pengantar memasuki mission hmi

pengantar memasuki mission hmi..
semua yang ada pasti diciptakan dan semua yang diciptakan mesti memiliki tujuan, karena ada tanpa tujuan sama saja dengan akal tak berpengetahuan, hampa…
apa, kenapa, bagaimana?
himpunan mahasiswa islam (hmi), dari namanya saja, orang akan bisa melihat bahwa hmi ini berstatus sebagai organisasi mahasiswa (vide pasal 7 ad hmi). sebelum kita lebih jauh mengupas tentang organisasi ini, ada baiknya kita terlebih dahulu mengetahui apa itu mahasiswa? dengan melihat studi di perguruan tinggi paska melewati masa sekolahnya di smu/sederajat, mahasiswa bisa disebut sebagai orang muda yang secara kejiwaan mengalami fase yang senantiasa berbuat guna menemukan jati dirinya. orang muda selalu dicirikan dengan semangat yang mengebu-gebu, selalu berpikir ke depan dan normatif, apa yang seharusnya, apa yang sepatutnya, atau sering kita sebut dengan idealisme, selalu memandang sesuatu secara ideal. pendapat ini bisa jadi benar, jika membandingkannya dengan orang tua, yang memang harus berpikir senyatanya, bagaimana menghadapi tantangan hidup, persoalan pekerjaan, makan, kesejahteraan dst. lebih suka memandang kebelakang, mengingat-ingat romantisme dulu, hingga ungkapan.”muda idealis, tua pragmatis” barangkali benar.
mahasiswa, juga sering diberi predikat atau memainkan peran sebagai inti kekuatan perubahan, garda terdepan pembaharuan, benteng moral bangsa, sosial kontrol antara lain karena dua alasan pertama, karena mahasiswa memiliki ilmu pengetahuan yang lebih dibandingkan kawan-kawannya yang tidak mengecap pendidikan tinggi. dimana ciri-cirinya mahasiswa relatif memiliki otonomi yang tinggi, tidak bergantung pada pihak manapun, kritis, kelompok yang bebas dari kelompok kepentingan apapun kecuali kepentingan kebenaran.. berikutnya karena berpendidikan tinggi maka secara politis mahasiswa telah mengalami sosialisasi politik yang lebih tinggi, di kampusnya mereka mengalami akulturasi mengingat heterogenitas penghuni kampus, sehingga mahasiswa dalam mengemban fungsi generasinya sebagai kaum muda terdidik harus sadar akan kebaikan dan kebahagiaan masyarakat hari ini dan masa yang akan datang. kondisi tersebut memungkinkan transformasi dalam tataran nilai pada mahasiswa. kedua, adalah legitimasi atas fungsi dan peran yang dimainkan sepanjang panggung sejarah dengan tema besar “dinamika gerakan mahasiswa”.
percaya tidak percaya, dalam perjalanan sejarah bangsa indonesia, peran kaum muda khususnya mahasiswa tidak dapat dipandang kecil, inilah mungkin yang menjadi “semacam beban” bagi gererasi mahasiswa dalam continuum waktu berikutnya, hingga berbagai macam predikat itu menjadi sebuah kewajiban. katakanlah kebangkitan nasional 1908 dan sumpah pemuda 1928, dimana mahasiswa pada saat itu dipandang sebagai pelopor dan pemersatu bangsa. kemudian di masa revolusi kemerdekaan, mahasiswa dipandang sebagai pendobrak penjajahan dan pembela kemerdekaan republik. sebagai satu catatan saja, hmi pada masa itu menjadi salah satu—kalau tidak etis mengatakan, satu-satunya—inisiator pembentukan perhimpunan persyarikatan mahasiswa indonesia (ppmi) dan turut berjuang senjata pula dalam corps/compy mahasiswa, pada masa paska kemerdekaan identitas dan peran politik mahasiswa semakin diperkuat oleh keberhasilan protes-protes mahasiswa tahun 1966 yang tergabung dalam kami (kesatuan aksi mahasiswa indonesia) yang berhasil dengan sukses menumbangkan orde lama, dimana sekali lagi hmi menjadi salah satu inisiatornya.
namun dalam perjalanannya, dinamika gerakan mahasiswa menghadapi persoalan internal paska ’66 dikarenakan, mahasiswa adalah termasuk elemen pembentuk orde baru, selain abri (sekarang tni) dan teknokrat. tampak terjadi kebuntuan, apa alternatif bangunan gerakan yang ditawarkan, tatkala gerakan ’66 telah menjadi mitos? peran apa yang ingin dimainkan dalam system politik orba? bagaimana seharusnya tugas dan masa depan eksponen ’66? pertanyaan-pertanyaan itu memang akan terlihat sangat susah sebab mahasiswa adalah termasuk dalam salah satu grand design elit yang menang.
baru pada awal ‘70-an mahasiswa menemukan perannya yang sesuai dengan predikat intelektual, yakni sebagai kekuatan moral (moral force). artinya, mahasiswa bukan sebagai kelompok elit politik yang berusaha mendapatkan kekuasaan, melainkan sebagai kekuatan moral yang secara aktif ikut berperan dalam mencapai cita-cita negara. tugas utama dalam konsep ini adalah melakukan kritik terhadap keadaan sosial politik yang tidak benar. dengan demikian mahasiswa tidak cuma keluar dari aliansi segitiga, tetapi juga mau tidak mau harus berhadapan dengan rezim orde baru yang terdiri atas militer dan teknokrat (cikal bakal, golkar). dalam menghadapi kritik tersebut, rezim bisa bertindak akomodatif bisa pula bersikap keras. peristiwa malari 1974 (malapetaka 15 januari 1974) secara nyata menunjukkan kalau rezim tidak segan-segan bertindak keras terhadap mahasiswa dimana pemimpin-pemimpin mahasiswa dijebloskan dalam penjara dan organisasinya dibubarkan.
tahun berikutnya, kita bisa mencatat naik turunnya dinamika itu katakanlah tahun 1978 yang menunjukkan bahwa kekuatan negara orba semakin dominan dan sebaliknya kekuatan masyarakat melemah, protes menolak soeharto tidak berarti apa-apa, malah sebaliknya, negara semakin menjadi-jadi dengan mengeluarkan paket kebijakan nkk/bkk, daoed joesoef, wawasan almamater, nugroho notosusanto yang kesemuany berupaya mematikan aktifitas politik mahasiswa dan menjadikan mahasiswa hanya sebagai manusia penganalisa (man of analisys) dan pekerja otak (knowledge worker) yang dipersiapkan untuk memasuki teknostruktur.
sabar, sabar, sabar dan tunggu, itu jawaban yang kami terima; kita harus ke jalan, robohkan setan yang berdiri mengangkang… (bongkar, iwan fals)
ketatnya kebijakan itu otomatis, menjadikan kampus di tahun 80-an adem ayem, mahasiswa banyak melarikan aktifitas politiknya pada diskusi dan kontemplasi di luar kampus. yang kemudian mempolarisasikan gerakan mahasiswa pada dua bentuk yakni, kelompok studi dan lsm mahasiswa. dua bentuk ini tidak pernah ketemu dalam prakteknya, satu menganggap yang lain hanya beronani wacana dan satu menganggap yang lain pragmatis, tanpa menyadari bahwa aksi akan semakin kuat jika dibarengi refleksi, dan diskusi akan sangat praksis bila disertai aksi, sebagaimana lenin bilang, “mustahil terjadi revolusi tanpa teori revolusi”.
setelah mendapat kritik keras akan bentuk gerakan yang sama-sama ekslusif itu, mahasiswa, berkeyakinan untuk kembali ke kampus, karena memang disanalah basis gerakan itu ada. ’87 sampai akhir ’89, protes kembali menyeruak ke permukaan dengan isu yang beragam sesuai dengan perubahan politik yang ada saaat itu. dapat dicatat antara lain isu-isu itu mengangkat;: pertama, isu tentang masalah intern kampus seperti penolakan dekan/rektor, kenaikan spp, mutu pendidikan dll (1987); kedua, isu tentang depolitisasi kampus seperti pelaksanaan nkk/bkk, kebebasan mimbar, kebebasan akademik, otonomi kampus (1988); ketiga, isu lokal yang berupa ekses pembangunan di daerah atau penyalahgunaan wewenang oleh pejabat di daerah seperti kasus tanah badega, cimacan, kacapiring, kedung ombo dan penggalian pasir di mojokerto (1989); keempat, isu nasional yang bersifat membela atau memperjuangkan kepentingan rakyat banyak seperti kenaikan tarif listrik dan peredaran kupon ksob/tssb, kelima, isu yang bersifat merespon terhadap tindak kekerasan aparat pemerintah, seperti anti kekerasan.
1990 menjadi pertanda berakhirnya masa nkk/bkk, dengan keluarnya kebijakan senat mahasiswa perguruan tinggi (smpt), namun kampus terpolarisasi antara yang menerima dan menolak, yang menolak berpandangan smpt, tidak populis, smpt dijadikan ajang permainan elit mahasiswa, smpt dianggap tidak lebih sebagai upaya kooptasi birokrat kampus dan perpanjangan nkk/bkk yang berubah bentuk. sedang yang menerima berpandangan adanya celah yang dapat digunakan mahasiswa yakni petunjuk teknis pelaksanaan keputusan ditetapkan oleh masing-masing perguruan tinggi. dengan modal ini, aturan main smpt ditentukan oleh institusi perguruan tinggi masing-masing. tetapi yang jelas keberadaan smpt, tidak lebih hanya memberikan prestise, “kesejahtera-mudahan” pengurus, dan “kekuasaan” eksistensi kelembagaan.
sampai akhirnya, situasi politik dan ekonomi yang tidak menentu di 1997 dapat menyatukan kembali gerakan mahasiswa, dengan bungkus reformasi, 32 tahun rezim soeharto dapat dilengserkan. ‘98, dinamika gerakan mahasiswa mencapai titik gemilang berikutnya. seperti sebuah rangkaian episode yang teratur, mahasiswa paska ’98 dipaksa keras untuk menjaga berjalannya proses reformasi. sebagaimana air laut, dinamika gerakan mahasiswa mengalami pasang surut sampai hari ini…
hmi, hakekat dan maknanya…
berikutnya yang terlihat dari kata hmi adalah “i”nya, yakni islam. dalam anggaran dasar pasal 3 disebutkan bahwa “hmi berasaskan islam”, bahkan jauh sebelum itu ide dasar kelahiran hmi yang melihat kondisi umat islam indonesia yang terpolarisasi dalam beberapa kelompok maka menurut pemrakarsa pendiri, ayahanda, lafran pane, kita harus melakukan “pembaharuan ke-islaman”. maka untuk melakukan gerakan pembaharuan mutlak dibutuhkan alat perjuangan yang berupa organisasi, karena gerakan tidak bisa dilakukan sambil lalu melainkan harus dengan suatu usaha yang teratur, terencana dan sistematis.
selain itu salah satu latar belakang yang sangat dominan dalam lahirnyapun adalah persoalan ke-islaman, antara lain: (1). menampung aspirasi mahasiswa islam akan kebutuhan, pemahaman, penghayatan keagamaan; (2). tenggelamnya ruh dan semangat islam dalam mahzabisme, sufisme dan tertutupnya pintu ijtihad. namun disamping itu bangkitnya islam yang dimulai dari dunia arab berupa gerakan reformasi dan modernisasi dalam tata kehidupan keagamaan umat islam dan resonansinya mengilhami dan mendorong umat islam indonesia untuk bangkit, kebangkitan terlihat dari munculnya serikat dagang islam, muhammadiyah, al-jamiatul wasliyah, persatuan umat islam, persatuan islam dan masyumi; (3). terjadinya krisis keseimbangan dikalangan mahasiswa akibat perguruan tinggi yang tidak mengintegrasikan antara disiplin ilmu dan agama.
sesungguhnya allah subhanahu wa ta’ala, menurunkan islam sebagai agama yang haq, dan sempurna untuk mengatur umat manusia agar berkehidupan sesuai dengan fitrahnya sebagai khalifah di muka bumi dengan kewajiban mengabdikan diri semata-mata kehadirat-nya. kehidupan yang sesuai dengan fitrah manusia tersebut adalah kehidupan yang seimbang, terpadu antara jasmani dan ruhani, individu dan masyarakat, iman, ilmu dan amal dalam mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan ukhrowi (lihat, nilai-nilai dasar perjuangan hmi).
sehingga dengan begitu ke-islaman adalah sebuah komitmen (ikatan jiwa) bagi hmi secara moral dan kelembagaan. maka islam bagi hmi adalah dasar kelahiran, sumber nilai, motivasi, dan inspirasi. karena islam adalah ajaran yang fitrah, maka pada dasarnya tujuan islam adalah juga merupakan tujuan dan usaha hmi
.
aku tak mau terlibat persekutuan manipulasi; aku tak mau terlibat pengingkaran keadilan; aku mau jujur-jujur saja, bicara apa adanya; aku tak mau mengingkari hati nurani. (hio, iwan fals)
sebagaimana tadi dikatakan diatas, dimana mahasiswa yang berperan sebagai moral force yang senantiasa menjalankan fungsi social control. maka mahasiswa harus senantiasa merupakan kelompok yang bebas dari kelompok apapun, kecuali kepentingan kebenaran dan obyektifitas demi kebaikan dan kebahagiaan masyarakat hari ini dan kedepan. untuk itu sebagai hmi yang berstatus sebagai organisasi mahasiswa, sifat mahasiswa harus dijiwai dan menjiwai hmi, dengan kata lain hmi harus menjiwai dan dijiwai sikap independen.
sifat independensi hmi adalah sifat organisasi secara etis merupakan karakter dan kepribadian kader hmi. implementasinya harus terwujud dalam bentuk pola pikir pola sikap, dan pola laku setiap kader hmi baik dalam dinamikanya sebagai kader hmi—yang kemudian disebut sebagai independensi etis hmi—maupun dalam melaksanakan hakekat dan mission hmi dalam kiprah hidup berorganisasi, berbangsa dan bernegara, kemudian disebut sebagai independensi organisatoris hmi.
independensi etis adalah sifat independen secara etis yang pada hakekatnya merupakan sifat yang sesuai dengan fitrah kemanusiaan. fitrah tersebut membuat keinginan manusia suci dan secara kodrati cenderung pada kebenaran (hanief). watak dan kepribadian kader sesuai dengan fitrahnya akan membuat kader hmi selalu setia pada hati nuraninya yang senantiasa memancarkan keinginan pada kebaikan, kesuciaan dan kebenaran pada allah subhanahu wa ta’ala. dengan demikian melaksanakan independensi etis bagi setiap kader hmi berarti pengaktualisasian dinamika berpikir, bersikap, dan berprilaku baik hablumminallah maupun dalam hablumminannas hanya tunduk dan patuh pada kebenaran.
sedang independensi organisatoris adalah watak independen hmi yang teraktualisasi secara organisasi di dalam kiprah dinamika hmi baik dalam kehidupan interen organisasi maupun dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. independensi organisatoris diartikan bahwa dalam keutuhan kehidupan nasional, hmi secara organisatoris senantiasa melakukan partisipasi aktif, korektif, dan konstitusional agar perjuangan bangsa dan segala usaha pembangunan demi mencapai cita-cita (masyarakat adil dan makmur tanpa tindasan, tanpa hisapan) semakin hari semakin terwujud dengan tetap menjunjung tinggi, tunduk dan komit pada prinsip-prinsip kebenaran dan obyektifitas. dalam melaksanakan dinamika organisasi hmi secara organisatoris tidak pernah terikat jiwa pada kepentingan pihak manapun atau kelompok atau golongan manapun kecuali tunduk dan terikat pada kepentingan kebenaran, obyektifitas, kejujuran, dan keadilan.
mencoba membaca tujuan itu
ibu pertiwi hilang tawanya; tak percaya masih ada cinta… (untukmu negeri, iwan fals)
dalam perjalanannya, rumusan tujuan hmi mengalami beberapa kali perubahan, yang dapat di bagi sebagai berikut:
hasil rapat 5 februari 1947 oleh para pendiri, yaitu: (1). mempertahankan negara republik indonesia dan mempertinggi derajat rakyat indonesia; dan (2). menegakkan dan mengembangkan agama islam. lahir pada masa itu jelas menunjukkan hmi adalah anak kandung revolusi sekaligus anak kandung umat islam indonesia yang resah atas gelagat sejarah. dengan pertimbangan bahwa islam tidak akan berkembang, bila indonesia berlum lagi merdeka. seperti diketahui rentang waktu 1945 s/d 1949, belanda masih melakukan agresi militer, hingga mempertahankan kemerdekaan republik menjadi suatu prioritas.
hasil ketetapan kongres i hmi di yogyakarta, 30 november 1947, yang tertuang dalam pasal 4 ad, membalik rumusan menjadi: (1). menegakkan dan mengembangkan agama islam; dan (2). mempertinggi derajat rakyat dan negara republik indonesia. walau baru 9 bulan, ternyata hmi lebih memilih menjadi anak umat daripada anak bangsa.
hasil ketetapan kongres iv hmi di bandung, yang disahkan 4 oktober 1955, yang tertuang dalam pasal 4 ad, dengan pertimbangan akan kurang tepat jika memposisikan hmi sebagai organisasi massa apalagi kekuatan politik (praktis), sehingga disepakati memfungsikan hmi sebagai organisasi kader. dengan demikian rumusan tujuan menjadi “ikut mengusahakan terbentuknya manusia akademis, pencipta dan pengabdi yang bernafaskan islam”.
namun dalam perjalanan hmi selanjutnya terasa ada yang kurang dari rumusan tujuan tersebut yakni fungsi lebih lanjut dari “manusia akademis, pencipta dan pengabdi yang bernafaskan islam” itu serta di bumi apa insan cita itu hidup dan bergerak. karena itu pada kongres x di palembang, dalam ketetapannya yang disahkan 10 oktober 1971 melengkapi rumusan tujuan tersebut sambil memperbaiki redaksinya sehingga berbunyi “terbinanya insan akademis, pencipta, pengabdi yang bernafaskan islam dan bertanggungjawab atas terwujudnya masyarakat adil dan makmur yang diridhoi allah subhanahu wa ta’ala”. dan terus dikukuhkan dan disahkan di kongres-kongres berikutnya, insyaallah. dalam rumusan tujuan tersebut, maka hmi pada hakekatnya hmi bukanlah organisasi massa dalam artian kuantitatif, sebaliknya hmi secara kualitatif merupakan lembaga pengabdian dan pengembangan idea, bakat dan potensi yang mendidik, memimpin dan membimbing anggota-anggotanya untuk mencapai tujuan dengan cara-cara perjuangan yang benar dan efektif. dari rumusan itu pula dapat dibagi menjadi dua, yakni insan cita dan masyarakat cita.
insan cita hmi adalah merupakan dunia cita, ideal yang ingin diwujudkan oleh hmi dalam pribadi seseorang manusia beriman dan berilmu pengetahuan serta mampu melaksanakan tugas kerja kemanusiaan. dalam tafsir tujuan hmi, insan cita memiliki beberapa 17 kualitas pribadi, yang pada pokoknya merupakan gambaran “man of future”, insan pelopor yaitu insane yang berpikiran luas dan berpandangan jauh, bersifat terbuka, terampil atau ahli dalam bidangnya, dia sadar apa yang menjadi cita-citanya dan tahu bagaimana mencari ilmu perjuangan untuk secara operatijf bekerja sesuai dengan yang dicita-citakan. ideal tipe dari hasil perkaderan hmi adalah “man of inovator” (duta-duta pembaharu). penyuara “idea of progress”. insane yang berkepribadian imbang yang berkepribadian imbang dan padu, kritis, dinamis, adil dan jujur, tidak takabur dan bertaqwa kepada allah swt. mereka itu manusia-manusia yang beriman, berilmu, dan mampu beramal saleh dalam kualitas yang maksimal (insan kamil).
masyarakat adil dan makmur yang diridhoi allah swt. adalah gambaran sederhana hmi tentang tatanan masyarakat yang dimimpikan untuk diwujudkannya, dicita-citakannya, masyarakat yang dalam bahasa agama disebut sebagai baldatun toyibbatun wa robbun ghafur yang merupakan fungsi dari insan cita yang akan dikader oleh hmi. masyarakat cita yang ingin diwujudkan hmi itu juga senada dengan apa yang ingin menjadi cita-cita kemerdekaan oleh bung-bung besar pendiri republik ini, yakni masyarakat yang bebas dari bermacam bentuk belenggu penindasan, masyarakat yang berdaulat, masyarakat yang berdaya, mampu dan mandiri serta dapat menentukan hidupnya sendiri, masyarakat yang menjadi cita-cita kemerdekaan sebagaimana tujuan dari kemerdekaan bukanlah kemerdekaan itu sendiri, dimana bila merujuk pada bahasa preambule konstitusi kita, pembukaan uud 1945 yaitu perjuangan pergerakan kemerdekaan indonesia masih sampai sebatas mengantarkan rakyat pada “pintu gerbang” satu tatanan masyarakat “adil dan makmur” untuk itu syarat mutlaknya adalah penjajahan diatas dunia harus dihapuskan, indonesia bisa berkehidupan kebangsaan yang bebas dst..dst… dengan begitu jelas bahwa masyarakat cita ini berada di dalam republik indonesia, dan tujuan hmi hanya dapat direalisasikan oleh mereka yang disebut “kader” dan itu tidaklah berhenti pada masa keanggotaan seorang mahasiswa.
fungsi dan peran.
dalam anggaran dasar, pasal 8 dikatakan bahwa “hmi berfungsi sebagai organisasi kader”. dalam pedoman perkaderan dikatakan bahwa, kader adalah sekelompok orang yang terorganisir secara terus menerus dan akan menjadi tulang punggung bagi kelompok yang lebih besar. hal ini dijelaskan dalam ciri-ciri komulatif seorang kader hmi, yaitu: pertama, seorang kader bergerak dan terbentuk dalam organisasi, mengenal aturan-aturan main organisasi dan tidak bermain sendiri sesuai dengan selera pribadi. dari segi nilai, aturan itu adalah ndp, sedang dari segi operationalisasi organisasi adalah ad/art hmi, pedoman perkaderan, dan pedoman serta ketentuan organisasi lainnya. kedua, seorang kader memiliki komitmen yang terus menerus (permanen), tidak mengenal semangat musiman, tapi utuh dan istiqomah (konsisten) dalam memperjuangkan dan melaksanakan kebenaran. ketiga, seorang kader memiliki bobot yang dan kualitas sebagai tulang punggung atau kerangka yang mampu menyangga kesatuan komunitas manusia yang lebih besar. jadi fokus penekanan kaderisasi adalah pada aspek kualitas. keempat, seorang kader memiliki visi dan perhatian yang serius dalam merespon dinamika sosial lingkungannya dan mampu melakukan social engineering.
sedang dalam pasal 9 anggaran dasar disebutkan “hmi berperan sebagai organisasi perjuangan”. sebagaimana di atas, baik secara organisatoris maupun etis adalah kewajiban bagi kader hmi untuk komit terhadap islam dan hmi adalah alatnya, alat perjuangan untuk mentransformasikan nilai-nilai ke-islaman yang membebaskan (liberation force), dan memiliki keberpihakan yang jelas terhadap kaum miskin (dhu’afa) dan kaum tertindas (mustradzafin). perubahan bagi hmi merupakan keharusan, demi tercapainya idealisme ke-islaman, maka hmi bertekad menjadikan islam sebagaiu doktrin yang mengarahkan pada peradaban secara integralistik, transendental, humanis, dan inklusif. dengan demikian kader-kader hmi harus berani menegakkan nilai-nilai kebenaran dan keadilanserta prinsip-prinsip demokrasi tanpa melihat perbedaan keyakinan dan mendorong terciptanya penghargaan islam sebagai sumber kebenaran yang paling hakiki.
jelaslah kiranya bahwa dalam rumusan tujuan hmi yang tadi kita katakan terbagi dua yakni “insan cita” dan “masyarakat cita” secara eksplisit berbicara tentang fungsi perkaderan dan peran perjuangan. dan tujuan hmi tidak akan pernah tercapai bila dalam prosesnya tidak sinambung antara keduanya. fungsi dan peran adalah dua sisi mata koin (two side of coin) tujuan. bahwa mustahil ada perubahan ke arah yang benar, kalau kesalahan berpikir masih menjebak benak kita, kata kang jalal, maka akan muspro berbicara sosial jika masalah personal masih saja menggerogoti kita. dalam bahasa kita sehari hari, internalisasi dahulu baru ekternalisasi atau obyektifikasi, pengabdian mengharap ridho-nya.
nah, akhirnya…
tujuan, jelas diperlukan oleh suatu organisasi sehingga setiap usahanya yang dilakukannya dapat dilaksanakan secara terencana, teratur, terarah dan sistematis. bahwa tujuan suatu organisasi dipengaruhi oleh motivasi dasar pembentukannya, status, sifat, fungsi dan perannya secara integral dalam totalitas dimana ia berada.
islam bagi hmi adalah sebagai sumber nilai, motivasi, inspirasi. keyakinan akan kebenaran islam menjadikan hmi secara sadar memilih islam sebagai asasnya (vide pasal 3 ad). oleh karenanya islam bagi hmi merupakan pijakannya dalam menetapkan tujuan. status hmi sebagai organisasi mahasiswa (vide pasal 7 ad) memberi petunjuk dimana hmi berspesialisasi. spesialisasi inilah yang disebut dengan fungsi hmi yakni sebagai organisasi kader (vide pasal 8 ad), karena mahasiswa adalah kelompok elit dalam totalitas generasi muda yang harus mempersiapkan diri dalam menerima tongkat estafet kepemimpinan bangsa dan generasi yang akan datang. maka fungsi kaderisasi mahasiswa merupakan fungsi yang paling pokok. sebagai kelompok elit, mahasiswa memiliki tanggung jawab yang besar, karena itu dengan sifat dan wataknya yang kritis, mahasiswa kemudian berperan sebagai moral force yang senantiasa melaksanakan fungsi social control. untuk itu, mahasiswa harus bersikap independen dan hanya berpihak pada kebenaran dan keadilan serta obyektifitas. hmi yang melakukan fungsi kaderisasi mahasiswa pun harus menjiwai dan dijiwai sifat independen (vide pasal 6 ad). fungsi kaderisasi dalam membentuk apa yang disebut hmi sebagai insan cita (insan kamil ala hmi) tidak lain adalah upaya untuk mewujudkan kehidupan yang sesuai dengan fitrahnya, yakni kehidupan yang seimbang dan terpadu antara jasmani dan ruhani, akal dan kalbu, individu dan masyarakat, iman dan ilmu, demi mencapai kebahagiaan di dunia dan ukhrowi. demi mencapai kehidupan yang sesuai dengan fitrahnya itu, maka dibutuhkan sebuah kerja kemanusiaan (amal shaleh), yang tertuang dalam peran hmi sebagai organisasi perjuangan (vide pasal 9 ad), yakni peran yang diemban dalam melakukan internalisasi, eksternalisasi maupun obyektifikasi nilai-nilai ke-islaman. dan kerja kemanusiaan ini akan terlaksana dengan benar dan sempurna apabila dibekali dan didasari oleh iman dan ilmu pengetahuan. karena inilah hakekat tujuan hmi tidak lain adalah pembentukan manusia yang beriman dan berilmu serta mampu menunaikan tugas kerja kemanusiaan (amal shaleh). pengabdian dalam bentuk kerja kemanusiaan inilah hakekat tujuan hidup manusia, sebab dengan melalui kerja kemanusiaan, manusia mendapatkan kebahagiaan.
billahittaufiq wal hidayah. bahagia hmi…

semua yang ada pasti diciptakan dan semua yang diciptakan mesti memiliki tujuan, karena ada tanpa tujuan sama saja dengan akal tak berpengetahuan, hampa…

apa, kenapa, bagaimana?

Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), dari namanya saja, orang akan bisa melihat bahwa hmi ini berstatus sebagai organisasi mahasiswa (vide pasal 7 ad hmi). Sebelum kita lebih jauh mengupas tentang organisasi ini, ada baiknya kita terlebih dahulu mengetahui apa itu mahasiswa? dengan melihat studi di perguruan tinggi paska melewati masa sekolahnya di smu/sederajat, mahasiswa bisa disebut sebagai orang muda yang secara kejiwaan mengalami fase yang senantiasa berbuat guna menemukan jati dirinya. Orang muda selalu dicirikan dengan semangat yang mengebu-gebu, selalu berpikir ke depan dan normatif, apa yang seharusnya, apa yang sepatutnya, atau sering kita sebut dengan idealisme, selalu memandang sesuatu secara ideal. pendapat ini bisa jadi benar, jika membandingkannya dengan orang tua, yang memang harus berpikir senyatanya, bagaimana menghadapi tantangan hidup, persoalan pekerjaan, makan, kesejahteraan dst. lebih suka memandang kebelakang, mengingat-ingat romantisme dulu, hingga ungkapan. “muda idealis, tua pragmatis” barangkali benar.

Mahasiswa,  juga sering diberi predikat atau memainkan peran sebagai inti kekuatan perubahan, garda terdepan pembaharuan, benteng moral bangsa, sosial kontrol antara lain karena dua alasan pertama, karena mahasiswa memiliki ilmu pengetahuan yang lebih dibandingkan kawan-kawannya yang tidak mengecap pendidikan tinggi. Dimana ciri-cirinya mahasiswa relatif memiliki otonomi yang tinggi, tidak bergantung pada pihak manapun, kritis, kelompok yang bebas dari kelompok kepentingan apapun kecuali kepentingan kebenaran.. berikutnya karena berpendidikan tinggi maka secara politis mahasiswa telah mengalami sosialisasi politik yang lebih tinggi, di kampusnya mereka mengalami akulturasi mengingat heterogenitas penghuni kampus, sehingga mahasiswa dalam mengemban fungsi generasinya sebagai kaum muda terdidik harus sadar akan kebaikan dan kebahagiaan masyarakat hari ini dan masa yang akan datang. kondisi tersebut memungkinkan transformasi dalam tataran nilai pada mahasiswa. Kedua, adalah legitimasi atas fungsi dan peran yang dimainkan sepanjang panggung sejarah dengan tema besar “dinamika gerakan mahasiswa”.

Percaya tidak percaya, dalam perjalanan sejarah bangsa indonesia, peran kaum muda khususnya mahasiswa tidak dapat dipandang kecil, inilah mungkin yang menjadi “semacam beban” bagi gererasi mahasiswa dalam continuum waktu berikutnya, hingga berbagai macam predikat itu menjadi sebuah kewajiban. katakanlah kebangkitan nasional 1908 dan sumpah pemuda 1928, dimana mahasiswa pada saat itu dipandang sebagai pelopor dan pemersatu bangsa. kemudian di masa revolusi kemerdekaan, mahasiswa dipandang sebagai pendobrak penjajahan dan pembela kemerdekaan republik. sebagai satu catatan saja, hmi pada masa itu menjadi salah satu—kalau tidak etis mengatakan, satu-satunya—inisiator pembentukan perhimpunan persyarikatan mahasiswa indonesia (ppmi) dan turut berjuang senjata pula dalam corps/compy mahasiswa, pada masa paska kemerdekaan identitas dan peran politik mahasiswa semakin diperkuat oleh keberhasilan protes-protes mahasiswa tahun 1966 yang tergabung dalam kami (kesatuan aksi mahasiswa indonesia) yang berhasil dengan sukses menumbangkan orde lama, dimana sekali lagi hmi menjadi salah satu inisiatornya.

namun dalam perjalanannya, dinamika gerakan mahasiswa menghadapi persoalan internal paska ’66 dikarenakan, mahasiswa adalah termasuk elemen pembentuk orde baru, selain abri (sekarang tni) dan teknokrat. tampak terjadi kebuntuan, apa alternatif bangunan gerakan yang ditawarkan, tatkala gerakan ’66 telah menjadi mitos? peran apa yang ingin dimainkan dalam system politik orba? bagaimana seharusnya tugas dan masa depan eksponen ’66? pertanyaan-pertanyaan itu memang akan terlihat sangat susah sebab mahasiswa adalah termasuk dalam salah satu grand design elit yang menang.

baru pada awal ‘70-an mahasiswa menemukan perannya yang sesuai dengan predikat intelektual, yakni sebagai kekuatan moral (moral force). artinya, mahasiswa bukan sebagai kelompok elit politik yang berusaha mendapatkan kekuasaan, melainkan sebagai kekuatan moral yang secara aktif ikut berperan dalam mencapai cita-cita negara. tugas utama dalam konsep ini adalah melakukan kritik terhadap keadaan sosial politik yang tidak benar. dengan demikian mahasiswa tidak cuma keluar dari aliansi segitiga, tetapi juga mau tidak mau harus berhadapan dengan rezim orde baru yang terdiri atas militer dan teknokrat (cikal bakal, golkar). dalam menghadapi kritik tersebut, rezim bisa bertindak akomodatif bisa pula bersikap keras. peristiwa malari 1974 (malapetaka 15 januari 1974) secara nyata menunjukkan kalau rezim tidak segan-segan bertindak keras terhadap mahasiswa dimana pemimpin-pemimpin mahasiswa dijebloskan dalam penjara dan organisasinya dibubarkan.

tahun berikutnya, kita bisa mencatat naik turunnya dinamika itu katakanlah tahun 1978 yang menunjukkan bahwa kekuatan negara orba semakin dominan dan sebaliknya kekuatan masyarakat melemah, protes menolak soeharto tidak berarti apa-apa, malah sebaliknya, negara semakin menjadi-jadi dengan mengeluarkan paket kebijakan nkk/bkk, daoed joesoef, wawasan almamater, nugroho notosusanto yang kesemuany berupaya mematikan aktifitas politik mahasiswa dan menjadikan mahasiswa hanya sebagai manusia penganalisa (man of analisys) dan pekerja otak (knowledge worker) yang dipersiapkan untuk memasuki teknostruktur.

sabar, sabar, sabar dan tunggu, itu jawaban yang kami terima; kita harus ke jalan, robohkan setan yang berdiri mengangkang… (bongkar, iwan fals)

ketatnya kebijakan itu otomatis, menjadikan kampus di tahun 80-an adem ayem, mahasiswa banyak melarikan aktifitas politiknya pada diskusi dan kontemplasi di luar kampus. yang kemudian mempolarisasikan gerakan mahasiswa pada dua bentuk yakni, kelompok studi dan lsm mahasiswa. dua bentuk ini tidak pernah ketemu dalam prakteknya, satu menganggap yang lain hanya beronani wacana dan satu menganggap yang lain pragmatis, tanpa menyadari bahwa aksi akan semakin kuat jika dibarengi refleksi, dan diskusi akan sangat praksis bila disertai aksi, sebagaimana lenin bilang, “mustahil terjadi revolusi tanpa teori revolusi”.

setelah mendapat kritik keras akan bentuk gerakan yang sama-sama ekslusif itu, mahasiswa, berkeyakinan untuk kembali ke kampus, karena memang disanalah basis gerakan itu ada. ’87 sampai akhir ’89, protes kembali menyeruak ke permukaan dengan isu yang beragam sesuai dengan perubahan politik yang ada saaat itu. dapat dicatat antara lain isu-isu itu mengangkat;: pertama, isu tentang masalah intern kampus seperti penolakan dekan/rektor, kenaikan spp, mutu pendidikan dll (1987); kedua, isu tentang depolitisasi kampus seperti pelaksanaan nkk/bkk, kebebasan mimbar, kebebasan akademik, otonomi kampus (1988); ketiga, isu lokal yang berupa ekses pembangunan di daerah atau penyalahgunaan wewenang oleh pejabat di daerah seperti kasus tanah badega, cimacan, kacapiring, kedung ombo dan penggalian pasir di mojokerto (1989); keempat, isu nasional yang bersifat membela atau memperjuangkan kepentingan rakyat banyak seperti kenaikan tarif listrik dan peredaran kupon ksob/tssb, kelima, isu yang bersifat merespon terhadap tindak kekerasan aparat pemerintah, seperti anti kekerasan.

1990 menjadi pertanda berakhirnya masa nkk/bkk, dengan keluarnya kebijakan senat mahasiswa perguruan tinggi (smpt), namun kampus terpolarisasi antara yang menerima dan menolak, yang menolak berpandangan smpt, tidak populis, smpt dijadikan ajang permainan elit mahasiswa, smpt dianggap tidak lebih sebagai upaya kooptasi birokrat kampus dan perpanjangan nkk/bkk yang berubah bentuk. sedang yang menerima berpandangan adanya celah yang dapat digunakan mahasiswa yakni petunjuk teknis pelaksanaan keputusan ditetapkan oleh masing-masing perguruan tinggi. dengan modal ini, aturan main smpt ditentukan oleh institusi perguruan tinggi masing-masing. tetapi yang jelas keberadaan smpt, tidak lebih hanya memberikan prestise, “kesejahtera-mudahan” pengurus, dan “kekuasaan” eksistensi kelembagaan.

sampai akhirnya, situasi politik dan ekonomi yang tidak menentu di 1997 dapat menyatukan kembali gerakan mahasiswa, dengan bungkus reformasi, 32 tahun rezim soeharto dapat dilengserkan. ‘98, dinamika gerakan mahasiswa mencapai titik gemilang berikutnya. seperti sebuah rangkaian episode yang teratur, mahasiswa paska ’98 dipaksa keras untuk menjaga berjalannya proses reformasi. sebagaimana air laut, dinamika gerakan mahasiswa mengalami pasang surut sampai hari ini…

hmi, hakekat dan maknanya…

berikutnya yang terlihat dari kata hmi adalah “i”nya, yakni islam. dalam anggaran dasar pasal 3 disebutkan bahwa “hmi berasaskan islam”, bahkan jauh sebelum itu ide dasar kelahiran hmi yang melihat kondisi umat islam indonesia yang terpolarisasi dalam beberapa kelompok maka menurut pemrakarsa pendiri, ayahanda, lafran pane, kita harus melakukan “pembaharuan ke-islaman”. maka untuk melakukan gerakan pembaharuan mutlak dibutuhkan alat perjuangan yang berupa organisasi, karena gerakan tidak bisa dilakukan sambil lalu melainkan harus dengan suatu usaha yang teratur, terencana dan sistematis.

selain itu salah satu latar belakang yang sangat dominan dalam lahirnyapun adalah persoalan ke-islaman, antara lain: (1). menampung aspirasi mahasiswa islam akan kebutuhan, pemahaman, penghayatan keagamaan; (2). tenggelamnya ruh dan semangat islam dalam mahzabisme, sufisme dan tertutupnya pintu ijtihad. namun disamping itu bangkitnya islam yang dimulai dari dunia arab berupa gerakan reformasi dan modernisasi dalam tata kehidupan keagamaan umat islam dan resonansinya mengilhami dan mendorong umat islam indonesia untuk bangkit, kebangkitan terlihat dari munculnya serikat dagang islam, muhammadiyah, al-jamiatul wasliyah, persatuan umat islam, persatuan islam dan masyumi; (3). terjadinya krisis keseimbangan dikalangan mahasiswa akibat perguruan tinggi yang tidak mengintegrasikan antara disiplin ilmu dan agama.

sesungguhnya allah subhanahu wa ta’ala, menurunkan islam sebagai agama yang haq, dan sempurna untuk mengatur umat manusia agar berkehidupan sesuai dengan fitrahnya sebagai khalifah di muka bumi dengan kewajiban mengabdikan diri semata-mata kehadirat-nya. kehidupan yang sesuai dengan fitrah manusia tersebut adalah kehidupan yang seimbang, terpadu antara jasmani dan ruhani, individu dan masyarakat, iman, ilmu dan amal dalam mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan ukhrowi (lihat, nilai-nilai dasar perjuangan hmi).

sehingga dengan begitu ke-islaman adalah sebuah komitmen (ikatan jiwa) bagi hmi secara moral dan kelembagaan. maka islam bagi hmi adalah dasar kelahiran, sumber nilai, motivasi, dan inspirasi. karena islam adalah ajaran yang fitrah, maka pada dasarnya tujuan islam adalah juga merupakan tujuan dan usaha hmi.

aku tak mau terlibat persekutuan manipulasi; aku tak mau terlibat pengingkaran keadilan; aku mau jujur-jujur saja, bicara apa adanya; aku tak mau mengingkari hati nurani. (hio, iwan fals)

sebagaimana tadi dikatakan diatas, dimana mahasiswa yang berperan sebagai moral force yang senantiasa menjalankan fungsi social control. maka mahasiswa harus senantiasa merupakan kelompok yang bebas dari kelompok apapun, kecuali kepentingan kebenaran dan obyektifitas demi kebaikan dan kebahagiaan masyarakat hari ini dan kedepan. untuk itu sebagai hmi yang berstatus sebagai organisasi mahasiswa, sifat mahasiswa harus dijiwai dan menjiwai hmi, dengan kata lain hmi harus menjiwai dan dijiwai sikap independen.

sifat independensi hmi adalah sifat organisasi secara etis merupakan karakter dan kepribadian kader hmi. implementasinya harus terwujud dalam bentuk pola pikir pola sikap, dan pola laku setiap kader hmi baik dalam dinamikanya sebagai kader hmi—yang kemudian disebut sebagai independensi etis hmi—maupun dalam melaksanakan hakekat dan mission hmi dalam kiprah hidup berorganisasi, berbangsa dan bernegara, kemudian disebut sebagai independensi organisatoris hmi.

independensi etis adalah sifat independen secara etis yang pada hakekatnya merupakan sifat yang sesuai dengan fitrah kemanusiaan. fitrah tersebut membuat keinginan manusia suci dan secara kodrati cenderung pada kebenaran (hanief). watak dan kepribadian kader sesuai dengan fitrahnya akan membuat kader hmi selalu setia pada hati nuraninya yang senantiasa memancarkan keinginan pada kebaikan, kesuciaan dan kebenaran pada allah subhanahu wa ta’ala. dengan demikian melaksanakan independensi etis bagi setiap kader hmi berarti pengaktualisasian dinamika berpikir, bersikap, dan berprilaku baik hablumminallah maupun dalam hablumminannas hanya tunduk dan patuh pada kebenaran.

sedang independensi organisatoris adalah watak independen hmi yang teraktualisasi secara organisasi di dalam kiprah dinamika hmi baik dalam kehidupan interen organisasi maupun dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. independensi organisatoris diartikan bahwa dalam keutuhan kehidupan nasional, hmi secara organisatoris senantiasa melakukan partisipasi aktif, korektif, dan konstitusional agar perjuangan bangsa dan segala usaha pembangunan demi mencapai cita-cita (masyarakat adil dan makmur tanpa tindasan, tanpa hisapan) semakin hari semakin terwujud dengan tetap menjunjung tinggi, tunduk dan komit pada prinsip-prinsip kebenaran dan obyektifitas. dalam melaksanakan dinamika organisasi hmi secara organisatoris tidak pernah terikat jiwa pada kepentingan pihak manapun atau kelompok atau golongan manapun kecuali tunduk dan terikat pada kepentingan kebenaran, obyektifitas, kejujuran, dan keadilan.

mencoba membaca tujuan itu

ibu pertiwi hilang tawanya; tak percaya masih ada cinta… (untukmu negeri, iwan fals)

dalam perjalanannya, rumusan tujuan hmi mengalami beberapa kali perubahan, yang dapat di bagi sebagai berikut:

  • hasil rapat 5 februari 1947 oleh para pendiri, yaitu: (1). mempertahankan negara republik indonesia dan mempertinggi derajat rakyat indonesia; dan (2). menegakkan dan mengembangkan agama islam. lahir pada masa itu jelas menunjukkan hmi adalah anak kandung revolusi sekaligus anak kandung umat islam indonesia yang resah atas gelagat sejarah. dengan pertimbangan bahwa islam tidak akan berkembang, bila indonesia berlum lagi merdeka. seperti diketahui rentang waktu 1945 s/d 1949, belanda masih melakukan agresi militer, hingga mempertahankan kemerdekaan republik menjadi suatu prioritas.
  • hasil ketetapan kongres i hmi di yogyakarta, 30 november 1947, yang tertuang dalam pasal 4 ad, membalik rumusan menjadi: (1). menegakkan dan mengembangkan agama islam; dan (2). mempertinggi derajat rakyat dan negara republik indonesia. walau baru 9 bulan, ternyata hmi lebih memilih menjadi anak umat daripada anak bangsa.
  • hasil ketetapan kongres iv hmi di bandung, yang disahkan 4 oktober 1955, yang tertuang dalam pasal 4 ad, dengan pertimbangan akan kurang tepat jika memposisikan hmi sebagai organisasi massa apalagi kekuatan politik (praktis), sehingga disepakati memfungsikan hmi sebagai organisasi kader. dengan demikian rumusan tujuan menjadi “ikut mengusahakan terbentuknya manusia akademis, pencipta dan pengabdi yang bernafaskan islam”.
  • namun dalam perjalanan hmi selanjutnya terasa ada yang kurang dari rumusan tujuan tersebut yakni fungsi lebih lanjut dari “manusia akademis, pencipta dan pengabdi yang bernafaskan islam” itu serta di bumi apa insan cita itu hidup dan bergerak. karena itu pada kongres x di palembang, dalam ketetapannya yang disahkan 10 oktober 1971 melengkapi rumusan tujuan tersebut sambil memperbaiki redaksinya sehingga berbunyi “terbinanya insan akademis, pencipta, pengabdi yang bernafaskan islam dan bertanggungjawab atas terwujudnya masyarakat adil dan makmur yang diridhoi allah subhanahu wa ta’ala”. dan terus dikukuhkan dan disahkan di kongres-kongres berikutnya, insyaallah. dalam rumusan tujuan tersebut, maka hmi pada hakekatnya hmi bukanlah organisasi massa dalam artian kuantitatif, sebaliknya hmi secara kualitatif merupakan lembaga pengabdian dan pengembangan idea, bakat dan potensi yang mendidik, memimpin dan membimbing anggota-anggotanya untuk mencapai tujuan dengan cara-cara perjuangan yang benar dan efektif. dari rumusan itu pula dapat dibagi menjadi dua, yakni insan cita dan masyarakat cita.

insan cita hmi adalah merupakan dunia cita, ideal yang ingin diwujudkan oleh hmi dalam pribadi seseorang manusia beriman dan berilmu pengetahuan serta mampu melaksanakan tugas kerja kemanusiaan. dalam tafsir tujuan hmi, insan cita memiliki beberapa 17 kualitas pribadi, yang pada pokoknya merupakan gambaran “man of future”, insan pelopor yaitu insane yang berpikiran luas dan berpandangan jauh, bersifat terbuka, terampil atau ahli dalam bidangnya, dia sadar apa yang menjadi cita-citanya dan tahu bagaimana mencari ilmu perjuangan untuk secara operatijf bekerja sesuai dengan yang dicita-citakan. ideal tipe dari hasil perkaderan hmi adalah “man of inovator” (duta-duta pembaharu). penyuara “idea of progress”. insane yang berkepribadian imbang yang berkepribadian imbang dan padu, kritis, dinamis, adil dan jujur, tidak takabur dan bertaqwa kepada allah swt. mereka itu manusia-manusia yang beriman, berilmu, dan mampu beramal saleh dalam kualitas yang maksimal (insan kamil).

masyarakat adil dan makmur yang diridhoi allah swt. adalah gambaran sederhana hmi tentang tatanan masyarakat yang dimimpikan untuk diwujudkannya, dicita-citakannya, masyarakat yang dalam bahasa agama disebut sebagai baldatun toyibbatun wa robbun ghafur yang merupakan fungsi dari insan cita yang akan dikader oleh hmi. masyarakat cita yang ingin diwujudkan hmi itu juga senada dengan apa yang ingin menjadi cita-cita kemerdekaan oleh bung-bung besar pendiri republik ini, yakni masyarakat yang bebas dari bermacam bentuk belenggu penindasan, masyarakat yang berdaulat, masyarakat yang berdaya, mampu dan mandiri serta dapat menentukan hidupnya sendiri, masyarakat yang menjadi cita-cita kemerdekaan sebagaimana tujuan dari kemerdekaan bukanlah kemerdekaan itu sendiri, dimana bila merujuk pada bahasa preambule konstitusi kita, pembukaan uud 1945 yaitu perjuangan pergerakan kemerdekaan indonesia masih sampai sebatas mengantarkan rakyat pada “pintu gerbang” satu tatanan masyarakat “adil dan makmur” untuk itu syarat mutlaknya adalah penjajahan diatas dunia harus dihapuskan, indonesia bisa berkehidupan kebangsaan yang bebas dst..dst… dengan begitu jelas bahwa masyarakat cita ini berada di dalam republik indonesia, dan tujuan hmi hanya dapat direalisasikan oleh mereka yang disebut “kader” dan itu tidaklah berhenti pada masa keanggotaan seorang mahasiswa.

fungsi dan peran.

dalam anggaran dasar, pasal 8 dikatakan bahwa “hmi berfungsi sebagai organisasi kader”. dalam pedoman perkaderan dikatakan bahwa, kader adalah sekelompok orang yang terorganisir secara terus menerus dan akan menjadi tulang punggung bagi kelompok yang lebih besar. hal ini dijelaskan dalam ciri-ciri komulatif seorang kader hmi, yaitu: pertama, seorang kader bergerak dan terbentuk dalam organisasi, mengenal aturan-aturan main organisasi dan tidak bermain sendiri sesuai dengan selera pribadi. dari segi nilai, aturan itu adalah ndp, sedang dari segi operationalisasi organisasi adalah ad/art hmi, pedoman perkaderan, dan pedoman serta ketentuan organisasi lainnya. kedua, seorang kader memiliki komitmen yang terus menerus (permanen), tidak mengenal semangat musiman, tapi utuh dan istiqomah (konsisten) dalam memperjuangkan dan melaksanakan kebenaran. ketiga, seorang kader memiliki bobot yang dan kualitas sebagai tulang punggung atau kerangka yang mampu menyangga kesatuan komunitas manusia yang lebih besar. jadi fokus penekanan kaderisasi adalah pada aspek kualitas. keempat, seorang kader memiliki visi dan perhatian yang serius dalam merespon dinamika sosial lingkungannya dan mampu melakukan social engineering.

sedang dalam pasal 9 anggaran dasar disebutkan “hmi berperan sebagai organisasi perjuangan”. sebagaimana di atas, baik secara organisatoris maupun etis adalah kewajiban bagi kader hmi untuk komit terhadap islam dan hmi adalah alatnya, alat perjuangan untuk mentransformasikan nilai-nilai ke-islaman yang membebaskan (liberation force), dan memiliki keberpihakan yang jelas terhadap kaum miskin (dhu’afa) dan kaum tertindas (mustradzafin). perubahan bagi hmi merupakan keharusan, demi tercapainya idealisme ke-islaman, maka hmi bertekad menjadikan islam sebagaiu doktrin yang mengarahkan pada peradaban secara integralistik, transendental, humanis, dan inklusif. dengan demikian kader-kader hmi harus berani menegakkan nilai-nilai kebenaran dan keadilanserta prinsip-prinsip demokrasi tanpa melihat perbedaan keyakinan dan mendorong terciptanya penghargaan islam sebagai sumber kebenaran yang paling hakiki.

jelaslah kiranya bahwa dalam rumusan tujuan hmi yang tadi kita katakan terbagi dua yakni “insan cita” dan “masyarakat cita” secara eksplisit berbicara tentang fungsi perkaderan dan peran perjuangan. dan tujuan hmi tidak akan pernah tercapai bila dalam prosesnya tidak sinambung antara keduanya. fungsi dan peran adalah dua sisi mata koin (two side of coin) tujuan. bahwa mustahil ada perubahan ke arah yang benar, kalau kesalahan berpikir masih menjebak benak kita, kata kang jalal, maka akan muspro berbicara sosial jika masalah personal masih saja menggerogoti kita. dalam bahasa kita sehari hari, internalisasi dahulu baru ekternalisasi atau obyektifikasi, pengabdian mengharap ridho-nya.

nah, akhirnya…

tujuan, jelas diperlukan oleh suatu organisasi sehingga setiap usahanya yang dilakukannya dapat dilaksanakan secara terencana, teratur, terarah dan sistematis. bahwa tujuan suatu organisasi dipengaruhi oleh motivasi dasar pembentukannya, status, sifat, fungsi dan perannya secara integral dalam totalitas dimana ia berada.

islam bagi hmi adalah sebagai sumber nilai, motivasi, inspirasi. keyakinan akan kebenaran islam menjadikan hmi secara sadar memilih islam sebagai asasnya (vide pasal 3 ad). oleh karenanya islam bagi hmi merupakan pijakannya dalam menetapkan tujuan. status hmi sebagai organisasi mahasiswa (vide pasal 7 ad) memberi petunjuk dimana hmi berspesialisasi. spesialisasi inilah yang disebut dengan fungsi hmi yakni sebagai organisasi kader (vide pasal 8 ad), karena mahasiswa adalah kelompok elit dalam totalitas generasi muda yang harus mempersiapkan diri dalam menerima tongkat estafet kepemimpinan bangsa dan generasi yang akan datang. maka fungsi kaderisasi mahasiswa merupakan fungsi yang paling pokok. sebagai kelompok elit, mahasiswa memiliki tanggung jawab yang besar, karena itu dengan sifat dan wataknya yang kritis, mahasiswa kemudian berperan sebagai moral force yang senantiasa melaksanakan fungsi social control. untuk itu, mahasiswa harus bersikap independen dan hanya berpihak pada kebenaran dan keadilan serta obyektifitas. hmi yang melakukan fungsi kaderisasi mahasiswa pun harus menjiwai dan dijiwai sifat independen (vide pasal 6 ad). fungsi kaderisasi dalam membentuk apa yang disebut hmi sebagai insan cita (insan kamil ala hmi) tidak lain adalah upaya untuk mewujudkan kehidupan yang sesuai dengan fitrahnya, yakni kehidupan yang seimbang dan terpadu antara jasmani dan ruhani, akal dan kalbu, individu dan masyarakat, iman dan ilmu, demi mencapai kebahagiaan di dunia dan ukhrowi. demi mencapai kehidupan yang sesuai dengan fitrahnya itu, maka dibutuhkan sebuah kerja kemanusiaan (amal shaleh), yang tertuang dalam peran hmi sebagai organisasi perjuangan (vide pasal 9 ad), yakni peran yang diemban dalam melakukan internalisasi, eksternalisasi maupun obyektifikasi nilai-nilai ke-islaman. dan kerja kemanusiaan ini akan terlaksana dengan benar dan sempurna apabila dibekali dan didasari oleh iman dan ilmu pengetahuan. karena inilah hakekat tujuan hmi tidak lain adalah pembentukan manusia yang beriman dan berilmu serta mampu menunaikan tugas kerja kemanusiaan (amal shaleh). pengabdian dalam bentuk kerja kemanusiaan inilah hakekat tujuan hidup manusia, sebab dengan melalui kerja kemanusiaan, manusia mendapatkan kebahagiaan.

billahittaufiq wal hidayah. bahagia hmi…

sumber: http://ariefzein.multiply.com/journal/item/11

Pendelegasian Wewenang dalam Organisasi

“Pendelegasian Wewenang dalam Organisasi”.
Pendelegasian wewenang adalah sesuatu yang sangat vital dalam aktivitas proses berorganisasi. Seseorang pengurus dalam organisasi sangatlah perlu melakukan penugasan kepada second linenya supaya pengurus lain dalam structural ataupun anggota bisa menjalankan operasional organisasi dengan baik hal ini akan banyak manfaat yang diambil sebagai pembelajaran dalam berorganisasi sekaligus merupakan pengkaderan dalam pengambilan keputusan walaupun sebatas mandate internal organisasi setingkat komisariat.

Continue reading “Pendelegasian Wewenang dalam Organisasi”

Membincangkan Sejarah HMI

Berbincang mengenai sejarah, tidak terlepas dari pertanyaan 5W 1H terhadap suatu kejadian, yaitu apa, dimana, kapan, mengapa, siapa, dan bagaimana. Namun kejadian itu tidak sepenuhnya bisa ditulis atau diceritakan sesuai dengan kenyataan secara utuh. Cerita terhadap suatu kejadian di masa lampau harus dipahami sebagai penafsiran ulang terhadap kejadian, bukannya kejadian itu sendiri. Continue reading “Membincangkan Sejarah HMI”

HMI Akan Tetap Merawat Kemandiriannya

HMI akan tetap merawat independensi. Sampai kapan pun. Bagi HMI indepedensi itu merupakan ciri dan karakter.

Ada “kado” khusus yang dipersembahkan buat HMI dalam memperingati usia emasnya, 50 tahun, pada 5 Februari lalu. Yang pertama, diresmikannya Gedung Insan Cita (GIC) yang merupakan tempat HMI nanti beraktivitas sehari-hari. Kado kedua, acara peringatan dies natalis HMI itu dibuka dan dihadiri Presiden Soeharto. Tapi, bertepatan dengan hari peresmian GIC, Kelompok Cipayung membentuk Forum Kebangsaan Pemuda Indonesia (FKPI) tanpa HMI berada di dalamnya.

Ini memang bukan “kado baik” untuk HMI. Karena HMI adalah salah satu penggagas awal Kelompok Cipayung. Sehingga muncul penilaian, bahwa hubungan HMI dalam Kelompok Cipayung sekarang kurang seiring. Namun, Ketua Pembinaan Aparat Organisai PB HMI, Aspianor Sahbas (30 tahun), membantah penilaian itu. “Kehadiran mereka dalam acara dies natalis HMI menunjukkan bahwa diantara Kelompok Cipayung itu tidak terjadi apa-apa,” kata alumnus FKIP Unlam ini kepada Hani Pudjiarti dan Mustafa Ismail dari TEMPO Interaktif yang mewawancarainya Kamis pagi (27/3) lalu di Kantor PB HMI Jalan Diponegoro, Jakarta. Berikut petikannya:

Bagaimana perkembangan HMI selama 50 tahun?

Sejak dilahirkan 5 Februari 1947, tujuan HMI adalah untuk mempertahankan keadaan negara Republik Indonesia yang sudah merdeka pada 17 Agustus 1945. HMI menyumbangkan siar Islam di negeri tercinta ini. Perkembangan selanjutnya karena HMI sebagai organisasi perjuangan tentu untuk meningkatkan kualitas mahasiswa, maka yang ditingkatkan ada pada proses pengkaderan. Kaderisasi merupakan inti program HMI dalam mencapai tujuan yang dicanangkan sejak berdirinya HMI. Karena tidak semata-mata sebagai organisasi perjuangan, kita mulai berperan pada kehidupan masyarakat dan kebangsaan. Ini sebagai perkembangan yang muncul di masyarakat sebagai tanda sejak berdirinya banyak tokoh-tokoh HMI yang terlibat perjuangan fisik di akhir tahun lima puluhan. Di tahun 1966 secara organisatoris HMI aktif bersama komponen masyarakat menumpas G30S-PKI. Sampai saat ini HMI sudah cukup banyak mendistribusikan kader-kadernya di kalangan swasta, birokrat, berbagai sektor kehidupan pembangunan.

Selain pengkaderan program andalan lainnya?

Kalau program andalan ya sistem pengkaderan tadi. Bentuk lain partisipasi terhadap urusan-urusan pembangunan, perguruan tinggi bidang kemahasiswaan tetap ada, bidang kewanitaan dan bidang kekaryaan.

Benarkah HMI memotivasi anggotanya menjadi tokoh seperti beberapa alumninya di kabinet?

Mungkin salah satunya itu. Salah satu pengalaman saya yang memotivasi masuk HMI karena melihat orang-orang yang masuk HMI banyak jadi tokoh. Tetapi tidak semua yang masuk HMI termotivasi itu, bisa saja karena pacarnya ada di sana dia ikut masuk. Kalau dalam proses perjalanannya jadi tokoh itu soal lain. Jadi banyak faktor motivasi untuk masuk HMI. Motivasi lainnya karena kelihatan banyak senior membantu yuniornya dalam proses perkuliahan. Misalnya membantu memberikan diktat-diktat yang dikasihkan ke kita. Motivasi lain terbantu dalam proses perkawanan, ketenangan pribadi karena ada nilai-nilai keagamaan.

Hubungan HMI dengan alumni?

Kalau mau dikatakan peran alumni dan senior banyak membantu menopang semua kegiatan HMI. Dan itu dilakukan atas dasar tolong-menolong bukan paksaan atau keharusan. Ini terus terjadi sampai hubungan kami ke yunior-yunior kami. Begitupun sebaliknya.

Selama 50 tahun apa saja kendala HMI?

Banyak, pertama kalau dilihat sebagai organisasi kepenjuangan kondisi sekretariat saja seperti sekarang ini. Tapi alhamdulillah belum lama ini kita baru saja meresmikan gedung Graha Insan Kencana (yayasan ini diketuai Akbar Tanjung dan didanai KAHMI, Red.) di Depok. Dan mudah-mudahan akan membuka semangat baru bagi adik-adik HMI yang akan melanjutkan kepemimpinan HMI di masa mendatang. Saya kira kendala-kendalanya terlihat dari sangat terbatasnya fasilitas-fasilitas yang dimiliki HMI. Padahal sarana ini sangat penting untuk menunjang kegiatan HMI dalam pengkaderan dan sumber daya manusia.

Soal kader ini rupanya tumpuan utama program HMI? Apakah agar banyak orang HMI di sekitar kekuasaan?

Kami banyak melakukan pelatihan. Memang dalam traning-traning HMI dulu itu ada latihan kepemimpinan. Jadi tujuannya mencetak calon-calon pemimpin. Calon-calon pemimpin ini yang menjadi tokoh. Tapi dalam perjalanannya, bisa saja mereka mengarah dalam bidang lain. Mereka ada yang menjadi wirausahawan, menjadi tokoh politisi, tokoh agama. Kita menempatkan sesuai dengan konsep HMI bahwa manusia itu khalifah fil ardhi, sebagai pemimpin di muka bumi ini.

Belakangan banyak yang menyoal independensi HMI, menurut Anda?

HMI akan tetap merawat independensi. Sampai kapan pun. Bagi HMI indepedensi itu merupakan ciri dan karakter.

Termasuk kepengurusan HMI sekarang yang dituduh dekat pemerintah itu?

Independensi itu ada dua. Pertama indepensi organisatoris. Indepensi organisatoris ini menegaskan bahwa HMI ini bukan onderbouw salah satu kekuatan politik. Jadi ia tidak dibawah Golkar, tidak dibawah PPP, dan tidak di bawah PDI, juga tidak dibawah ormas lain. Yang kedua idepedensi etis. Independensi etis ini merupakan kebebasan HMI untuk mempertahankan suatu sikap terhadap kebenaran yang ingin diperjuangkan. karena, itu HMI tidak akan apriori terhadap sesuatu masalah, juga tidak akan terlalu berpihak. Sepanjang itu untuk memperjuangkan keadilan dan kebenaran akan berpihak kesana.

Ada yang mengatakan HMI itu kurang respek terhadap persoalan-persoalan yang muncul. Tidak seperti Kelompok Cipayung lainnya. Misalnya dalam menanggapi kasus 27 Juli, Situbondo atau Tasikmalaya. Bagaimana itu?

Peristiwa 27 Juli ada perbedaan penghayatan. Itu ‘kan kasus PDI. Itu persoalan intern PDI. Karena itu kita tidak ingin terlalu jauh terlibat dalam politik praktis. Yang sangat pragmatis sekali persoalannya. Pernah juga ketika terjadi pertentangan Naro dengan Sudardji, kita tidak membicarakan itu dengan kawan-kawan Kelompok Cipayung. Tetapi persoalan-persoalan lain yang menyangkut nasib rakyat banyak, misalnya kasus korupsi Eddy Tansil, yang itu tidak dilakukan oleh ormas-ormas lain. Kita melakukan. Sampai ribuan orang kita kerahkan untuk aksi-aksi itu. Kasus putusan MA di Irian Jaya, kita sampai turun ke jalan. Itu merupakan bagian dari suara-suara kritis HMI yang tetap dirawat. Kalau kasus 27 Juli, kita melihatnya sebagai rangkaian politik praktis. Kita tidak mau terlibat di dalam itu. ‘Kan temporer sekali kasusnya.

Dalam kasus Eddy Tansil, bukankah memang pemerintah memukul gendang “perang” terhadap Eddy Tansil dan kemudian HMI sepaham dengan sikap itu?

Kasus Irian misalnya, itu ‘kan sangat bertentangan. Nah, itu kalau soal korupsi, kita ‘kan tidak tahu. Kalau datanya ada kita akan tampil. Sekali lagi saya tegaskan, bahwa Ketua Umum HMI di depan kepala negara ketika dies natalis bilang bahwa HMI akan tampil ke depan memprotes bila pemerintah korup dan menyeleweng.

Tapi bukankah dalam Kasus 27 Juli ketika banyak kelompok mahasiswa dan ormas lain menyatakan keprihatinannya, HMI tidak ikut serta, mengapa?

Kawan-kawan itu ‘kan sudah dari awal ikut dalam proses itu. Kasus 27 Juli itu kan puncak. HMI tidak mau masuk ke wilayah itu. Nah, ketika peristiwa itu muncul kita mengeluarkan statemen bahwa kedua-duanya harus ditindak itu. Tapi tidak bersama kawan-kawan Kelompok Cipayung.

Yang sudah kita keluarkan statemen itu mengenai Eddy Tansil, Kasus Departemen Perhubungan. Tetapi pernyataan mengenai mobnas belum kita keluarkan. Itu baru sampai pada diskusi di kalangan interen kita. Ada hal-hal yang hanya dikonsumsi untuk kader HMI dan ada yang kita keluarkan pernyataan.

Jelasnya?

Kalau sesuatu itu dapat memecah belah persatuan negara, tentu kita lebih hati-hati. Tetapi kalau itu menyangkut kepentingan masyarakat keseluruhan, kita akan lebih kuat menanggapinya.

Dana Dies Natalis kemarin ini begitu besar, darimana?

Kalau acaranya besar, tentu dananya juga besar. Soal dana ini dari alumni ke alumni saja. Di Jakarta ini ‘kan alumni HMI ada sekitar seribuan lebih. Kita kumpulin dari alumni-alumni itu dan juga KAHMI.

Berapa besarnya?

Kurang dari 500 juta. Karena dies natalisnya untuk ribuan orang, wajar dana yang dipakai segitu.

Kemudian untuk dana operasional harian HMI darimana?

Yang paling rutin itu, ya, dari Bang Akbar (Akbar Tanjung, Red.), Bang Soegeng Sariadi, Bang Fahmi Idris, Ekki Syahruddin, Mar’ie Muhammad, dan seterusnya.

Apa pertimbangan mengundang Pak Harto pada acara Dies Natalis HMI?

Bukan hanya sekali ini Pak Harto menghadiri acara HMI. Dua tahun yang lalu juga Pak Harto hadir di sana. Pertimbangannya, karena ini perayaan emas lima puluh tahun HMI, kita ini merayakan kebahagiaan bersama-sama dengan kepala negara.

Bagaimana Anda menilai keberhasilan pembangunan Orde Baru?

Relatif sekali kalau kita menilai kemajuan-kemajuan. Sekarang ‘kan relatif lebih baik dari pada sebelum-sebelumnya. Kalau ada kekurangan ya wajar saja.

Tolok ukurnya apa?

Jumlah rakyat miskin sekarang berkurang. Kalau dulu masyarakat miskin hampir mencapai 30 juta, sekarang tinggal sekitar 21 juta. Itu suatu keberhasilan.

Bukankah kesenjangan masih lebar?

Ya, kesenjangan memang harus kita atasi. Tidak semata-mata tanggungjawab pemerintah. Semua kita mesti bersama-sama mengatasinya.

Selama ini banyak yang mengatakan HMI tergantung dari KAHMI?

HMI dengan KAHMI kan hanya hubungan historis. Jadi kalau toh, ada kritikan-kritikan terhadap kedekatan HMI dengan KAHMI itu hanya implikasi saja. Yang jelas, HMI itu harus kerja keras untuk mendapatkan dana. Kalau ada alumni-alumni HMI yang membantu, itu merupakan wujud tanggungjawab mereka terhadap HMI, terhadap adik-adiknya. Dan kalau pun ada bantuan-bantuan dalam bentuk lainnya, juga para alumni melihat potensi-potensi dari kader HMI itu sendiri. Tidak mungkin seorang alumni memberi satu proyek, misalnya, kepada seseorang kader yang tidak teruji kemampuannya.

Apakah hubungan itu tidak mengekang HMI?

Konsep kita ‘kan saling tolong-menolong. Dan saya kira mereka, para alumni ikhlas untuk membantu. Tidak pernah mereka membawa-bawa HMI menjadi suatu alat untuk kepentingan mereka.

Apa kritik Anda terhadap pemerintah?

Sebenarnya yang perlu kita kritik itu ‘kan sistemnya. Misalnya kesempatan berusaha. Kalau sistemnya baik dan berjalan saya kira tidak ada masalah. Dengan demikian diperlukan kedewasaan dalam masyarakat untuk melihat. Karena kalau masyarakat belum dewasa, sistem yang baik pun jadi kurang artinya.

Tidakkah sistem itu sendiri kurang terbuka?

Sekarang sudah ada kemajuan. Dalam penyusunan GBHN misalnya, dulu itu ‘kan di tingkat MPR. Tetapi sekarang dikembalikan kepada fraksi-fraksi. Keberanian masyarakat untuk melontarkan kritik terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah juga merupakan bagian dari pada itu.

Hasilnya bagaimana?

Itu bukan persoalan hasil. Yang penting kemauan itu telah ada. Saya kira hasil itu nomor dua.

Bukankah kritik sering ditabukan dan ditanggapi secara frontal?

Itu menandai ketidak-dewasaan orang-orang yang tidak bisa menerima kritik itu.

Maksud Anda pemerintah?

Pemerintah saya kira. Ada orang-orang yang tidak siap untuk itu.

Tapi, kenapa HMI tidak mendukung Pak Harto untuk periode 1998-2003?

Tidak ada dalam budaya kita persoalan dukung mendukung itu. Itu menyangkut independensi. HMI tidak akan memenuhi satu keinginan atas kehendak dari mana pun. Itu sesuatu yang tabu bagi HMI. Secara etis tidak dibenarkan. Komitmen kita bukan kepada orang tapi kepada nilai.

Bagaimana tanggapan HMI sendiri mengenai kemungkinan terpilihnya kembali Pak Harto?

Saya kira masyarakat sampai saat masih menginginkan beliau. Tidak ada saat ini yang secara terbuka menolak beliau. Bagi HMI, kita serahkan saja kepada lembaga yang ada.

HMI sendiri apakah punya calon-calon anggota DPR?

Ada beberapa.

Berapa jumlah anggota HMI?

Sekitar 250 ribu yang aktif. Kalau semuanya, sekitar lima ratus ribuan.

Menurut Nurcholis Madjid, HMI sekarang kurang peka terhadap sekelilingnya, mengapa?

Cak Nur orang yang sangat arif dalam melihat persoalan-persoalan HMI. Kalau beliau menginginkan HMI itu maju, itu selalu dicambuk. Tetapi saya kira kalau kita bicara dari hati ke hati, saya kira Cak Nur akan mengatakan HMI merupakan organisasi paling baik diantara organisasi massa mahasiswa lainnya.

Hubungan HMI dengan Kelompok Cipayung itu bagaimana?

Kelompok Cipayung itu merupakan sebuah organisasi yang non formal. Kalau ada masalah-masalah kita akan kumpul. Dalam perjalanannya dinamika itu tetap ada. Bagi anggota Kelompok Cipayung membentuk sebuah kelompok baru, tidak ada masalah. Nanti pada saat lain kita akan ketemu dan bersama lagi.

HMI tidak merasa ditinggalkan dalam pembentukan FKPI?

Tidak. Kita tidak merasa ditinggalkan. Antara kita tidak ada masalah. Kita tidak ditinggalkan, mereka juga tidak kita tinggalkan.

Orde Baru Sesuai Dengan Cita-Cita HMI

Mereka meninggalkan HMI, sama saja dengan kehilangan momentum yang baik sebagai pemuda Indonesia. HMI pasti jaya, karena konsekuen dengan sikapnya sebagai gerakan modern Islam.

Kesamaan pandangan antara HMI dengan pemerintah, rupanya yang membuat organisasi mahasiswa ekstra universitas ini yang kini tampak sejuk. “HMI adalah satu-satunya organisasi mahasiswa yang didirikan untuk menegakkan kemerdekaan, ” kata Victor Tanja, pendeta asal Pulau Sawu, Nusa Tenggara Timur, yang juga pengamat HMI.. Menurut Victor, HMI punya kesamaan dengan pemerintah Orde Baru, yang menginginkan Islam tampil sejuk dan modern. “HMI ‘kan anti komunis, paham kiri dan kanan, dan pandangan ini sama dengan pemerintah Orde Baru,” ujar Victor. Begitu pula kedekatan HMI dengan militer, menurutnya juga terkait dengan akar sejarah.

Untuk mengetahui peran dan posisi HMI di masa kini, berikut wawancara Ali Nur Yasin dari TEMPO Interaktif dengan Victor Tanja, di Gereja Effatha, Jakarta, Selasa 25 Maret lalu. Pendeta ini menulis disertasi yang berjudul HMI: Sejarah dan Kedudukannya Di Tengah Gerakan-Gerakan Muslim Pembaharu, di Hartford Seminary Foundation America, 1979. Berikut petikan wawancara itu:

Bagaimana Anda melihat HMI sekarang?

Saya menilai HMI lebih cocok dengan kondisi politik sekarang, yang menjauhi komunisme, adanya peranan ABRI, dan umat Islam semakin dekat dengan pemerintah. HMI didirikan sebagai organisasi perjuangan. Dengan kata lain, untuk menghimpun cendekiawan muslim. HMI tidak hanya berperan dalam universitas, tapi juga secara fisik aktif dalam perang kemerdekaan. Sehingga, ada beberapa anggota HMI yang langsung menjadi tentara, seperti Achmad Tirtosudiro. Kedekatan HMI dengan ABRI bukan baru sekarang, tapi kedekatan sejarah. Juga dalam beberapa peristiwa sejarah, HMI tidak dekat dengan Soekarno-Hatta, tapi dekat dengan Jenderal Sudirman. Saat Orde Lama, ketika Masyumi dibubarkan oleh Presiden Soekarno atas desakan PKI, HMI juga ingin dibubarkan, tapi Jenderal Achmad Yani bilang,” Tidak. Langkahi mayat saya jika ingin bubarkan HMI.”

Maka kedekatan HMI dengan Orde Baru adalah konsekuensi kedekatan sejarah. Bahwa HMI sekarang dikucilkan oleh organisasi mahasiswa yang lain, menurut saya salah kaprah. Mereka (organisasi mahasiswa non HMI) latar belakangnya dibentuk bukan pada masa perjuangan kemerdekaan, tapi pasca perang kemerdekaan. Dan mereka dibentuk untuk berafiliasi dengan partai politik dan ormas yang ada pada saat itu. Seperti, PMII dengan NU, IMM dengan Muhammadiyah, GMNI dengan PNI, GMKI yang ada hubungannya dengan gereja, dan organisasi lainnya. Tapi HMI, sangat independen dalam sikap politiknya. Kalaupun ada yang mengatakan bahwa HMI berafiliasi dengan Masyumi, itu adalah penilaian yang salah. Hal ini dapat dilihat pada saat perundingan Linggarjati, Masyumi menolak, tapi HMI menerimanya. Ini salah satu bukti bahwa HMI bukan onderbouw-nya Masyumi.

Walau dikucilkan organisasi mahasiswa lain, HMI tetap independen. Menurut HMI, Orde Baru sudah mendekati cita-cita perjuangan HMI, bahwa Islam mendapat peranan dalam pemerintahan, tapi bukan berarti menjadi negara Islam, seperti peranan budaya, ahlak dan lainnya. Dan juga nasionalisme kita bukan nasionalime sekuler, tapi nasionalime religius. Dan kalau kita mau konsekwen, memang tidak ada nasionalime sekuler. Saya juga tidak setuju pendapat beberapa pakar, bila gerakan agama, adalah gerakan sektarian. Yang salah bila ada gerakan yang menggunakan agama, itu yang sektarian.

Anda menyatakan, bahwa kedekatan HMI dengan Orde Baru karena adanya kesamaan dalam memandang bangsa dan negara. Bisa Anda jelaskan?

Kesamaan itu karena HMI aktif mendirikan Orde Baru. Cita Orde baru yang sama dengan HMI. Misalnya Islam mendapat peranan dalam pemerintah, tapi bukan negara agama.

Apakah kedekatan HMI dengan pemerintah sudah sesuai dengan semangat HMI sewaktu didirikan?

Oh ya, ini bukan karena HMI oportunis, tapi karena kesamaan ide dan cita-cita dengan pemerintah sekarang. HMI didirikan untuk menegakkan kemerdekaan. HMI merasakan masa penjajahan, sementara organisasi mahasiswa lain tidak merasakan, sehingga ada kecenderungan mereka lebih mendengar suara luar negeri ketimbang di dalam negeri.

Apakah kedekatan HMI dengan pemerintah karena pengaruh alumni yang duduk dalam pemerintahan?

Menurut saya tidak. Alumni HMI yang duduk dalam pemerintah atas nama pribadi bukan atas nama HMI. Akbar Tandjung diangkat sebagai menteri kan bukan karena HMI-nya, tapi karena kemampuan. Akbar memang kader yang dibuat oleh HMI dan kebetulan cocok dengan politik Orde Baru. Tapi pribadi-pribadi mereka tidak bisa diidentikkan dengan HMI. Mereka diangkat jadi menteri karena penilaian presiden, bukan karena HMI-nya.

Apakah HMI hanya dijadikan alat oleh pemerintah?

Oh, tidak. HMI tetap independen. Secara kebetulan, organisasi mahasiswa lain tidak sesuai dengan aspirasi mereka. Karena mereka lebih mendengar suara LSM dari barat. Tapi, jika aspirasi mereka sama dengan pemerintah, mereka juga akan seperti HMI.

Belum lama ini, berdiri Forum Komunikasi Pemuda Indonesia yang didirikan oleh kelompok Cipayung, tanpa HMI. Apakah HMI menjauhi mereka?

Oh, tidak. Justru Kelompok Cipayung yang meninggalkan HMI. Mereka meninggalkan HMI, sama saja dengan kehilangan momentum yang baik sebagai pemuda Indonesia. HMI pasti jaya, karena konsekuen dengan sikapnya sebagai gerakan modern Islam. Walaupun HMI jaya, Indonesia tidak akan menjadi negara Islam. Ini kan pola yang digunakan oleh Nurcholis Madjid, yang hingga kini masih diterapkan. Dengan pola Nurcholis, kita akan mendapatkan orang-orang Islam yang sejuk dan toleran terhadap yang lain.

Sekali lagi saya katakan, organisasi-organisasi mahasiswa kelompok Cipayung kecuali HMI, didirikan bukan atas kehendak memperjuangkan membebaskan bangsa ini dari jajahan Belanda. Kalaupun ada, mereka berafiliasi dengan organisasi sekuler, ormas-ormas tertentu, atau partai politik yang ada. HMI walau menggunakan nama Islam, tetap independen. Tapi memiliki afiliasi filsafah gerakan modernis yang sama dengan masyumi, tapi bukan berarti HMI berafiliasi dengan Masyumi. Hanya pemahaman terhadap Islam-nya, yang sama.

Belakangan kelompok Cipayung minus HMI gencar melakukan koreksi dan kritik terhadap berbagai kejadian belakangan ini. Mengapa HMI tidak melakukan hal yang sama?

Apa yang dikritik?! Perjuangan HMI sama dengan perjuangan pemerintah. Apa yang dibuat oleh Pak Harto selama Orde Baru kebetulan sama dengan yang diperjuangkan HMI waktu dulu. Artinya tidak ada sekuler, tidak kiri, tapi dalam menegakkan Pancasila, secara konsekwen. Sejak dulu HMI berpihak kepada ABRI, tapi bukan untuk mencari kekuasaan. Kedekatan dengan militer semata-mata untuk bersama mencapai kemerdekaan. Karena itu banyak anggota HMI yang masuk ABRI. Tapi organisasi yang lain tidak.

Mengenai kritik terhadap berbagai kejadian belakangan ini, kenapa baru sekarang mereka bersuara. Kenapa sewaktu peristiwa Tanjung Priok mereka tidak bersuara. Waktu itu kan terjadi juga pembakaran gereja, tapi kenapa bungkam. Kejadian di Timor-Timur mengapa tidak diprotes, mengapa hanya di Situbondo dan Tasikmalaya saja. Harusnya mereka juga mengkritik semua peristiwa itu.

Ini karena mereka tidak melihat realisme perjuangan kemerdekaan, dan terbiasa dengan cara yang sekuler. Sehingga cara berfikir mereka sektarian. Sementara HMI menggunakan Islam untuk kepentingan perjuangan bangsa, bukan diri sendiri.

Di zaman Orde Lama HMI aktif menyuarakan kritik-kritik sosial, dan ketimpangan sosial masih terjadi sampai sekarang, tapi mengapa HMI tak melakukan koreksi?

Dari dulu juga sudah ada ketimpangan sosial. Kita harusnya melihat Orde baru itu sukses, walaupun masih ada kekurangannya. Saya setuju dengan kritik tapi harus memberikan jalan yang terbaik. Jangan menganggap mereka benar dan lainnya salah. Mereka yang sering bersuara itu kan yang tidak berkuasa. Jika mereka berkuasa sama saja kondisinya.

Ada yang menilai HMI tidak lagi kritis terhadap berbagai situasi belakangan ini, apakah karena pengaruh alumninya yang duduk di pemerintahan?

Itu konsekuensi dari peran HMI. Orang yang mengkritik HMI saya nilai kerdil, karena tidak memisahkan antara pribadi dengan organisasi. Mereka yang diangkat jadi menteri kan karena kemampuan pribadi, kebetulan mereka anggota HMI. Sikap kritis HMI tidak hilang, karena HMI tahu cara mengkritik yang membangun. Bukan dengan cara seperti yang dilakukan organisasi lain.

Apakah karena pengurus-pengurus HMI banyak yang berambisi duduk di pemeritahan ?

Semua juga berambisi ke sana. GMNI bila diberi kesampatan seperti pada masa Orde Lama, saya kira akan begitu. Punya ambisi boleh saja, tapi jangan merugikan yang lain. Selain HMI, GMNI, GMKI, PMKRI dan lainnya juga punya ambisi untuk duduk di pemerintahan, tapi mereka tidak punya kesempatan saja.

Bagaimana HMI harus menempatkan posisinya sekarang?

Ya, harus mendukung Orde Baru. Tapi juga harus memberikan koreksi dan kritik. Tapi jangan mengkritik karena menganggap dirinya sudah baik.

Bagaimana Anda melihat perayaan HMI yang dihadiri oleh Pak Harto? Manuver politik menjelang pemilu?

Oh bukan, itu bukan karena HMI ingin melakukan manuver politik. Hadirnya Pak Harto, karena melihat HMI yang konsekwen dengan perjuangan bangsa dan khususnya Orde baru.

Hadirnya Pak Harto, apakah sebagai salah satu dukungan kepada Pak Harto untuk jadi presiden lagi?

Secara otomatis, mau tidak mau HMI ‘kan harus memperjuangkan sikapnya. Sebab dalam UUD 45 sendiri kan sudah ditegaskan bahwa presiden dapat dipilih kembali.

Apakah HMI akan mengesampingkan berbagai ketimpangan-ketimpangan yang ada?

Tidak. Jika terjadi ketimpangaa HMI akan ngomong. Tapi dalam program bersama dalam bernegara, HMI tetap sejalan dengan pemerintah. Seperti yang dikatakan Taufik Hidayat dalam pidatonya, bahwa HMI akan tetap mendukung Orde Baru, dan akan tegar membela kepentingan masyarakat.

Pesta HMI dianggap pemborosan. Bagaimana menurut Anda?

Tidak ada pemborosan uang. Banyak organisasi Islam dan Kristen yang menyelenggarakan acara seperti itu. Sewaktu Orde Lama, GMNI membuat acara seperti itu lebih banyak dari HMI, seperti sidangnya di Senayan yang dihadiri oleh Soekarno. GMKI apalagi, lebih wah. Kenapa baru sekarang diributkan mengadakan acara seperti itu, kenapa yang dulu-dulu tidak.

Bagaimana dengan peran HMI di masa datang?

HMI akan melahirkan pemimpin-pemimpin yang nasionalis. Dan HMI tidak akan berubah dari konsepnya Nurcholis Madjid. Dimana Islam dapat diterima oleh pemerintah Orde Baru. Serta menempatkan citra Islam yang universal. Konsep Nurcholis ini harus ada yang meneruskan. Saya pesimis HMI dapat bertahan jika konsep ini tidak digunakan.

Jangan Mengukur Baju Orang Dengan Badan Sendiri

HMI itu interest group-nya itu besar sekali. Jadi ia tidak bisa bermain asal-asalan. Ya, kalau PMII , PMKRI, GMKI itu kecil sekali. Organisasi mahasiswa yang masih ada itu kan tinggal HMI. Yang lainnya tinggal papan nama.

SOSOKNYA seperti tak bisa dipisahkan dengan semangat lahirnya demokrasi dan tegaknya hak asasi. Tapi ia juga hampir menyatu dengan HMI. Karena di situlah, Dr. Nurcholish Majid, 58 tahun, pernah menjadi ketua umum selama dua periode dari tahun 1966-1971. Lulusan Universitas Chicago, AS, ini sekarang aktif di kelompok pengajian Yayasan Paramadina. Selain itu, Cak Nur juga mengajar di fakultas pasca sarjana IAIN Syarif Hidayatullah, Ciputat, Jakarta. Ia juga salah satu petinggi di Dewan Pakar ICMI, anggota Komnas HAM, dan pelopor berdirinya Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP).

Rabu lalu, 26 Maret 1997, bertempat di Yayasan Paramadina, Cak Nur diwawancarai Darol Mahmada dari TEMPO Interaktif seputar gemebyar dan sepak terjang HMI, yang kini sudah berusia 50 tahun. Berikut cuplikannya:

Anda bilang bahwa usia ke-50 HMI bukan merupakan tahun emas, tapi tahun besi karatan. Apa maksudnya?

Saya mengatakan begitu karena mengamati sebagai orang dalam HMI. Bukan orang luar, sehingga muncullah pernyataan saya di D&R (Di majalah itu, Cak Nur berang dengan instruksi pengurus HMI yang akan mengeluarkan setiap anggotanya yang aktif dalam KIPP. “Itu ironi besar dan HMI melawan kodratnya sendiri,” ujarnya). Itu merupakan ekspresi kecintaan saya terhadap lembaga itu. Dan tentu saja kalau orang luar mengatakan itu, saya juga tidak enak dan pasti protes. Kalau kenyataannya begitu, itu bisa dilihat dan ditafsirkan macam-macam. Kritikan itu hanya mengingatkan saja. Ibaratnya, kalau terhadap anak, saya hanya menjewernya.

Mengapa mereka harus diingatkan?

Ada hal-hal tertentu yang harus diingatkan. Sebagai seorang yang pernah intens terlibat di organisasi itu, sikap seperti itu mesti (dilakukan). Dan saya kira, sebagai organisasi mahasiswa HMI masih dalam relnya.

Mengapa orientasi HMI cenderung ke Masyumi? Apa akibat politisnya sampai kini?

HMI itu secara geneologis kebanyakan anak Masyumi karena itu orientasinya juga sangat ke Masyumi. Walaupun anggota PB HMI kebanyakan anak NU,tetapi orientasinya banyak ke Masyumi. Ciri-cirinya, misalnya dari segi agama, mereka non sektarian. Mereka menangkap Islam itu seperti Masyumi, yaitu punya ide-ide dasar dan nilai-nilai fundamental. Karena itu, ada suatu buku kecil yang menjelaskan nilai-nilai fundamental itu yang di sebut Nilai Identitas Kader (NIK). Begitu juga di bidang lain, lebih dekat ke Masyumi. Misalnya egalitarianisme dan kosmopolitanisme. Di antara semua organisasi mahasiswa, yang paling menyeluruh itu, hanya HMI yang seperti Masyumi. Kalau NU, PKI, PSI itu kan berbau Jawa. Hanya Masyumi yang mencakup semuanya. Dan itu terulang pada HMI. Karena itu HMI itu merupakan Indonesia dalam miniatur. Hanya saja penduduknya Islam. Tetapi persepsi keislamannya pun paling menyebar.

Tetapi juga ada pengaruh psikologis bahwa Masyumi dulu sebagai partai yang dilarang (pemerintah waktu itu mengakibatkan anggota Masyumi) menjadi agak menjauh dari pemerintah. Ini suatu proses yang merugikan. Jadi mentalitas di luar pagar. ICMI saja, kami lahirkan untuk mengakhiri mentalitas itu. Apalagi sebagian besar lulusan universitas itu adalah anak HMI yang orientasinya ke Masyumi. Kalau mereka mengidap mentalitas itu, dalam arti tidak mempunyai sense of belonging (rasa memiliki) pada negara, sangat berbahaya. Berbahaya bagi negara, karena jumlah mereka semakin besar, tapi juga berbahaya untuk diri sendiri, karena akan kehilangan kebebasan bergerak. Dan kalau orang sudah kehilangan kebebasan bergerak, diawasi, dibatasi dan sebagainya, maka ia juga kehilangan kesempatan untuk berekspresi. Nah, itulah HMI sampai sekarang.

Lalu, bagaimana kini hubungan pemerintah dengan HMI?

Saya melihat, kondisi HMI di mata pemerintah ambivalen. Artinya, tidak merangkul sama sekali seperti terhadap organisasi-organisasi yang tergabung di dalam Golkar, Kasgoro misalnya. Tapi juga tidak menyingkirkan sama sekali. Tidak seperti halnya terhadap organisasi mahasiswa lainnya semisal GMKI. Di situlah sulitnya HMI. Dari dulu seperti itu.

Bukankah posisi HMI kini malah kian dekat dengan pemerintah?

Saya kira masih mengalami ambivalen. Sama dengan ICMI. Oleh karena itu saya agak sedikit kecewa ketika orang terkejut dengan fenomena Amien Rais. Kalau orang tahu ICMI, fenomena itu tidak aneh. Banyak orang ICMI yang kritis. Orang kaget dengan fenomena itu dan tepuk tangan, termasuk, terus terang saja, Arief Budiman dengan tulisannya itu. Karena dia ada prasangka bahwa ICMI itu organisasi pemerintah. Dan prasangka itu juga terjadi pada HMI. Prasangka bahwa seharusnya HMI itu menentang pemerintah, maka ketika ada gejala kedekatan terhadap pemerintah, lalu menimbulkan kecelaan yang terlalu dini. Kalau dibandingkan dengan PMKRI, GMNI, PMII terus terang saja situasi yang ada pada HMI dan alumninya itu jauh lebih mampu. Oleh karena itu, jangan berharap sikap HMI sama dengan organisasi lain, yang sedikit banyak termarjinalisasi. Jadi jangan mengukur baju orang dengan badan sendiri.

Apa arti penting Dies Natalis ke-50 HMI yang langsung dihadiri oleh presiden?

Peristiwa itu bukan pertama kalinya buat HMI. Di jaman Bung Karno dulu, pada tahun 50-an, ketika terjadi debat dasar negara, Bung Karno sendiri datang ke pertemuan HMI. Kemudian awal tahun 1966, ketika muktamar nasional, kami juga diundang Bung Karno ke Istana Bogor. Waktu itu orang-orang yang mencitrakan HMI beroposan terhadap Bung Karno terkejut, kok ternyata HMI masih bersama Bung Karno. Tetapi sikap seperti itu tidak menjamin HMI membelanya. Buktinya, HMI paling efektif menjatuhkan Bung Karno. Itulah HMI punya sejarahnya sendiri. Oleh karena itu, HMI tidak bisa menempuh cara-cara perjuangan yang linier. Artinya hanya oposisi saja, tapi harus bervariasi.

Lalu mengapa pemerintah kian mendekati HMI?

Mungkin saja karena melihat potensi HMI itu sendiri. Seperti Soekarno dulu memeluk HMI. Tentu saja strategi Pak Harto ini tidak bisa disamakan dengan Bung Karno. Artinya, kalau dulu masalah ideologis, tetapi sekarang lebih ke masalah ekonomi.

Agaknya visi politik HMI sudah berubah. Buktinya, HMI menolak ikut bergabung dalam Forum Komunikasi Pemuda Indonesia (FKPI) yang dibentuk kelompok Cipayung baru-baru ini. Betulkah demikian?

Kekhawatiran seperti itu relatif sekali. Itu bisa merupakan persepsi yang sangat subyektif. Bisa juga itu merupakan retorika dari orang yang ingin supaya HMI bersama mereka. HMI bisa berbalik (bertanya) mengapa mereka tidak mengikuti kami? Sebab HMI itu interest group-nya itu besar sekali. Jadi ia tidak bisa bermain asal-asalan. Ya, kalau PMII , PMKRI, GMKI itu kecil sekali. Organisasi mahasiswa yang masih ada itu kan tinggal HMI. Yang lainnya tinggal papan nama. Karena itu tidak bisa disamakan dengan mereka. Kalau misalnya HMI celaka, itu nyata. Karena menyangkut sekian puluh ribu anggota dan alumninya. Pada tingkat retorika nasional, mereka berkumpul dan bikin pernyataan, malah HMI terisolir. Tapi pada tingkat nyata manusianya, HMI tidak terisolir sama sekali.

Bisa Saja Gatotkaca Menjadi Arjuna

Bagi Fahmi Idris, 57 tahun, kedekatan HMI dengan kekuasaan bukan masalah. Orang pertama Kodel (Kongsi delapan) yang bekas tokoh HMI ini mengatakan organisasi yang pernah turut dibesarkannya itu masih berada pada pakem lama, sesuai dengan misi yang diemban dirumuskan lima puluh tahun lalu. Yaitu mencetak kader-kader pencipta dan pengabdi. Kalau ada orang yang risau dengan sikap HMI itu, kata Fahmi, ini sesuatu yang biasa. “Itu hanya kemauan orang untuk memforsir HMI sesuai dengan keinginannya,” katanya.

Berikut wawancara telepon Edy B dari TEMPO Interaktif dengan Fahmi Idris, mantan Ketua Laskar Arief Rachman Hakim dan tokoh Angkatan 66 yang bicara dengan deras itu, Rabu, 26 Maret 1997.

Kedekatan HMI sekarang ini dengan pemerintah, apakah sudah tepat dengan misi HMI ketika dilahirkan?

Menurut saya tepat saja itu. Dalam pengertian HMI punya cita-cita, kader-kadernya menjadi pencipta dan pengabdi. Jadi dia kreatif dan responsif terhadap perkembangan. Jadi kalau HMI mengadakan kegiatan dan mampu, itu cocok saja.

Responsif berarti kritis?

Iya, itu merupakan bagian dari independensi HMI. Saya menafsirkan dari kata pencipta dan pengabdi itu begitu. Jadi tidak dalam pengertian pasif. Tetapi mengkuti perkembangan sesuai dengan nilai-nilai yang dianutnya.

Bagaimana dengan anggapan HMI sekarang kurang kritis dibanding organisasi kemahasiswaan lainnya?

Barangkali itu berkaitan dengan kondisi sosial politik. Karena HMI tidak bisa menjadi pemberang terus menerus. Atau menjadi kritis tanpa alasan. Seringkali masyarakat menghendaki seseorang berperan terus menerus berada di sebelah kanan atau di sebelah kiri terus, tanpa melihat perkembangan-perkembangan yang harus diberi respon sesuai dengan perkembangannya. Karena sering kali masyarakat memvonis, tidak bisa Gatotkaca berperan sebagai Arjuna. Masyarakat kita ini pasif karena terikat simbol-simbol.

Pengabdian HMI melewati dinamika politik yang berkembang menjadikan HMI mengabdi kepada struktur yang ada sekarang ini mengingat banyak kadernya di struktur politik?

Bukan itu. Tujuan HMI yang dirumuskan pada tahun 1947 ialah melahirkan kader-kader yang bisa mencipta dan mengabdi sesuai dengan syariah, seorang pengabdi yang bernafaskan Islam. Itu sejak dulu, sejak didirikan. Bukan mengabdi yang sekarang.

Jadi karena sekarang ini banyak alumni HMI yang menjadi elite pemerintah?

Itulah, masyarakat kita terikat pada simbol. Masyarakat kita ini masyarakat yang fanatik dan tidak dinamis. Dia tidak bisa melihat perkembangan memungkinan Gatot Kaca sebagai Arjuna. Bukankah simbol-simbol itu juga diciptakan oleh masyarakat sendiri. Seperti pada tahun 1945, masyarakat yang berjuang. Pada tahun sekian persepsi masyarakatnya juga berkembang. Tidak semua orang HMI ada pada kekuasaan.

Mengapa pemerintah berkepentingan terhadap HMI?

Di mana pun pemerintah itu butuh organisasi yang besar dan solid.

Apakah ini manuver HMI menjelang pemilu?

Manuver apa. HMI tetap kritis.

Contohnya?

Kritik itu terus menerus kami lakukan. Sudah banyak juga yang sudah dilakukan HMI. Jangan dipengaruhi pandangan masyarakat yang tanpa selidik.

Jadi kondisi HMI sekarang ini seperti apa?

Sesuai dengan yang dicita-citakannya. Tidak ada perubahan dari HMI. Kelainan itu datang dari orang yang menghendaki Gatot Kaca itu terbang terus menerus. Padahal itu ‘kan dongeng. Tidak bisa dong hidup dalam dongeng. HMI terus merespon situasi yang berkembang. Tidak bisa HMI mengambil sikap seperti pada tahun 1947. Ketika itu Bangsa Indonesia masih menghadapi penjajah Belanda. Kalau masyarakat menghendaki HMI terus seperti itu, maka HMI tidak berkembang dong! Atau masyarakat tidak bisa menghendaki HMI seperti pada tahun 1965-1966, ketika situasinya begitu. Sekarang ini bisa tidak masyarakat melihat HMI tahun 1990-an di mana situasinya berbeda? Memang ada kelemahan dan ada kemajuan. Yang menjadi pertanyaan, apakah HMI dapat merespon kekuatan dan kelemahan yang dimilikinya?

Bagaimana dengan anggapan HMI itu besar karena banyak alumninya yang menjadi menteri?

Saya kira itu keliru. ‘Kan banyak varian yang lain. Karena yang di kekuasaan itu juga sejumlah individu.

Ada kader HMI yang berada di luar kekuasaan?

Banyak, kader HMI yang berada di luar kekuasaan dan bentrok dengan kekuasaan. Ridwan Saidi itu HMI, Dahlan Ranuwihardja itu HMI. Dawam Rahardjo itu, jadi jangan melihat HMI hanya Beddu Amang (Kabulog). HMI juga harus dilihat dari banyak variannya. Berapa banyak yang seperti mereka. Dan ketika HMI memberikan kritik kepada kekuasaan, orang tidak melihat.

Dibanding figur kepemimpinan sebelumnya seperti Nurcholis Madjid, HMI sekarang ini cenderung menurun semangat intelektualitasnya. Apakah memang organisasi HMI cenderung dipengaruhi pemimpinnya?

Saya tidak mengatakan itu. Kalau dikembalikan kepada tujuannya yaitu bisa mencipta dan mengabdi yang sesuai dengan nafas Islam.

Kalau ada kritik dari ormas lain seperti kelompok Cipayung yang menginginkan HMI dapat terus bergabung untuk menyikapi masalah kebangsaan, sebagai gerakan moral bukan gerakan politik?

Biasa saja. HMI dari dulu selalu dibegitukan karena mereka tidak paham. Mereka hanya mau memforsir kemauan mereka. Dari dulu HMI selalu sendirian. Kalau sekarang ini HMI ditinggal, itu sesuatu yang dinamis dari masyarakat muda saja. Saya mengalami ketika dulu HMI dipencilkan. Itu bukan kejadian yang pertama. Ini konsekuensi dari organisasi yang independen.

Termasuk ketika tidak bergabung dalam Forum Kebangsaan Pemuda Indonesia, FKPI?

Iya, itu bentuk independensi. Ketika HMI melawan Soekarno dan melawan PKI itu bentuk independensi dan lebih berat dulu dari sekarang. HMI dulu sendirian, menghadapi rombongan seperti GMNI itu sudah dari dulu. Dan itu biasa saja karena itu menunjukan suatu keberanian. Kenapa harus khawatir berbeda, baik yang dari sudut kanan maupun dari sudut kiri. Ketika kami berbeda di sudut kanan lantas kami dianggap di sudut kiri. Begitu kami di sudut kiri, kami dianggap anti sudut kanan. Itu yang independen karena tidak seimbang.

Tidak takut dikucilkan?

Kenapa takut?! Dari dulu saya sendirian di kampus. Saya dikeroyok ramai-ramai bukan oleh organisasi kemahasiswaan, oleh partai PNI rame-rame. Tidak apa-apa itu, sepanjang yang kami rumuskan itu suatu sikap yang kami yakini benar, walau kemudian menimbulkan reaksi seperti itu.