintah berbeda-beda terhadap organisasi-organisasi lainnya?

Seharusnya memang tidak membeda-bedakan. Kemudian ‘kan dilihat juga bagaimana peran-peran organisasi itu sendiri. Karena ‘kan tidak sedikit juga organisasi yang punya papan nama saja.

Apa kritik Anda terhadap HMI?

Saya lihat memang HMI kehilangan idealisme dalam membela masyarakat bawah. Dalam arti, kalau melihat idealisme HMI itu ‘kan paling tidak juga memperjuangkan atau membahasakan fenomena-fenomena masyarakat sekarang yang cenderung terpinggir. Tidak hanya di tingkat cabang, di tingkat pengurus besar juga harus begitu. Tingkat kritis terhadap situasi yang ada sekarang, khususnya terhadap pemerintah melemah. Seharusnya, apapun kondisinya, idealisme itu harus tetap kita kedepankan. Terlepas sekarang ada alumni atau ada kader yang jadi ini. Independensi dan perjuangan-perjuangan kerakyatan seharusnya tetap menjadi penekanan mereka.

Jelasnya?

Secara kelembagaan independensinya tetap. Tapi karena cukup banyak aluminya yang berhasil, ya, barangkali mereka susah mengatur keseimbangannya itu. Kalau melihat sejarahnya, HMI pada masa-masa pergolakan itu kan punya semangat-semangat melawan tirani, memperjuangkan masyarakat terpinggirkan. Saya kira semangat-semangat itu juga harus dihidupkan terus. Itu yang sekarang sudah berkurang.

Artinya mereka sekarang lebih mengarah kepada kekuasaan?

Saya tidak mengatakan demikian. Saya bersandar pada rujukan-rujukan filosofi dasarnya, definisi dari idealisme perjuangan. Kalau dalam hal tertentu ada yang punya kepentingan kepada kekuasaan, saya kira semua memang punya kecenderungan ke sana. Meski pun barangkali format dan mekanismenya berbeda antara satu organisasi dengan organisasi lainnya, baik secara organisatoris maupun kedekatan-kedekatan informal.

Bagaimana IMM mengambil sikap terhadap kekuasaan?

Orientasi IMM itu menciptakan sumber daya yang punya daya tawar. Jadi kita tidak melakukan pendekatan yang sifatnya politik. Tapi kita menyiapkan kader yang mumpuni, yang punya daya tawar. Dan silahkan siapa saja untuk melihat potensi itu. Kita menciptakan kader-kader yang tangguh.

Baru-baru ini lahir Forum Kebangsaan Pemuda Indonesia tanpa HMI, menurut Anda?

Saya tidak sempat mengikuti jauh mengenai itu, karena bertepatan dengan persiapan muktamar di Medan. Saya belum dapat informasi yang jelas mengenai itu.

Apakah tidak ada keinginan untuk mengundang Pak Harto dalam acara-acara IMM?

Kalau keinginan tetap ada. Tetapi keinginan itu juga harus kita diskusikan dulu, latar belakangnya apa. Apa hanya sekedar akses daya tawar di bidang politik, misalnya. Itu harus dibahas dulu.

Tapi bukankah dengan dekat dengan Pak Harto bisa memuluskan kegiatan-kegiatan IMM?

Saya kira bisa saja begitu. Tidak dekat pun, juga tidak menghalangi. Itu tidak menjadi satu faktor bagi kegiatan IMM bagi pengembangan kelembagaan. Saya pikir kedekatan dan kejauhan juga punya parameter. Jauh secara fisik belum tentu jauh secara formal. Dekat dalam pengertian fisik belum tentu juga dekat dalam hal-hal yang lain. Apalagi bila kita menggunakan kaca mata politik untuk melihat hal itu.

Oh ya, bagaimana Anda melihat demokrasi di Indonesia?

Tolak ukur kita demokrasi yang bagaimana. Yang kita terapkan sekarang itu demokrasi Pancasila. Sekarang kita mengukur demokrasi itu menggunakan ukuran yang mana. Apakah kita memakai ukuran demokrasi Barat. Jadi demokrasi yang dikembangkan di Indonesia, demokrasi yang berdekatan dengan kultur masyarakat Indonesia. Itulah yang dimaksud dengan Demokrasi Pancasila.

Bagaimana pendapat Anda terhadap suksesi?

Untuk IMM ada kriterianya sendiri. Sudah disepakati pada Tanwir Muhammadiyah di Surabaya. Kongkritnya, mengenai itu kita serahkan kepada musyawarah, kepada Sidang Umum MPR 1998.

Menurut Anda sendiri apakah suksesi 1998 itu cukup mendesak untuk dilakukan?

Saya belum dapat katakan perlu atau tidak. Karena ini menyangkut kesinambungan pembangunan. Parameter kita, parameter pengalaman. Kita belum bisa melihat ke depan, yang boleh jadi bagus dan boleh jadi tidak. Sepanjang pimpinan ini masih wajar dan dimungkinkan, saya kira tidak ada masalah.

Bagaimana tanggapan Anda terhadap kemungkinan terpilihnya kembali Pak Harto sebagai presiden?

Kalau pada akhirnya Sidang Umum MPR memutuskan itu, tidak ada persoalan.

Apa tidak perlu ditampilkan tokoh lain agar calon tidak tunggal?

Kalau ada yang diberikan kesempatan, kita mendukung sekali. Bagi IMM sendiri, soal terjadi suksesi atau tidak, tidak persoalan. Karena kita melihat proses pembangunan. Mudah-mudahan wakil rakyat nanti dapat menyerap aspirasi dan melihat stabilitas pembangunan negara di masa akan datang.

Menurut Anda apa perlu membatasi jabatan presiden?

Sekalipun tidak ada pembatasan, kalau ada aspirasi baru suksesi bisa saja terjadi. Dan itu sangat tergantung pada wakil-wakil rakyat. Bagaimana pun menghadapi negara yang terus berkembang, dan penduduknya terus meningkat, kan harus ada kaderisasi juga. Kalau ada, ya silakan tampil.

Ada Ubi Ada Talas…..

Tonggak-tonggak sejarah kebangsaan Indonesia selalui diwarnai oleh sepak terjang pemuda dan mahasiswanya. Tercatat kelahiran Indonesia -setelah lama berada di rahim penjajah- juga tidak lepas dari peran serta yang aktif dari pemuda. Demikian pula ketika Orde Baru muncul memegang tampuk kekuasaan di tahun 1966. Energi pemuda juga disalurkan untuk merombak tatanan lama menjadi tatanan baru.

Di situlah HMI mengalami pergulatan sejarah yang panjang. Sebagai organisasi kemahasiswaan yang bercorak intelektual kritis dengan landasan moral ini, telah menuai para cendekia seperti Nurcholis Madjid, Dawam Rahardjo dan sederet nama-nama lainnya.

Oleh karena itu banyak kelompok yang risau ketika HMI dinilai terlalu dekat dengan kekuasaan. Salah satunya adalah anggota kelompok Cipayung, Gerakan Mahasiswa Nasionalis Indonesia (GMNI), yang melahirkan tokoh sekaliber Megawati Soekarnoputri atau Siswono Yudohusodo. Menurut Sekjennya, A. Baskara, karena HMI dipakai sebagai alat untuk melegitimasi kekuasaan, dia dirangkul tetapi dicekik. “Kalau itu terjadi, kami sebagai teman merasa prihatin,” kata alumnus FISIP Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta.

Berikut wawancara Edy Budiyarso dari TEMPO Interaktif dengan dengan A. Baskara, 30 tahun, di markasnya di kawasan Rawa Sari Jakarta Pusat, Rabu 26 Maret 1997.

Komentar Anda tentang pesta dies natalis HMI?

Dengan kejadian itu kita secara tidak sadar telah menempatkan HMI sebagai fokus sentral dalam konfigurasi alur besar politik. Seolah-olah manejemen politik pemuda ada di tangan HMI.

Karena kedekatannya dengan pemerintah?

Ya, itu yang pertama. Dan ini memang menarik, karena dalam tradisi perpolitikan kita ada nuansa pengulangan sejarah. Seperti yang dulu pernah terjadi pada tahun 1965 ketika GMNI begitu dekat dengan Soekarno. Sehingga saya juga tidak tahu kalau pers seolah-olah menempatkannya seperti GMNI dulu. Tetapi menurut saya hal ini terjadi, karena wajah politik kita yang bercorak patron-klien. Apalagi kultur politik kita secara given terdiri dari faksi-faksi di masyarakat. Ada pemisahan-pemisahan politik misalnya ada Islam, Katolik, Sosialis, Nasionalis dan komunis laten.

HMI, sebagai organisasi mahasiswa yang menjadi simbol kekuatan Islam, tentunya tidak bisa dilepaskan dari manejemen konflik yang dibuat oleh kekuasaan. Sedangkan Presiden Soeharto sebagai pengendali kekuasaan negara memerlukan legitimasi dari komunitas Islam. Dan, HMI yang masuk dalam konfigurasi politik Islam memiliki peran strategis. Oleh karenanya Pak Harto merasa berkepentingan dengan HMI. Bisa jadi HMI menjadi alternatif ketika ICMI dianggap tidak akomodatif dengan kepentingan politik kekuasaannya.

Apakah sampai sejauh itu?

Bisa saja. Orde Baru juga berangkat dari manajemen politiknya terhadap pemuda dan mahasiswa. Pemuda dan mahasiswa dijadikan instrumen politik kekuasaan. Dari situ secara sosiologis membuat polarisasi kekuatan pemuda sehingga potensi kekuatan organisasi pemuda dapat dikontrol. Dan ini tidak hanya kepada organisasi kepemudaan, terjadi pula pada ormas Islam, partai politik. Menurut saya ini adalah prestasi Orde Baru dengan mengelola pluralitas masyarakat untuk menyokong kekuasaan politiknya.

Belum lagi sejarah organisasi kemahasiswaan kita yang selalu ada blok-blok. Sekarang ini memang cuma ada dua kalau tidak kanan atau kiri. Kiri yang saya maksud bukan ideologis tetapi kritis terhadap kekuasaan. Kelompok-kelompok ini terlihat dalam fenomena kebangsaan yang berjalan sepertinya ada dua blok. Ada yang di dalam betul dan ada yang di luar betul. Dan HMI kelihatannya mengambil peran di dalam itu sehingga Pak Harto merasa berkepentingan.

Saya kira wajar organisasi formal dalam diesnya dihadiri oleh presiden. Tetapi pertanyaannya kenapa organisasi kemahasiswaan yang lain tidak. Padahal dalam undang-undang keormasaan semua itu diakui. KNPI saja tidak dibuka oleh presiden. Sehingga menurut saya, ini politis. Ini lepas dari kesibukan presiden tetapi posisi dari ormas kepemudaan KNPI ataupun kelompok kepemudaan dan kemahasiswaan itu ditempatkan pada posisi yang sama, seharusnya. Artinya tidak ada perlakuan yang istimewa dong, karena kita ini organisasi yang formal semua.

Apa ada dampaknya bagi organisasi kepemudaan dan kemahasiswaan yang lain?

Menimbulkan kesan, dalam kelompok-kelompok organisasi kepemudaan seperti bermusuhan dengan HMI. Padahal itu tidak terjadi. Kekuasaanlah yang membuat seperti itu. Sehingga yang muncul adalah image konflik horisontal di mana-mana itu ada.

Anda mengkritik sikap HMI itu ?

Ya, sebenarnya tidak perlu kritik. Yang penting adalah perspekstif kita tentang kebangsaan itu jelas.

Kritik Anda terhadap pemerintah?

Kami kelompok Cipayung yang sering mengkritisi kesesakan politik yang ada sekarang ini. Seperti kekuasaan yang mempersonal, lembaga legislatif yang kurang berfungsi. Itu yang kami kritisi. Tetapi bukan berarti kami anti pemerintah.

Dalam hal ini HMI mengambil sikap untuk tidak sejalan?

Saya tidak bisa mengklaim seperti itu. Tetapi itu bisa dilihat dari intensitas pertemuan kami dalam kelompok Cipayung dan belakangan HMI jarang muncul. Ukuran-ukuran kritis adalah sejauh mana anak muda itu mampu mengkritisi kekuasaan yang tidak sesuai lagi dengan amanat negara proklamasi. Ini yang kami kritis. Mungkin saja HMI punya cara lain mengkritisinya.

Ini memang bagian strategi organisasi masing-masing. Kesan yang muncul adalah HMI cenderung hati-hati, tidak mampu mengkritisi kekuasaan karena banyaknya alumni-alumni HMI yang berada pada kekuasaan, sekarang. Dan sebenarnya tidak di situ letaknya. Karena banyak juga alumni-alumni GMNI yang di pemerintahan, tetapi kami tetap kritis terhadap mereka.

Jadi bisa dikatakan menurut Anda HMI sudah terjebak dalam hubungan patron-klien dengan alumni-alumni mereka di Kahmi?

Hal itu memang menjadi tradisi HMI dan organisasi yang lain. Tetapi yang ada pada HMI adalah alumni mereka yang terlalu dominan dalam supra atau infra struktur politik. Itu yang menyebabkan interaksi HMI dan KAHMI-nya menjadi suatu hubungan interdependensi antar mereka. Terutama kepada alumni-alumni mereka yang berada di elite kekuasaan.

Sedangkan dalam politik kita ‘kan ada istilah ada “ubi ada talas, ada budi ada balas”. Yang jelas kedekatan dengan elite itu pasti memerlukan ongkos, memerlukan biaya politik. Sedangkan kalau terjadi transaksi politik maka ada implikasi terhadap HMI sendiri maupun terhadap lingkungan eksternalnya. HMI sebagai organisasi kader yang besar membutuhkan banyak dukungan logistik, dan ketika logistik mereka butuhkan mau tidak mau mereka datang kepada alumni-alumninya.

Sementara itu, alumni mereka yang berada di wilayah politik mereka membutuhkan dukungan politis sebagai legitimasi atas komunitas politiknya. Akbar Tandjung dianggap memiliki basis di HMI. Sehingga ada pertemuan yang sinergi antara kepentingan politis Akbar Tandjung di satu sisi dengan HMI. Seandainya HMI formal tidak meligitimasi kepentingan politik Akbar Tandjung maka secara politis kekuatan Akbar menjadi tidak ligitimate sebagai wakil kekuatan HMI.

Sehingga dalam satu dua tahun ini HMI menjadi banyak berhitung untuk melakukan upaya kritis. Padahal kita ini adalah organisasi kemahasiswaan yang berdiri di atas landasan moral, karena kami bukan partai politik. Sehingga tidak ada istilah untuk menyokong seseorang yang menjadi bagian dari kami untuk masuk dalam konfigurasi politik, masuk dalam struktur politik. Kalau itu terjadi dalam organisasi kemahasiswaan maka terjadi distorsi.

Bagi HMI, tentunya itu suatu cost. Karena kalau melihat kemauan politik Pak Harto, tidak ada seseorang yang tahu hal itu. Sehingga bisa jadi ini merupakan suatu upaya untuk memberikan kenyamanan kepada HMI ketika dalam situasi sosial yang memojokan HMI. Tetapi bisa juga ini menjadi kenyamanan yang menyesakan. Seperti dirangkul tapi dicekik. Dan Pak Harto punya reputasi untuk melakukan itu. Dalam konteks ini, kalau HMI terjebak dalam strategi politik kekuasaan, maka kami sebagai teman merasa sangat prihatin. Dan mudah-mudahan tidak seperti itu kejadiannya.

Sekarang ini berkembang wacana, katakanlah GMNI seolah-olah mempersoalkan posisi politik HMI, bukan dalam konteks HMI dekat dengan kekuasaan. Dan persepsi bahwa kami anti pemerintah, tidak. Kami sebagai teman punya kewajiban moral untuk sama-sama mengingatkan, bahwa kita punya wilayah yang menjadi kekuasaan kelompok Cipayung ini. Ketika ini memasuki wilayah politik praktis, maka tidak ada lagi nuansa gerakan moral. Maka kalau kelompok Cipayung ini berorientasi pada kepentingan elite tertentu, ganti saja menjadi partai politik. HMI menjadi partai HMI, GMNI menjadi partai GMNI, PMII menjadi partai PMII, PMKRI menjadi partai PMKRI. Dalam konteks saya tidak berlebihan kalau bangsa ini masih membutuhkan kelompok Cipayung yang sesungguhnya.

Jadi bisa dikatakan HMI telah memasuki wilayah politik praktis?

Kami tidak punya pretensi untuk menilai demikian. Tetapi publik mengasumsikannya demikian. Seringkali ketika ada kerjasama-kerjasama atas nama kelompok Cipayung, ketidakhadiran HMI selalu menjadi pertanyaan. Dan pertanyaan-pertanyaan ini mengandung interprestasi masing-masing berdasarkan sudut pandang orang yang bertanya dan kemuan politiknya. Sehingga oleh mereka yang berpandangan konstruktif hal demikian itu supaya dicarikan jalan keluarnya. Sedangkan bagi mereka yang punya kepentingan politik hal ini dijadikan sarana politisasi devide it impera untuk kepentingan kekuasaan. Kalau ada penilian yang demikian itu tidak bisa dihindari.

Apakah upaya pemerintah merangkul HMI ada kaitannya dengan suksesi, misalnya?

Dalam wacana kepemimpinan nasional secara politis selesai. Tetapi tipologi Pak Harto, tidak ingin konsensus itu lonjong. Dia mau bulat. Sehingga dia tidak mau ada segmen masyarakat kita yang berbicara lain. Sehingga secara politis pula Pak Harto berkepentingan untuk membulatkan itu, melalui kehadirannya dalam acara dies natalis HMI kemarin.

[Persona] Jalaluddin Rakhmat: Menuju Agama Madani

— Ilham Khoiri dan Myrna Ratna

HINGGA kini Indonesia masih saja tak lepas dari konflik antarumat beragama. Agama, yang semestinya bersemangat pembebasan dan menebarkan kedamaian bagi sesama manusia, ternyata justru kerap memicu pertentangan, bahkan mengusik keutuhan bangsa yang majemuk ini. Bagaimana jalan keluarnya?

JALALUDDIN RAKHMAT (KOMPAS/PRIYOMBODO)

Kita perlu mengembangkan pemahaman agama madani. Ini bukan agama baru, melainkan pemahaman yang mengambil nilai-nilai universal dalam setiap agama dan berkonsentrasi memberikan sumbangan bagi kemanusiaan dan peradaban,” kata Jalaluddin Rakhmat (62), cendekiawan Muslim asal Bandung.

Kang Jalal—demikian sapaan akrabnya—fasih mengulas hal ini. Maklum saja, dia punya pengalaman bergumul dengan persoalan hubungan antaragama, mengkaji berbagai pemikiran keagamaan, berjumpa banyak tokoh dunia, serta menulis sejumlah buku. Dia juga aktif mengajar di kampus dan mengentalkan gagasan pluralisme lewat sejumlah lembaga keagamaan.

”Pemahaman agama madani paling cocok untuk dikembangkan dalam kehidupan modern dan demokratis, seperti di Indonesia sekarang ini,” katanya ketika ditemui setelah memberikan ceramah keagamaan di Paramadina, Pondok Indah, Jakarta Selatan, pertengahan Januari lalu.

Bagaimana persisnya pemahaman agama madani itu? Kang Jalal mengutip filsuf kelahiran Swiss, Jean Jacques Rousseau, yang hidup pada zaman Revolusi Perancis (abad ke-18 Masehi). Ketika menceritakan gagasan kontrak sosial, Rousseau menyebut la religion civile (agama civil), sebagai pemahaman yang paling cocok bagi kehidupan modern. Ini pengembangan dari dua tipe sebelumnya, yaitu agama yang menyatukan kebangsaan serta agama institusional—sebagaimana dianut banyak orang sekarang.

Berangkat dari tafsir atas pemikiran itu, Kang Jalal mengusung wacana agama madani dan memetakan fenomena pemahaman keislaman di Indonesia. Bagi dia, ada tiga jenis pemahaman Islam: Islam fiqhiy, Islam siyasiy, dan Islam madani. Islam madani merupakan pencapaian akhir dari dua tahapan pemikiran sebelumnya.

Islam fiqhiy memusatkan perhatian pada ajaran fikh yang dipraktikkan sehari-hari. Islam menjadi sangat ritual. Kesalehan diukur dari ritual. Pemahaman ini umumnya hanya memandang kelompoknya yang benar dan orang lain salah. ”Islamnya itu rahmatan limutamadzhibin atau rahmat bagi mazhabnya saja,” katanya.

Setelah itu berkembang Islam siyasiy atau Islam politik. Menjadikan Islam sebagai kegiatan politik, pemahaman ini memusat pada perjuangan untuk merebut kekuasaan lewat konsep negara Islam, menegakkan syariat Islam, atau mendirikan khilafah. Keselamatan bukan untuk sekelompok Islam, tetapi untuk seluruh umat Islam, rahmatan lilmuslimin.

Bagi Islam fikhiy, kaum Muslimin mundur karena dianggap meninggalkan Al Quran dan Sunah. Untuk maju, kita mesti kembali berpedoman kepada dua sumber itu. Mereka meyakini bahwa zaman para Nabi dan sahabatnya adalah zaman paling ideal.

Islam politik melihat kemunduran umat Islam akibat dominasi dan konspirasi Barat yang menghancurkan Islam. Mereka mengajak kita kembali merujuk zaman Islam menguasai seluruh dunia, yaitu masa khilafah Ustmaniyah. Itu dianggap zaman ideal yang harus diperjuangkan lagi.

Kedua pemikiran itu mengantarkan kita pada Islam madani. Semua agama bisa bertemu, dengan mengkaji apa yang bisa kita sumbangkan bagi kemanusiaan dan peradaban. Ada usaha untuk mengambil nilai-nilai universal dalam setiap agama.

Wacana Islam madani berpusat pada kasih sayang kepada sesama manusia sehingga Islam menjadi rahmat bagi semua orang, rahmatan lil’alamin. Kesalehan diukur dari kadar cinta seseorang kepada sesama. Setiap pemeluk agama bisa memberikan makna dalam kehidupannya dengan berkhidmat pada kemanusiaan.

Jika Islam fiqhiy itu berkutat pada urusan fikh dan Islam siyasiy pada politik, Islam madani berpusat pada karakter, akhlak. Tujuannya untuk membangun akhlak yang baik pada sesama manusia dalam kehidupan yang majemuk.

Perjalanan pribadi

Ketiga pemahaman itu dialami Kang Jalal dalam perjalanan hidupnya. Dia besar dalam keluarga Nahdlatul Ulama (NU) di Cicalengka, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Saat kecil dia ditinggalkan ayahnya pergi ke Sumatera untuk perjuangan Islam. Ayahnya aktif dalam Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) yang bercorak Islam politik.

Jalal melanjutkan sekolah di Kota Bandung. Dia berkenalan dengan paham PERSIS (Persatuan Islam) yang menurutnya sangat fikhiyah, dan kemudian menjadi kader Muhammadiyah. ”Saya pernah berusaha mengubah masjid NU di kampung menjadi masjid Muhammadiyah. Caranya, dengan menyingkirkan beduk. Ketika mau shalat Jumat, jemaah masjid itu kehilangan beduknya,” katanya mengenang.

Jalal muda lantas bersentuhan dengan kelompok-kelompok yang dulu bergabung dengan Masyumi yang kental warna politiknya. Dari berbagai pelatihan, tumbuh keinginan untuk melanjutkan perjuangan ayah mendirikan sistem politik Islam. Ketika melanjutkan studi S-2 ke Iowa State University, Amerika Serikat, tahun 1980, dia juga terpengaruh gagasan Ikhwanul Muslimin.

Pulang ke Tanah Air, Jalal menerbitkan buku-buku dari Ikhwanul Muslimin, seperti karya Hasan Al-Banna, tokoh garis keras dari Mesir. Hingga tahun 1990-an dia aktif memperjuangkan syariat Islam, terutama lewat pelatihan di kampus-kampus. ”Saya termasuk penentang asas tunggal Pancasila karena merupakan produk sekuler,” katanya.

Dia pernah berdebat dengan Nurcholish Madjid (almarhum) di ITB. Cak Nur mewakili cendekiawan sekuler propemerintah, sementara Jalal dikelompokkan sebagai fundamentalis antipemerintah. ”Saya sempat dipanggil Bakorstanasda, bagian dari Pangkopkamtib, dan diberhentikan sebagai dosen oleh Dekan Universitas Padjadjaran,” katanya.

Pemahaman keagamaan Kang Jalal bergeser secara perlahan, terutama setelah diundang Cak Nur untuk ikut mengisi acara-acara kajian di Paramadina tahun 1990-an. Dia juga banyak berdiskusi dengan kelompok Islam modernis, seperti Alwi Shihab, Gus Dur, dan Dawam Rahardjo.

Di luar itu, saat mengikuti konferensi internasional di Kolombo, dia bertemu dengan sejumlah ulama Syiah yang membawa perspektif Islam lain yang masuk akal dan sangat pluralistik. Pulang ke Indonesia, dia bawa buku-buku Syiah dan menerbitkannya lewat Mizan.

Salah satunya, buku-buku Ali Syariati yang menempatkan ideologi Islam bukan untuk menegakkan syariat, melainkan untuk menentang kezaliman, penindasan. Pemikir Syiah lain, Murtadha Muthtahhari, punya pandangan pluralis. Bagi dia, Tuhan adil sehingga pasti memberi pahala bagi siapa pun yang berbuat baik, apa pun agamanya. Hukuman diberikan kepada yang berbuat jahat, apa pun agamanya.

”Apakah menolong orang menjadi amal saleh karena pelakunya Muslim, dan menjadi amal salah karena pelakunya orang bukan Islam? Amal itu baik pada dirinya. Semua itu menggugah saya,” katanya.

Kang Jalal akhirnya menjadi cendekiawan Muslim yang mengembangkan gagasan Islam madani yang pluralis. Bagi dia, semua kelompok agama itu selamat, dan kelebihannya ditentukan oleh amal saleh dan kontribusinya terhadap kemanusiaan.

Belakangan, dia juga suntuk menekuni tasawuf, jenis keislaman yang dasarnya cinta. Dengan cinta, setiap agama bisa bertemu dan berbicara pada bahasa yang sama, memasuki kebun yang sama, baik itu Islam, Buddha, Kristen, Katolik, maupun Hindu.

Indonesia

Ketiga pemahaman Islam tadi tumbuh di Indonesia. Islam siyasiy tampak bangkit lagi lewat partai-partai politik Islam serta dalam kelompok keagamaan di kampus-kampus umum. Islam fiqhiy juga masih ada meski mulai berkurang. Beberapa organisasi masih bertahan dengan Islam fikh.

Namun, Islam madani juga berkembang. Secara umum masyarakat sudah bertambah pluralis. Keterbukaan lewat internet membuat orang mudah memahami kelompok lain. Itu pengantar efektif untuk mendorong orang menjadi pluralis dalam kehidupan global.

”Ketiga jenis Islam itu bertarung dalam wacana, tapi kadang memercik dalam tindakan kerusuhan. Itu terjadi jika dibakar oleh kelompok kepentingan tertentu,” katanya.

Kang Jalal menilai agama madani sangat pas dikembangkan di Indonesia. Pemahaman ini bisa menyatukan bangsa yang sudah lama tercabik-cabik oleh paham keagamaan. ”Kita bisa tingkatkan toleransi itu dari saling menghakimi, menjadi memahami, dan kemudian saling mengalami. Pada tingkat paling tinggi, kita menikmati kehadiran orang lain dalam kehidupan,” katanya.

Bagaimana pemerintah berperan mengembangkan pluralisme? ”Buat kita, itu anjuran. Buat pemerintah, itu keharusan,” katanya.

Secara moral, pemerintah wajib melindungi kelompok minoritas dengan memberi hak dan peluang yang sama. Pemerintah mestinya bersikap tegas dalam melindungi kelompok-kelompok minoritas.

Pluralisme juga bisa dikembangkan lewat sistem pendidikan. Akhlak atau karakter yang baik, seperti penghargaan kepada orang lain atau sikap empati terhadap sesama, bisa ditanamkan lewat program-program pelatihan di sekolah. Pendidikan paling layak disebut pendidikan karena mengajarkan karakter.

Menurut Jalal, secara keseluruhan negara memang masih lemah. ”State sudah menetapkan sesuatu, katakanlah undang-undang yang melindungi kebebasan beragama, tapi tak jalan di lapangan. Menurut UUD 1945, tak boleh ada satu kelompok agama diserang hanya karena beda mazhab. Tapi, penyerangan itu terjadi,” ujarnya.

Negara lemah karena hukum kita lemah. Hukum lemah karena politik Indonesia itu ditentukan hubungan dan kepentingan kelompok. Pemerintah, kata Kang Jalal, lebih mempertimbangkan kepentingan politik, bukan lagi undang-undang yang membela hak asasi manusia.

Sumber: Kompas, Minggu, 6 Februari 2011